Kumpulan pemberitaan terkini.

karya Dee Lestari

Karya Dee Lestari Ajak Pembaca Nikmati Pengalaman Unik Baca Rapijali

Karya Dee Lestari diumumkan akan terbit yang berjudul Rapijali. Naskah yang tertidur selama 27 tahun lamanya itu akhirnya ditulis ulang dan ditamatkan untuk terbit tahun ini.Kisah Rapijali pun disiapkan Dee Lestari untuk terbit dalam format cerbung sebelum rilis edisi cetaknya. Rapijali hadir sebagai cerbung digital melalui platform Storial.Co.

Edisi cetak Rapijali bakal diterbitkan oleh penerbit terkemuka asal Yogyakarta, Bentang Pustaka, yang selama satu dekade merilis karya-karya Dee.

Sinergi dari dua penerbit dan dua format berbeda itu bakal memberikan pengalaman membaca yang unik dari penerbitan karya biasanya.

Selama format cerbung rilis pada 25 Januari 2021, Dee Lestari akan menemani pembaca dan ikut berinteraksi dalam forum. Dee Lestari menuturkan keterbatasan mobilitas di masa pandemi dengan hadirnya bacaan seru di rumah akan menjadi hiburan menyenangkan.

Karya Dee Lestari Ajak Pembaca Nikmati Pengalaman Unik Baca Rapijali

karya Dee Lestari

“Mengingat sensasi membaca buku cetak yang tidak tergantikan, kami mengawinkan kedua format tersebut melalui paket penawaran akses premium dengan manfaat penuh bagi pembaca, sehingga pembaca digital maupun cetak sama-sama diuntungkan,” ungkap Dee Lestari, dalam keterangan pers yang diterima detikcom, Rabu (20/1/2021).

Akses premium itu disediakan dalam jumlah terbatas yakni 2.000 pembaca yang beruntung mengikuti pre order sejak 8 Januari 2021.

Karya terbaru Dee Lestari Rapijali menceritakan tentang Ping, seorang remaja perempuan berusia 17 tahun yang hidup damai di Pantai Batu Karas bersama kakeknya yang seorang pemusik. Rumah mereka berada di tepian Sungai Cijulang.

Dengan bakat musik yang istimewa, Ping merasa tidak punya wadah di Batu Karas. Tapi ia tidak berani bercita-cita besar karena keterbatasan yang ada dalam kehidupannya.

Hidup Ping berubah ketika ia pindah ke Jakarta dan tinggal bersama dengan keluarga calon Gubernur. Ping menghadapi tantangan baru. Ia menyadari hidupnya tidak sesederhana yang diduga.

Setelah terbit dalam format cerbung di Storial.Co mulai 25 Januari, edisi cetaknya bakal rilis di pasaran mulai akhir Februari 2021.


Berita dilansir dari Detik HOT, pada 20 Januari 2021.

Tia Agnes – detikHot
Rabu, 20 Jan 2021 13:25 WIB
rapijali dua versi

“RAPIJALI” dalam dua versi

Penulis Dee Lestari bersiap meluncurkan karya fiksi terbarunya berupa novel berjudul “RAPIJALI” dalam dua versi cetak dan digital pada tahun ini.

Sebelum dilansir dalam bentuk edisi cetak, “RAPIJALI” akan hadir sebagai cerita bersambung (cerbung) dalam dua versi. Cetak dan Digital melalui platform Storial.co. Sementara untuk edisi cetak, Dee yang kembali bekerja sama dengan Bentang Pustaka menjadwalkan perilisannya pada akhir Februari 2021.

“RAPIJALI” digital nantinya dilengkapi fitur Forum untuk membangun suasana membaca bersama komunitas seperti yang pernah terwujud menjadi Digitribe Aroma Karsa, yakni kumpulan pembaca cerbung Aroma Karsa yang masih solid hingga kini.

Melalui fitur forum yang disediakan oleh Storial.co, para pembaca bisa saling berkomentar, mengobrol, dan bertukar meme untuk merespons potongan demi potongan cerita yang mereka nanti setiap minggunya.

Tak hanya itu saja, Dee Lestari bahkan ikut serta menemani pembaca selama cerbung berlangsung dan ikut berinteraksi di Forum.

“Dengan keterbatasan mobilitas di masa pandemi, hadirnya bacaan seru yang bisa dinikmati berkala di rumah lewat gawai masing-masing pasti jadi hiburan menyenangkan,” kata Dee dalam siaran persnya, Rabu.

