RAPIJALI: NOVEL TEMATIK MUSIK DARI CORE MEMORY DEE LESTARI

Nama Dee Lestari barangkali tidak bisa terlepas dari kepiawaiannya mengolah kata. Hal ini bisa dilihat dari sederetan karyanya, baik prosa, puisi, hingga lagu. Dalam karya terakhirnya, Dee dengan indah mengombinasikan dua hal itu: musik dan prosa. Dee mencoba menarik garis dari keduanya yang bisa kita baca hari ini dalam Rapijali. Namun, siapa yang dapat menyangka bahwa Rapijali adalah sebuah karya musik yang usianya 27 tahun! Rapijali barangkali bisa kita sebut sebagai karya reflektif dari perjalanan Dee dalam bermusik dan menulis!

Lahir dari Memori Baik

Rapijali ditulis dengan ceritanya sendiri. Dee Lestari tidak pernah melepaskan karyanya dari riset dan pendalaman tertentu, tetapi mungkin Rapijali punya “kisahnya” sendiri. Rapijali merupakan karya emosional Dee Lestari dalam mengenang memori baik yang sederhana: Perjalanan ke desa. Jauh sebelum menjadi Rapijali, naskah ini berjudul “Planet Ping”, sebuah tulisan dari Dee Lestari remaja berusia 17 tahun. Yang dibayangkannya adalah sebuah kenangannya bersama teman-teman, sebuah perjalanan liburan ke Garut (desa) saat Dee Lestari duduk di bangku SMP. 

Desa telah memberi Dee Lestari sebuah pandangan baru tentang lanskap, suasana, dan orang-orang di dalamnya. Dee Lestari yang notabene “orang kota banget” dan asing dengan kehidupan pedesaan, membangun memori romantis mengenai pengalaman itu. Desa memberi bekas yang luar biasa, yang memantiknya menulis kembali memori tentang desa yang diingatnya. Dengan tekad dan gairah remaja yang eksploratif, desa disadur menjadi tulisan, dikombinasikan dengan hal yang tidak kalah dicintainya: musik. Di usia 17 tahunnya, “Planet Ping” membersamai Dee Lestari sebagai bagian dari tulisan yang kelak menunggunya hingga 27 tahun kemudian.

 

“Rapijali seolah menunggu 27 tahun

sampai seorang Dee siap menggarapnya lagi.” 

—Dee Lestari

 

Rapijali mungkin tidak memberi perubahan spirit yang sebelumnya pernah lahir melalui “Planet Ping”. Kisahnya masih dalam romantisasi desa, hasrat dengan musik, dan perjalanan remaja. Tidak dimungkiri, Dee Lestari dengan konsisten menjaga semangat mudanya meski usia naskah ini kian bertambah. Barangkali benar bahwa tulisan tidak lekang zaman sebab, hari ini, Rapijali yang lahir melalui Bentang Pustaka telah berhasil ditimang kita semua, para pembacanya. Namun, 27 tahun berselang, apa yang sebenarnya ingin dihadirkan Dee Lestari dari naskah yang di dalamnya mengalir gairah mudanya ini?

Rapijali: Utang Cerita, Utang Mimpi

Rapijali adalah naskah yang menanti dan menagih perhatian Dee Lestari setelah 27 tahun. Dalam kurun waktu ini kita bisa melihat perjalanan Dee Lestari melahirkan sederet buku, lagu, hingga proyek lainnya. Seolah sudah cukup membiarkan naskah lamanya menanti di dalam peti es, Dee Lestari mulai menyentuh dan memoles naskah itu.

Demi menuntaskan naskah itu dengan sempurna, Dee Lestari melakukan banyak penyesuaian dengan kehidupan masa kini, sekaligus mempertajam isi cerita yang dibangunnya. Dee Lestari memperkuat konteks musik, menghidupkan pengertian musik, agar Rapijali tidak berhenti sekadar tulisan yang terbaca mata, tetapi sekaligus menjadi rasa yang bisa didengar. Baginya “Planet Ping” hidup kembali sebagai cerita yang masih tetap memiliki gairah remaja dan konflik keluarga, tetapi dengan komponen yang lebih serius dalam Rapijali. Rapijali barangkali adalah utang pribadi Dee Lestari terhadap dirinya sendiri, yang kemudian bisa kita lihat jejak lainnya di luar sastra, misalnya lagu.

Dengan serius, Dee Lestari juga menggarap hal-hal yang mengikuti buku ini, seperti lahirnya book soundtrack. Cerita Rapijali memudahkan Dee Lestari “membuat lagi”, melakukan “korelasi buku tentang musik dengan musik itu sendiri”. Dengan menggandeng sederet penyanyi ternama Tanah Air; Iwan Fals, Maudy Ayunda, Mikha Angelo, Bunga Cerita Lestari, Mawar de Jongh, dan Adikara Fardy. Tidak mudah baginya menuliskan Rapijali ke dalam lirik, yang menceritakan kembali kisahnya dengan media baru. Ambisi ini seolah menjadi acuan Dee Lestari untuk membalas penantian “Planet Ping” yang kini kita kenal dengan baik sebagai Rapijali.

Lantas, mungkinkah ambisi ini juga akan memacu Dee Lestari untuk mewujudkan visualisasi Rapijali ke dalam media film/serial?

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta