Eka Kurniawan, Surealisme dan Kekelaman Hidup
Membaca Eka Kurniawan, saya seakan diingatkan kembali pada masa-masa SMA dahulu di mana saya kerap kali menghabiskan waktu di perpustakaan mencari buku-buku cerita yang menarik. Salah satu buku kesukaan saya, adalah buku Malaikat Jatuh karya Clara Ng. Dalam buku tersebut, terdapat beberapa cerita yang dikemas dalam satu buku. Ada satu hal yang jelas terasa dari tiap cerita tersebut; nuansa surealis nan kelam.
Begitupun buku Perempuan Patah Hati yang Menemukan Cinta Melalui Mimpi karya Eka Kurniawan. Buku ini berisikan beberapa cerita pendek dengan nuansa kelam yang kental. Yang membuat setiap pembacanya lalu merenungi kelamnya kehidupan, betapa kehidupan mampu mengombang-ambingkan dan menginjak-injak anak manusia. Entah ada apa antara sastra surealis dan kekelaman hidup, namun keduanya kerapkali disandingkan bersamaan. Karena tidak hanya Clara Ng dan Eka Kurniawan, banyak penulis sastra lain yang gemar mengangkat cerita mengenai borok dan bobroknya kehidupan dan mengemasnya dalam berbagai metafor di dunia yang surealis. Seperti Seno Gumira Ajidarma dalam bukunya Penembak Misterius. Atau Djenar Maesa Ayu dalam bukunya Mereka Bilang Saya Monyet.
Mungkin keterkaitan erat antara sastra surealis dan kekelaman hidup ini berangkat dari asumsi (yang hampir selalu tepat) bahwa melankolia, atau kesedihan, mendorong kreatifitas seseorang dalam menciptakan karya seni. Dan bukankah dari kekelaman hidup tersebut, kesedihan dan melankolia berasal? Namun bagaimanakah pola hubungan antara kesedihan dan kreatifitas atau sastra dan kekelaman hidup? Apakah sastra surealis yang bagus selalu mengisahkan tentang kehidupan yang kelam? Apakah untuk mendapatkan dorongan kreatif dan menciptakan karya tulis yang bagus, seorang penulis harus menjadi sedih dan tenggelam dalam melankolia?
Bagaimanapun pola hubungannya, terdapat satu hal yang dapat kita sepakati bersama. Bahwasanya sastra, terutama yang bersifat surealis, dan kelamnya kehidupan, dapat berpadu dengan sangat indah. Ada sesuatu yang magis, yang dapat mempengaruhi jiwa kita kala membaca karya sastra yang seperti ini. Karya-karya ini menyampaikan sudut pandang tertentu, gagasan tertentu yang lalu terpatri dalam benak kita karena diselimuti dengan diksi dan gaya penceritaan yang estetis.
Begitupun Eka Kurniawan dan karya-karyanya yang surealis dan kelam. Mereka berhasil mempengaruhi jiwa saya pada tingkat yang sungguh mendalam. Karena Eka Kurniawan, telah berhasil mengawinkan sastra dan melankolia sedemikian rupa dan sedemikian indahnya.
Talitha Fredlina Azalia | @tithawesome Membaca Eka Kurniawan, saya seakan diingatkan kembali pada masa-masa SMA dahulu di mana saya kerap kali menghabiskan waktu di perpustakaan mencari buku-buku cerita yang menarik. Salah satu buku kesukaan saya, adalah buku Malaikat Jatuh karya Clara Ng. Dalam buku tersebut, terdapat beberapa cerita yang dikemas dalam satu buku. Ada satu hal yang jelas terasa dari tiap cerita tersebut; nuansa surealis nan kelam.
Begitupun buku Perempuan Patah Hati yang Menemukan Cinta Melalui Mimpi karya Eka Kurniawan. Buku ini berisikan beberapa cerita pendek dengan nuansa kelam yang kental. Yang membuat setiap pembacanya lalu merenungi kelamnya kehidupan, betapa kehidupan mampu mengombang-ambingkan dan menginjak-injak anak manusia. Entah ada apa antara sastra surealis dan kekelaman hidup, namun keduanya kerapkali disandingkan bersamaan. Karena tidak hanya Clara Ng dan Eka Kurniawan, banyak penulis sastra lain yang gemar mengangkat cerita mengenai borok dan bobroknya kehidupan dan mengemasnya dalam berbagai metafor di dunia yang surealis. Seperti Seno Gumira Ajidarma dalam bukunya Penembak Misterius. Atau Djenar Maesa Ayu dalam bukunya Mereka Bilang Saya Monyet.
Mungkin keterkaitan erat antara sastra surealis dan kekelaman hidup ini berangkat dari asumsi (yang hampir selalu tepat) bahwa melankolia, atau kesedihan, mendorong kreatifitas seseorang dalam menciptakan karya seni. Dan bukankah dari kekelaman hidup tersebut, kesedihan dan melankolia berasal? Namun bagaimanakah pola hubungan antara kesedihan dan kreatifitas atau sastra dan kekelaman hidup? Apakah sastra surealis yang bagus selalu mengisahkan tentang kehidupan yang kelam? Apakah untuk mendapatkan dorongan kreatif dan menciptakan karya tulis yang bagus, seorang penulis harus menjadi sedih dan tenggelam dalam melankolia?
Bagaimanapun pola hubungannya, terdapat satu hal yang dapat kita sepakati bersama. Bahwasanya sastra, terutama yang bersifat surealis, dan kelamnya kehidupan, dapat berpadu dengan sangat indah. Ada sesuatu yang magis, yang dapat mempengaruhi jiwa kita kala membaca karya sastra yang seperti ini. Karya-karya ini menyampaikan sudut pandang tertentu, gagasan tertentu yang lalu terpatri dalam benak kita karena diselimuti dengan diksi dan gaya penceritaan yang estetis.
Begitupun Eka Kurniawan dan karya-karyanya yang surealis dan kelam. Mereka berhasil mempengaruhi jiwa saya pada tingkat yang sungguh mendalam. Karena Eka Kurniawan, telah berhasil mengawinkan sastra dan melankolia sedemikian rupa dan sedemikian indahnya.
Talitha Fredlina Azalia | @tithawesomeBentang
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!