Rapijali dalam Dua Versi

rapijali dua versi

“Tapi, mengingat sensasi membaca buku cetak yang tidak tergantikan. Kami pun mengawinkan kedua format tersebut melalui paket penawaran akses premium dengan manfaat penuh bagi pembaca. Sehingga baik pembaca digital maupun cetak sama-sama diuntungkan,” imbuh dia.

Akses premium ditawarkan dalam jumlah terbatas yakni 2.000 pembaca.

“RAPIJALI” merupakan manuskrip tertua Dee Lestari yang sudah “tertidur” selama 27 tahun. Karya itu mengangkat tema utama yang dekat dengan kehidupan Dee Lestari yakni musik, juga dilengkapi sentuhan unsur drama keluarga, politik, dan persahabatan khas remaja.

RAPIJALI” berkisah tentang Ping, remaja perempuan berusia 17 tahun yang hidup damai di Pantai Batu Karas bersama kakeknya yang seorang pemusik di rumah mereka dekat tepian Sungai Cijulang.

Dengan bakat musiknya yang istimewa, Ping merasa tidak memiliki wadah di Batu Karas. Namun, dia tidak berani bercita-cita besar karena keterbatasan yang melingkupi hidupnya.

Hidup Ping mendadak jungkir balik ketika dia harus pindah ke Jakarta dan tinggal bersama keluarga calon Gubernur. Dia harus menghadapi sekolah baru, kawan-kawan baru, dan tantangan baru. Dari sana, Ping menyadari hidupnya ternyata tidak sesederhana yang ia duga. Ada sesuatu dari masa lalunya yang menanti untuk dikuak.

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Alviansyah Pasaribu
COPYRIGHT © ANTARA 2021


Berita dilansir dari Antara News, pada 20 Januari 2021.

dee lestari novel cinta

Dee Lestari Rilis Novel Bertema Musik, Persahabatan, Cinta dan Politik

Ingin baca novel bertema musik, persahabatan, cinta, dan politik dari Dee Lestari? Kamu yang mulai bosan streaming-an, dan lagi jarang-jarangnya nih membaca buku fisik di rumah. Tenang, sebentar lagi bakal ada satu bacaan seru yang siap mengasah indera pendengaran pembaca.
Yap, meski membaca dilakukan dengan kedua mata, pada novel rilisan terbaru Dee Lestari berjudul Rapijali, eksplorasi ruang dengar kamu bakal disasar dalam ceritanya nanti.
Mungkin jika kamu mengikuti karya novel cinta Dee Lestari sebelumnya, Aroma Karsa, indra penciuman kamu diajak berpetualang ke gunung di Jawa.
Nah, bocoran singkat di novel Rapijali, kamu bakal diajak untuk membaca ranah pendengaran bertema musik, persahabatan remaja, cinta, politik dan juga drama keluarga.
Menyesuaikan dengan mobilitas kamu di rumah aja, novel terbaru Der Lestari ini bakal disuguhkan dalam versi cetak dan digital pada Februari 2021.
Novel ini juga, sebelum dicetak dalam dua versi, potongan cerita Rapijali akan hadir sebagai cerita bersambung (cerbung) yang bisa diakses secara digital melalui platform Storial.co.

Dee Lestari Rilis Novel Bertema Musik, Persahabatan, Cinta dan Politik

“Dengan keterbatasan mobilitas di masa pandemi, hadirnya bacaan seru yang bisa dinikmati berkala di rumah lewat gawai masing-masing pasti jadi hiburan menyenangkan,” kata Dee dalam siaran pers yang dirilis tepat di hari ulang tahunnya, Rabu (20/1/2021) ini.

“Tapi, mengingat sensasi membaca buku cetak yang tidak tergantikan, kami pun mengawinkan kedua format tersebut melalui paket penawaran akses premium dengan manfaat penuh bagi pembaca, sehingga baik pembaca digital maupun cetak sama-sama diuntungkan,” tambah Dee lagi.

Namun perlu dicatat, akses premium yang ditawarkan ini hanya dalam jumlah terbatas yakni untuk 2.000 pembaca yang mendaftar.

Novel Rapijali digital ini juga dilengkapi fitur Forum untuk membangun suasana membaca bersama komunitas.

“Ya, seperti yang pernah terwujud menjadi Digitribe Aroma Karsa. Yakni kumpulan pembaca cerbung Aroma Karsa yang masih solid hingga kini,” tutur Dee lagi.

