[CERMIN] Di Tubuh Cermin, Marnus Bermain

Children

Jika kau bercermin, jangan terlalu lama. Marnus kesepian di sana. Aku takut kau di seretnya masuk ke dalam, lalu tak bisa kembali.

Jika kau mengenal orang yang membekam anaknya ke dalam bantal, atau melicin anaknya sendiri. Aku salah satu dari mereka. Aku menyesalinya. Seperti hujan yang menjatuhkan tubuhnya ke tengah samudera atau pohon yang tumbuh di tengah kota.

Marnus berdenyut di rahimku. Ia dilahirkan dalam bak mandi yang penuh ketuban dan darah. Aku membencinya. Ayahnya terbang, membuang cintanya ke perempuan yang ia temui di mimpinya.

Pagi itu, Marnus pulang lagi dengan kepala kucing di tangannya. Bajunya penuh darah, juga kedua lengannya. Ia tak punya teman dengan penyakit yang memusing di kepalanya. Semua anak takut mendekati beruangemosional atau anak monyet jail.

Saat itu, nalarku sudah lepas dari kepala. Marnus sedang menari-nari di depan cermin kamarnya. Aku memeluknya seperti merpati dengan sayap lebatnya. Aku melihat Marnus dan Aku. Kami berdua berbeda jauh seperti mawar dan raflesia. Aku mendekatkan Marnus ke dalam cermin, lalu kuhantamkan kedua kepalanya. Darah keluar dari sela-sela pecahan kaca, juga kesialan buncrah di dalamnya.

Sekumpulan beban turun berderap dari punggungku. Jiwaku seperi awan. Namun, ada yang membuatku tertegun. Marnus masih berdiri di cermin itu.

—–

Oleh: Mufidz At-thoriq Syarifudin (@mutthoriqs)

Sumber gambar: https://www.pinterest.com/pin/526991593873349875/ Children

Jika kau bercermin, jangan terlalu lama. Marnus kesepian di sana. Aku takut kau di seretnya masuk ke dalam, lalu tak bisa kembali.

Jika kau mengenal orang yang membekam anaknya ke dalam bantal, atau melicin anaknya sendiri. Aku salah satu dari mereka. Aku menyesalinya. Seperti hujan yang menjatuhkan tubuhnya ke tengah samudera atau pohon yang tumbuh di tengah kota.

Marnus berdenyut di rahimku. Ia dilahirkan dalam bak mandi yang penuh ketuban dan darah. Aku membencinya. Ayahnya terbang, membuang cintanya ke perempuan yang ia temui di mimpinya.

Pagi itu, Marnus pulang lagi dengan kepala kucing di tangannya. Bajunya penuh darah, juga kedua lengannya. Ia tak punya teman dengan penyakit yang memusing di kepalanya. Semua anak takut mendekati beruangemosional atau anak monyet jail.

Saat itu, nalarku sudah lepas dari kepala. Marnus sedang menari-nari di depan cermin kamarnya. Aku memeluknya seperti merpati dengan sayap lebatnya. Aku melihat Marnus dan Aku. Kami berdua berbeda jauh seperti mawar dan raflesia. Aku mendekatkan Marnus ke dalam cermin, lalu kuhantamkan kedua kepalanya. Darah keluar dari sela-sela pecahan kaca, juga kesialan buncrah di dalamnya.

Sekumpulan beban turun berderap dari punggungku. Jiwaku seperi awan. Namun, ada yang membuatku tertegun. Marnus masih berdiri di cermin itu.

—–

Oleh: Mufidz At-thoriq Syarifudin (@mutthoriqs)

Sumber gambar: https://www.pinterest.com/pin/526991593873349875/bentang

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta