Mendedah Kegalauan Versi Pelajar
Sekilas, judul buku yang ditulis oleh J. Sumardianta ini mungkin membangun kesan “seorang remaja yang tengah patah hati”. Sebab, sedang patah hati, ia harus bangkit dari kegalauannya (move on). Namun, ternyata, “don’t judge a book by it’s cover” menjadi representasi utuh dari buku ini. Apa yang ingin disampaikan oleh J. Sumardianta jauh dari kesan “seorang remaja yang tengah patah hati”. Melainkan daripada itu, J. Sumardianta yang akrab disapa Pak Guru itu mencoba mengkritisi fenomena dunia digital yang sekarang terjadi. Ia juga menanggapi sistem pendidikan yang ada di Indonesia.
Secara keseluruhan, Pak Guru sebetulnya ingin menampilkan fenomena terkini anak muda serta dunia digital dalam pendidikan. Berangkat dari gempuran digital yang mempenetrasi dunia pendidikan, digitalisasi dianggap sebagai momentum yang mengubah kultur dalam pendidikan. Pak Guru menyebutkan bahwa dunia digital ditandai dengan orang-orang yang lebih sengsara karena fakir sinyal, daripada fakir miskin.
Judul “Habis Galau Terbitlah Move On” menggambarkan kontradiksi di dalam kehidupan yang terjadi baru-baru ini. Ia menyebut galau sebagai istilah yang mewakili perasaan pesimis nan temporer. Berbeda halnya dengan Move On, sebuah perasaan yang melambangkan optimisme melawan tirani penjajahan yang menghadirkan kegalauan.
Ditulis dengan gaya yang ringan namun cermat, J. Sumardianta yang memang berprofesi sebagai guru banyak mengkritisi sistem pendidkan yang carut-marut. Salah satunya adalah gaya pendidikan yang mengadopsi siswanya untuk menghafal, bukan berpikir. Hal ini menurut Pak guru adalah suatu hal yang primitf. Pak Guru juga membahas kurikulum yang begitu fatal dalam mengemas pendidikan. Kurikulum yang sering berganti-ganti – juga diboncengi oleh Ujian Nasional (UN), malah mengabaikan esensi dari pendidikan itu sendiri. Bukannya memiliki gairah untuk menyelami bidang yang disukainya, pelajar sekarang jauh lebih sering merasa stres dan depresi akibat pendidikan.
Ada banyak hal yang sebenarnya didedah oleh Pak Guru. Dengan menulis buku ini, ada banyak hal yang ingin digubah, terutama dan paling utama adalah sistem pendidikan yang masih karut marut. Ditambah lagi gempuran dunia digital yang semakin melenakan. Buku ini tentu memberikan ragam motivasi terutama pada guru dan murid untuk mengubah gaya pembelajaran di kelas. Ditulis dengan membagi bab menjadi sub bab-sub bab, buku ini menjadi lebih mudah dipahami. Selain itu, buku ini juga mengangkat banyak tokoh yang memberikan motivasi dan juga inspirasi.
Esensi dari perlawanan terhadap tirani sehingga orang-orang kembali bangkit dari kegalauan pasti didapatkan oleh siapa saja yang membacanya. Walaupun sasaran utama buku ini adalah pendidik dan pelajar, tentu hal tersebut tidak mengubah esensi pendidikan. Semua orang bisa membaca buku ini karena memuat berbagai hal temporer yang terjadi belakangan ini. Sebab, setiap orang perlu belajar dan mesti mengubah gaya pembelajaran menghafal yang kini digenapi oleh para pelajar.
Lamia Putri D. Sekilas, judul buku yang ditulis oleh J. Sumardianta ini mungkin membangun kesan “seorang remaja yang tengah patah hati”. Sebab, sedang patah hati, ia harus bangkit dari kegalauannya (move on). Namun, ternyata, “don’t judge a book by it’s cover” menjadi representasi utuh dari buku ini. Apa yang ingin disampaikan oleh J. Sumardianta jauh dari kesan “seorang remaja yang tengah patah hati”. Melainkan daripada itu, J. Sumardianta yang akrab disapa Pak Guru itu mencoba mengkritisi fenomena dunia digital yang sekarang terjadi. Ia juga menanggapi sistem pendidikan yang ada di Indonesia.
Secara keseluruhan, Pak Guru sebetulnya ingin menampilkan fenomena terkini anak muda serta dunia digital dalam pendidikan. Berangkat dari gempuran digital yang mempenetrasi dunia pendidikan, digitalisasi dianggap sebagai momentum yang mengubah kultur dalam pendidikan. Pak Guru menyebutkan bahwa dunia digital ditandai dengan orang-orang yang lebih sengsara karena fakir sinyal, daripada fakir miskin.
Judul “Habis Galau Terbitlah Move On” menggambarkan kontradiksi di dalam kehidupan yang terjadi baru-baru ini. Ia menyebut galau sebagai istilah yang mewakili perasaan pesimis nan temporer. Berbeda halnya dengan Move On, sebuah perasaan yang melambangkan optimisme melawan tirani penjajahan yang menghadirkan kegalauan.
Ditulis dengan gaya yang ringan namun cermat, J. Sumardianta yang memang berprofesi sebagai guru banyak mengkritisi sistem pendidkan yang carut-marut. Salah satunya adalah gaya pendidikan yang mengadopsi siswanya untuk menghafal, bukan berpikir. Hal ini menurut Pak guru adalah suatu hal yang primitf. Pak Guru juga membahas kurikulum yang begitu fatal dalam mengemas pendidikan. Kurikulum yang sering berganti-ganti – juga diboncengi oleh Ujian Nasional (UN), malah mengabaikan esensi dari pendidikan itu sendiri. Bukannya memiliki gairah untuk menyelami bidang yang disukainya, pelajar sekarang jauh lebih sering merasa stres dan depresi akibat pendidikan.
Ada banyak hal yang sebenarnya didedah oleh Pak Guru. Dengan menulis buku ini, ada banyak hal yang ingin digubah, terutama dan paling utama adalah sistem pendidikan yang masih karut marut. Ditambah lagi gempuran dunia digital yang semakin melenakan. Buku ini tentu memberikan ragam motivasi terutama pada guru dan murid untuk mengubah gaya pembelajaran di kelas. Ditulis dengan membagi bab menjadi sub bab-sub bab, buku ini menjadi lebih mudah dipahami. Selain itu, buku ini juga mengangkat banyak tokoh yang memberikan motivasi dan juga inspirasi.
Esensi dari perlawanan terhadap tirani sehingga orang-orang kembali bangkit dari kegalauan pasti didapatkan oleh siapa saja yang membacanya. Walaupun sasaran utama buku ini adalah pendidik dan pelajar, tentu hal tersebut tidak mengubah esensi pendidikan. Semua orang bisa membaca buku ini karena memuat berbagai hal temporer yang terjadi belakangan ini. Sebab, setiap orang perlu belajar dan mesti mengubah gaya pembelajaran menghafal yang kini digenapi oleh para pelajar.
Lamia Putri D.bentang
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!