Sementara untuk edisi cetaknya, Dee kembali bekerja sama dengan Bentang Pustaka untuk segera merilisnya pada akhir Februari nanti.

 

dee lestari novel cinta

Rapijali manuskrip lama

Rapijali merupakan manuskrip tertua Dee Lestari yang sudah “tertidur” selama 27 tahun. Karya fiksi itu berkisah tentang Ping, cewek berusia 17 tahun yang hidup damai di Pantai Batu Karas bersama kakeknya. Kakeknya seorang pemusik yang tinggal di rumah mereka dekat tepian Sungai Cijulang.

Ping sendiri  juga punya bakat musik yang istimewa, namun ia tidak berani bercita-cita besar karena keterbatasan hidupnya.

Namun, hidupnya tiba-tiba berubah karena ia harus pindah ke Jakarta dan tinggal bersama calon Gubernur. Dari sana, ia menyadari bahwa ternyata hidupnya tidak sesederhana itu. Ada sesuatu dari masa lalunya yang menanti untuk dikuak.

Penasaran seperti apa kisah Ping, di Rapijali? Yuk akrabi buku cetaknya akhir Februari dan nikmati buku digitalnya mulai 25 Januari. (*)


Berita dilansir dari HAI Online, 20 Januari 2021.

Al Sobry – Rabu, 20 Januari 2021 | 14:44 WIB

Manfaat Bermain Bersama Anak: Dari Meningkatkan Kesehatan Mental hingga Edukasi

Sebelum pandemi, banyak dari kita yang menghabiskan waktu di luar rumah untuk bekerja. Karena jarang di rumah, kita juga jarang bermain dengan anak. Selama pandemi, artinya kita lebih sering menghabiskan waktu di rumah. Inilah kesempatan kita untuk merasakan manfaat bermain bersama anak.

Banyak alasan orang tua jarang bermain bersama anak. Mulai dari tidak adanya waktu hingga tidak memiliki energi. Untuk masalah waktu, kita memang perlu mengatur supaya dapat memiliki waktu bermain dengan anak. Jika terhalang waktu dan tenaga, kita bisa memilih memilih permainan yang tidak banyak menguras tenaga dan waktu. Contohnya, kita bisa bermain board game atau activity book di mana kita hanya perlu duduk dan bebas menentukan waktu bermain.

Memang banyak yang menganggap bermain bersama anak itu tidak terlalu penting. Mereka bisa bermain sendiri, kok. Kan mereka juga udah punya mainan sendiri. Lagi pula mereka punya teman sebaya untuk diajak bermainan. Kira-kira begitu yang sering kita pikirkan untuk membenarkan alasan kita tidak bermain bersama anak. Padahal, bermain bersama anak memiliki berbagai manfaat baik untuk anak itu sendiri hingga keluarga. Berikut manfaat bermain bersama anak:

  1. Manfaat bermain bersama anak untuk membangun bonding antara anak dan orang tua

Ketika bermain bersama anak, kita sekaligus membangun ikatan emosional dengan anak. Ikatan ini terjadi karena anak akan merasakan kasih sayang orang tua saat bermain dengan mereka. Rasa percaya anak ke orang tua juga akan meningkat. Inilah yang akan meningkatkan bonding antara orang tua dana anak. Bonding dengan anak sangat penting untuk menjaga keharmonisan keluarga dan membuat anak mau mendengarkan hingga menghargai orang tua.

Baca juga: CARI TAHU! AKTIVITAS SERU UNTUK MELATIH MOTORIK HALUS ANAK USIA DINI

  1. Menjaga kesehatan mental anak

Anak yang jarang menghabiskan waktu dengan orang tua rentan mengalami gangguan kesehatan mental, baik muncul sejak dini atau ketika tumbuh dewasa. Kurangnya kehangatan dari orang tua membuat mereka merasa kurang dicintai. Efeknya, anak bisa kesulitan untuk mencintai dirinya sendiri hingga memendam masalah sendiri yang berujung pada stress. Bermain dengan anak dapat menjaga kesehatan mental mereka karena akan mendapat kasih sayang yang cukup dan memiliki orang untuk berbagi cerita.

