W.S. Rendra: Bagi Saya, Ada Juga Puber Ketiga
“Kekasihku seperti burung murai
suaranya merdu.
Matanya kaca
hatinya biru”
– Kekasihku dalam “Puisi-puisi Cinta”
Rendra, pemilik nama lengkap Willybrordus Surendra atau biasa disingkat menjadi W.S. Rendra, lahir di Solo, 7 November 1935. Masa muda Rendra dipenuhi dengan vitalitas, memiliki pengaruh dan selalu dikerubungi banyak orang.
Ibunya bilang, “Willy, aku perhatikan kau selalu disukai teman-temanmu. Mereka suka merubung mendengarkan kau bercerita.”
Puber Ketiga
Suatu hari di rumahnya di Depok, penghayatan hidup seorang Rendra dikorek oleh reporter senior perempuan. Reporter perempuan itu bertanya mengenai perbedaan Rendra muda dengan Rendra yang sekarang. Rendra menjawab bahwa ketika umur dua puluhan ia hanyut dalam irama berahi, sementara setelah di masanya kini, berahinya yang terbawa dalam irama napasnya.
Bagi Rendra, berahinya kini lebih terlatih mengharmonikan irama dengan pernapasan dengan menggunakan energi yang tidak ada habis-habisnya. Energi itu mesti tumbuh lagi, seperti ketika ia membaca sajak, terasa tidak capek-capek. Baginya, stamina terus, energi lepas dan menghimpun kembali dengan sendirinya.
Sang reporter perempuan itu bertanya lagi mengenai apakah perempuan tahu membaca irama. Rendra menjawab bahwa perempuan itu makhluk yang peka, seperti sawah yang subur dan tanggap (Ah! Betapa agungnya perempuan!). Daya pikatnya tidak ada habis-habisnya untuk mengundang bajak kembali. Oleh karena itu, bagi Rendra, yang sawah adalah tempat sang bajak bisa menemukan ekspresi dirinya yang penuh, tugas sang bajak adalah memuliakan kehidupan.
Oleh L. Augusteen
“Kekasihku seperti burung murai
suaranya merdu.
Matanya kaca
hatinya biru”
– Kekasihku dalam “Puisi-puisi Cinta”
Rendra, pemilik nama lengkap Willybrordus Surendra atau biasa disingkat menjadi W.S. Rendra, lahir di Solo, 7 November 1935. Masa muda Rendra dipenuhi dengan vitalitas, memiliki pengaruh dan selalu dikerubungi banyak orang.
Ibunya bilang, “Willy, aku perhatikan kau selalu disukai teman-temanmu. Mereka suka merubung mendengarkan kau bercerita.”
Puber Ketiga
Suatu hari di rumahnya di Depok, penghayatan hidup seorang Rendra dikorek oleh reporter senior perempuan. Reporter perempuan itu bertanya mengenai perbedaan Rendra muda dengan Rendra yang sekarang. Rendra menjawab bahwa ketika umur dua puluhan ia hanyut dalam irama berahi, sementara setelah di masanya kini, berahinya yang terbawa dalam irama napasnya.
Bagi Rendra, berahinya kini lebih terlatih mengharmonikan irama dengan pernapasan dengan menggunakan energi yang tidak ada habis-habisnya. Energi itu mesti tumbuh lagi, seperti ketika ia membaca sajak, terasa tidak capek-capek. Baginya, stamina terus, energi lepas dan menghimpun kembali dengan sendirinya.
Sang reporter perempuan itu bertanya lagi mengenai apakah perempuan tahu membaca irama. Rendra menjawab bahwa perempuan itu makhluk yang peka, seperti sawah yang subur dan tanggap (Ah! Betapa agungnya perempuan!). Daya pikatnya tidak ada habis-habisnya untuk mengundang bajak kembali. Oleh karena itu, bagi Rendra, yang sawah adalah tempat sang bajak bisa menemukan ekspresi dirinya yang penuh, tugas sang bajak adalah memuliakan kehidupan.
Oleh L. Augusteen
bentang
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!