Kebangkitan Sastra dalam Trilogi Insiden
Jika Anda merupakan penikmat ataupun penggiat sastra, pasti sudah tidak asing lagi dengan Seno Gumira Ajidarma. Ia merupakan seorang legenda hidup bagi kekhasanahan sastra Indonesia.
Seno, muncul pertama kali menggunakan nama pena Mira Sato dengan kumpulan puisi-puisinya yang terbit di media masa pada kala itu. Setelah sukses dengan puisi-puisinya yang menggugah hati, Mira Sato hadir kembali dengan kumpulan cerpen. Berbagai penghargaan telah ia sabet. Sudah tidak diragukan lagi kemampuannya dalam merangkai kata. Dua karakter cerpennya Alina dan Sukab, tak jarang dipakai sebagai potret cinta kasih yang tak sampai. Selain seorang sastrawan, ia juga merupakan seorang jurnalis, maka tak jarang jika tulisan-tulisannya lekat dengan kegelisahan atas politik Indonesia.
Beberapa pemberontakannya atas ketidakadilan negeri ini atas orde baru pun ia tuangkan dalam karyanya yang terangkum dalam “Trilogi Insiden” yang terbit pada awal 90an hingga 90an akhir. “Saksi Mata” menjadi sebuah pembuka dari trilogy tersebut. Saksi mata merupakan sebuah kumpulan cerpen yang di dalamnya bercerita tentang ketidakadilan yang terjadi di Timor Leste. Dilanjutkan dengan Jazz, Parfume dan Insiden yang terbit pada tahun 1996, yang mengisahkan tentang konflik di Dili. Trilogi ini pun diakhir dengan sebuah esai yang berjudul, “Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara”. “Trilogi Insiden” ini seakan menjadi sebuah pengingat kepada bangsa ini, bahwa sastra akan selalu hidup berdampingan.
Jika ditilik lebih lanjut, dunia kepenulisan pada masa ini memang lebih mudah. Kita memiliki kebebasan penuh untuk menciptakan karya melalui apa saja. Hal ini dipermudah lagi dengan teknologi yang membantu. Namun, dibalik kebebasan dan kemudhan itu, banyak sekali oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dengan menyebarkan hoax. Untuk itulah, “Trilogi Insiden”kembali dihadirkan oleh Bentang Pustaka, sebagai pengingat, bahwa kebebasan yang terlalu bisa sangat membahayakan. Jika Anda merupakan penikmat ataupun penggiat sastra, pasti sudah tidak asing lagi dengan Seno Gumira Ajidarma. Ia merupakan seorang legenda hidup bagi kekhasanahan sastra Indonesia.
Seno, muncul pertama kali menggunakan nama pena Mira Sato dengan kumpulan puisi-puisinya yang terbit di media masa pada kala itu. Setelah sukses dengan puisi-puisinya yang menggugah hati, Mira Sato hadir kembali dengan kumpulan cerpen. Berbagai penghargaan telah ia sabet. Sudah tidak diragukan lagi kemampuannya dalam merangkai kata. Dua karakter cerpennya Alina dan Sukab, tak jarang dipakai sebagai potret cinta kasih yang tak sampai. Selain seorang sastrawan, ia juga merupakan seorang jurnalis, maka tak jarang jika tulisan-tulisannya lekat dengan kegelisahan atas politik Indonesia.
Beberapa pemberontakannya atas ketidakadilan negeri ini atas orde baru pun ia tuangkan dalam karyanya yang terangkum dalam “Trilogi Insiden” yang terbit pada awal 90an hingga 90an akhir. “Saksi Mata” menjadi sebuah pembuka dari trilogy tersebut. Saksi mata merupakan sebuah kumpulan cerpen yang di dalamnya bercerita tentang ketidakadilan yang terjadi di Timor Leste. Dilanjutkan dengan Jazz, Parfume dan Insiden yang terbit pada tahun 1996, yang mengisahkan tentang konflik di Dili. Trilogi ini pun diakhir dengan sebuah esai yang berjudul, “Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara”. “Trilogi Insiden” ini seakan menjadi sebuah pengingat kepada bangsa ini, bahwa sastra akan selalu hidup berdampingan.
Jika ditilik lebih lanjut, dunia kepenulisan pada masa ini memang lebih mudah. Kita memiliki kebebasan penuh untuk menciptakan karya melalui apa saja. Hal ini dipermudah lagi dengan teknologi yang membantu. Namun, dibalik kebebasan dan kemudhan itu, banyak sekali oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dengan menyebarkan hoax. Untuk itulah, “Trilogi Insiden”kembali dihadirkan oleh Bentang Pustaka, sebagai pengingat, bahwa kebebasan yang terlalu bisa sangat membahayakan.Vivekananda Gitanjali
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!