  1. Manfaat bermain  bersama anak untuk meningkatkan kemampuan motorik anak

Dengan bimbingan orang tua, anak dapat meningkatkan kemampuan motoriknya dengan maksimal. Ketika bermain dengan board game atau activity book, anak akan mengasah kemampuan motorik halus. Saat berlari atau memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lain, motorik kasar mereka akan terasah.

  1. Mengedukasi anak

Edukasi memang bisa dilakukan di sekolah. Tapi, masih banyak hal yang perlu anak tahu yang tidak diajarkan di sekolah. Seperti cara menjaga hidup sehat. Walaupun mereka masih anak-anak, bukan berarti mereka tidak perlu diajari cara menjaga kesehatan sendiri. Bermain bersama anak adalah momen tepat menyisipkan pengetahuan tersebut tanpa terkesan menggurui. Terlebih lagi jika kita menggunakan sarana bermain tepat seperti starter kit Healthy Kids yang fokus mengajarkan anak menjaga kesehatan diri.

Manfaat bermain bersama anak sendiri sudah memiliki manfaat yang signifikan untuk keluarga. Supaya manfaat bermain bersama anak tercapai secara efektif, kita perlu menggunakan alat permainan yang tepat. Salah satu sarana efektif adalah starter kit Healthy Kids yang berisi board game dan activity book untuk meningkatkan kesadaran anak tentang kesehatan diri.

Butuh Terapi Jiwa untuk Atasi Depresi? Henry Manampiring Rekomendasikan Buku Ini

Henry Manampiring, influencer media sosial, dikenal sebagai sosok yang humoris, cerdas, serta tak pelit membagikan rekomendasi mengenai hal-hal baru. Setelah sukses menerbitkan buku laris Filosofi Teras, Henry membuka mata para generasi milenial tentang pentingnya kesadaran akan kesehatan mental. Terutama untuk mengatasi perasaan emosi negatif yang naik turun secara berlebihan dan berujung depresi.

Depresi memang tak bisa dianggap remeh. Apalagi banyak kasus percobaan bunuh diri yang dilatarbelakangi oleh perasaan tak berharga. Dalam skala yang lebih ringan, depresi mampu mengacaukan keseharian kita akibat putus harapan dan rasa sedih yang berlebihan. Menurut Henry Manampiring, selain terapi pengobatan klinis, cara lain yang bisa ditempuh untuk mengembalikan keseimbangan hidup adalah dengan mepraktikkan ajaran filsafat Yunani-Romawi Kuno.

 

Rekomendasi Buku Nonfiksi sebagai Terapi Jiwa

Kini, Henry Manampiring merekomendasikan salah satu buku penting tentang ajaran dan praktik filsafat yang bisa berperan sebagai terapi jiwa. Buku tersebut adalah Philosophy for Life: And other dangerous situations karya Jules Evans, yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Bentang Pustaka dengan judul Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya.

“Jika kamu masih menganggap filsafat sebagai topik yang mengawang-awang dan tak berguna, buku ini akan mengubah pandanganmu. Dengan bahasa yang lugas dan penuh cerita menarik, Jules Evans menunjukkan bahwa filsafat justru bisa menjadi ‘terapi jiwa’ dan pilihan laku hidup (way of life). Kita bisa belajar dari kaum Stoa bagaimana tangguh menghadapi kesulitan hidup, dari kaum Epicurean menemukan kenikmatan hidup sejati, dari Phytagoras soal mendisiplinkan mental, dari kaum Skeptis cara untuk tidak mudah dibohongi, dan lain-lain. Kamu bisa belajar menjadi lebih bijak dalam menjalani hidup dengan ide dan pemikiran yang sudah bertahan ribuan tahun di dalam buku ini. Buku ini juga menjadi salah satu inspirasi saya menulis Filosofi Teras,” pesannya.

Berikut ini kami rangkum tiga hal menarik dari buku Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya yang diulas oleh Henry Manampiring di channel Youtube-nya.

Rich result on Google's SERP when searching for 'Henry Manampiring Depresi''

Filsafat Membantu Penulis Buku ini Sembuh dari Depresi

Buku ini merupakan hasil tangkapan, riset, investigasi Jules Evans tentang berbagai aliran filsafat klasik zaman Yunani dan Romawi kuno. Evans menunjukkan bagaimana setiap aliran filsafat ini bertahan sampai sekarang: siapa saja pengikutnya, kelompok-kelompok yang menerapkan, dan bagaimana aliran-aliran tersebut masih relevan dengan kehidupan sekarang.

