Kiai Hologram: Kritik Fenomena Millenial Rasa Kerakyatan

Tak dapat disebut Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun jika tak produktif dalam menghasilkan tulisan berkualitas. Karya-karyanya, termasuk esai dan bentuk kesusastraan lainnya, bercerita tentang kondisi sosial manusia yang kompleks ….. <p>            Tak dapat disebut <a href="http://caknun.bentangpustaka.com">Emha Ainun Nadjib</a> atau <a href="http://caknun.bentangpustaka.com">Cak Nun</a> jika tak produktif dalam menghasilkan tulisan berkualitas. Karya-karyanya, termasuk esai dan bentuk kesusastraan lainnya, bercerita tentang kondisi sosial manusia yang kompleks. Beliau selalu sigap mengemas berbagai keresahan menjadi tulisan kritis yang mampu berperan sebagai refleksi bagi sesamanya.</p>

<p>            Hal itu pun tampak dalam buku kumpulan esai terbarunya yang berjudul <a href="http://mizanstore.com/kiai_hologram_60395"><em>Kiai Hologram</em></a>. Dari judul tersebut setidaknya pembaca dapat menerka-nerka tema yang akan menjadi pembahasan dalam buku setebal 296 halaman itu. Penasaran sukses membumbung sejak di toko buku, pun sejak masih bersegel.</p>

<p>            Secara garis besar, tulisan-tulisan dalam <a href="http://mizanstore.com/kiai_hologram_60395"><em>Kiai Hologram</em></a> ini lebih baru serta segar dalam merefleksikan kehidupan manusia yang selalu terbawa oleh perkembangan zaman. Mereka yang didera dua pilihan: membuat perubahan atau terbawa perubahan, sering kali merasa dilematis karena terpaksa atau dipaksa untuk selalu berubah mengikuti zaman. Padahal, mereka sejatinya lebih suka berada dalam zona kenyamanan yang statis.</p>

<p>            <a href="http://caknun.bentangpustaka.com">Cak Nun</a> pun sukses mencontohkan berbagai realita kehidupan manusia yang tergerus arus hingga lupa identitas diri, atau yang terlalu ambisius untuk viral hingga tak sadar jika dia telah “kehilangan dirinya”. Sebut saja fenomena AI (Artificial Intelegence) atau kecerdasan buatan, refleksi atas rasa kebinekaan yang mulai memudar di kalangan masyarakat, konsep puasa dan idulfitri secara filosofis, hingga industri tausiyah yang kian merajalela. Semua itu diperbincangkan oleh <a href="http://caknun.bentangpustaka.com">Cak Nun</a> dalam bukunya tanpa meninggalkan gaya khas kepenulisannya yang ringan dan berbobot. Dan tentunya, pengalaman yang didapat ketika membaca tulisan beliau rupanya sama persis dengan perasaan ketika menonton acara fenomenalnya: “Sinau dan Ngaji Bareng <a href="http://caknun.bentangpustaka.com">Cak Nun</a>”.</p>

<p>            Gaya penceritaan <a href="http://caknun.bentangpustaka.com">Cak Nun</a> yang sangat baik pun mampu menghidupkan karakter-karakter yang memang ditugaskan untuk memperkuat topik yang diulasnya. Selain itu, pemilihan diksi dan kata juga tak sembarangan. Meskipun berbentuk esai dan membahas mengenai krusialnya kehidupan manusia, tetapi <a href="http://caknun.bentangpustaka.com">Cak Nun</a> tetap memberikan kata-kata maupun diksi khas untuk memperkuat nilai dramatiknya, yang jika kalian membacanya maka tak sedikit pula hati terasa bergetar, atau yang paling tampak hasilnya ialah ketika kita sebagai pembaca akan merasa menjadi lebih kecil di hamparan semesta ini, dan jauh lebih kecil lagi di hadapan Allah, sang penguasa alam semesta ini.</p>

<p>            Melalui <a href="http://mizanstore.com/kiai_hologram_60395"><em>Kiai Hologram</em></a>, kita tak hanya mendapat kesegaran pemikiran atas wawasan baru, tetapi lebih dari itu, isu-isu dan topik yang diangkat pun mampu menjadi bahan diskusi yang <em>kompatibel</em> dan melahirkan banyak wacana baru untuk menghadapi kehidupan yang semakin tidak pasti ini.</p>

<p> </p>

<p><em>Eka Arief Setyawan</em></p>Eka Arief Setyawan

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta