MERAYAKAN TANGAN TUHAN DALAM FILM-FILM BESUTAN MIZAN (Bagian 2, Habis)
Haidar Bagir
CEO Mizan Group
Hingga sekarang, ndilalah kersaning Allah , rumah-rumah produksi di bawah bendera Mizan telah memroduksi tak kurang dari 23 film layar lebar/OTT, plus beberapa TV Series, baik secara sendiri maupun bekerja sama dengan rumah-rumah produksi lain.
Kisah film-film Mizan berasal dari berbagai genre. Dari religius, sampai roman percintaan. Tak sedikit yang bertema pendidikan. Setelah Laskar Pelangi dan 2 sekuelnya, ada Garuda di Dadaku, lalu Emak ingin naik Haji, Mencari Hilal, sampai Perahu Kertas dan Madre, serta Tiga Hati, Dua Dunia, Satu Cinta. Selebihnya ada juga biopik, seperti Sepatu Dahlan, dan film musikal keluarga Ambilkan Bulan, yang mengangkat lagu-lagu karya AT Mahmud.
Tapi, yang selalu ada dari hampir keseluruhan film Mizan, adalah pesan-pesan sosial kuat yang kadang menjadi tema utama, atau setidaknya disisipkan di dalamnya. Hingga Rumah Masa Depan versi layar lebar, yang tayang di minggu-minggu ini…
Kisah film ini bermula di tahun 1984. Ketika itu, Rumah Masa Depan versi sinetron mulai tayang di TVRI. Jauh sebelum ada TV-TV Swasta, hanya setahun setelah Penerbit Mizan memulai sejarahnya dengan menerbitkan buku-buku pertama produksinya Sebuah sinetron yang menyedot perhatian seluruh keluarga Indonesia. Setiap Sabtu, kalau tak salah ingat, keluarga-keluarga Indonesia di masa itu berkumpul di depan TV untuk menonton sinetron ini. Selama bertahun-tahun, karakter-karakter Sukri dan Surti (yang waktu itu masing-masing diperankan oleh Deddy Sutomo dan Aminah Cendrakasih) dan orang tua Surti, Pak Musa dan isterinya (yang diperankan oleh Hamid Arif dan Wolly Sutinah), telah merampas perhatian semua orang. Sebuah keluarga yang hangat dan saling mencinta, yang tinggal di suatu bagian asri sebuah desa di Cibeureum. Masalah besar muncul ketika anak laki-lakinya semata wayang menikah dengan cucu seorang rentenir yang merampas sawah ayah si ibu. Si ibu mendendam, lalu membenci menantu perempuannya. Tentu juga ada karakter-karakter lain. Termasuk Sangaji, anak lelaki jenius yang menjadi sahabat anak Pak Sukri. Lalu Pak Kades pesaing Pak Musa dalam pemilihan kades, yang sesungguhnya baik, tapi memiliki isteri yang julid. Istei Pak Kades inilah protagonis utama kisah ini. Mizan, beberapa tahun kemudian menerbitkan seri buku Rumah Masa Depan, yang juga disukai para pembaca Indonesia.
Tema dalam kisah sinetron (dan serial buku) aslinya inilah yang dipertahankan dalam Rumah Masa Depan versi layar lebar.
Tapi, seperti dalam sebagian besar film-film Mizan, hiburan yang disajika selalu dijalin dengan pesan sosial yang kuat. Kali ini dalam bentuk pribadi Pak Musa yang menjadi pejuang nasib para petani kecil. Juga anak-menantunya – sepasang pengusaha sayur-mayur yang bangkrut karena kerja tengkulak sayur-mayur penindas – yang akhirnya berusaha mencari jalan bagi para petani yang dirugikan agar bisa mendapatkan saluran penjualan alternatif untuk menjual hasil buminya dengan harga yang pantas.
Sebagai catatan akhir, saat ini Mizan sedang mengupayakan produksi sebuah film dakwah-komedi rasa anak muda, yang menekankan pada tema cinta dan toleransi. Melanjutkan beberapa film bertema sama yang pernah diproduksi sebelumnya, selain beberapa film lain yang, di samping sifatnya yang menghibur, tetap meruapkan pesan-pesan sosial yang kuat. Karya-karya yang, meski terdengar klise, biasa disebut tontonan sekaligus tuntunan. Karena Mizan percaya, sebuah karya seni tak harus dipisahkan dari pesan-pesn kebaikan. Karena sesungguhnya keduanya tak bertentangan. Mana mungkin, keindahan bertabrakan dengan kebaikan?
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!