Pembahasan dalam buku ini berfokus pada School of Athens [Sekolah Athena], aliran yang berakar dari tradisi Yunani kuno. Aliran filsafat dari Yunani Kuno memang dikenal memiliki muatan way of life yang signifikan. Bagi Henry, aliran ini banyak memberikan nasihat mengenai panduan jalan hidup. Apalagi jika dibandingkan dengan aliran filsafat modern yang lebih njelimet dan susah dicari relevansinya dengan kehidupan sehari-hari. Menariknya, Evans tidak berposisi sebagai reporter atau investigator yang menuliskan hasil risetnya. Secara langsung dia bercerita tentang pengalamannya lepas dari depresi akibat aliran-aliran filsafat yang dipelajarinya. Ia juga menguraikan bahwa filsafat bukanlah kata-kata bijak semata, melainkan sesuatu yang bisa dipraktikkan setiap hari.

 

Henry Manampiring: Kenapa Buku ini Penting Dibaca?

Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya menunjukkan bahwa ada begitu banyak aliran filsafat yang bisa bermanfaat bagi hidup kita. Contohnya, Filsafat Stoa yang membantu kita untuk lebih resilien, lebih tangguh menjalani hidup, terlebih pada zaman resesi seperti sekarang. Dari Filsafat Epicurean, kita akan diajak untuk semakin memahami petuah “bahagia itu sederhana”. Skepticisme mengajarkan kita untuk berpikir kritis terhadap segala sesuatu, mempertanyakan banyak hal. Tentunya sangat relevan dengan situasi sekarang yang penuh hoaks dan fake news. Ada pula pembahasan mengenai kematian dari perspektif filsafat: Bagaimana kematian seharusnya tidak membuat kita takut?

 

Henry Manampiring: Cara Penulisannya Mengingatkan Saya pada Malcolm Gladwell

Tulisan Jules Evans mengingatkan Henry Manampiring pada gaya Malcolm Gladwell. Setiap babnya selalu diawali dengan kisah menarik dari seseorang, masalah dalam hidupnya, dan bagaimana praktik filsafat membantu orang itu menjadi lebih baik. Dengan bahasa yang mudah dan tidak njelimet, pembaca di Indonesia bisa menemukan aplikasinya di kehidupan sehari-hari. “Saya senang sekali buku ini akhirnya diterjemahkan oleh Bentang Pustaka. Semoga tulisan ini lebih banyak menjangkau orang-orang di Indonesia,” ujar Henry.

 

Nah, demikian tadi tiga nilai lebih dari Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya. Buku ini tengah memasuki masa PO yang berlangsung pada 1 hingga 11 Oktober 2020 di laman bentangpustaka.com.

Rich result on Google's SERP when searching for 'masalah hidup'

Masalah Hidup Tak Kunjung Usai? Buku Ini akan Menyelamatkanmu

Masalah hidup memang tiada habisnya. Terlebih di situasi pandemi yang sangat menguji kewarasan kita. Mulai dari mobilitas yang terbatas, penghasilan yang kian menipis, hingga perasaan was-was yang berlangsung setiap saat. Segala sesuatu yang tadinya normal seketika bergejolak. Jika tidak berhati-hati, kita akan didera perasaan cemas yang berkepanjangan.

Ketidakpastian akan masa depan sungguh membayang. Tak heran jika ada banyak orang yang kesulitan beradaptasi lalu berujung depresi. Kampanye yang muncul belakangan ini membuka mata kita bahwa depresi maupun perasaan cemas yang berlebihan tak boleh disepelekan. Kesehatan mental adalah kunci utama bagi kebahagiaan hidup. Untuk mengatasi masalah hidup yang semakin membebani ini, kita perlu segera mencari pertolongan. Cara yang paling tepat adalah dengan menghubungi para ahli maupun terapis. Namun sebagai langkah awal, mencari referensi buku yang tepat untuk menenangkan jiwa juga bisa menjadi solusi.

 

Mengurai Masalah Hidup Lewat Filsafat Kuno

Jules Evans, pengelola Well-Being Project di Centre for the History of the Emotions di Queen Mary, University of London, pernah mendapati dirinya hidup dalam rasa cemas, depresi, serta stres pasca-trauma selama bertahun-tahun.

Melalui risetnya, Jules mengetahui bahwa gangguan-gangguan emosional ini nyatanya dapat ditangani dengan CBT (Cognitive Behavioural Therapy atau Terapi Perilaku Kognitif). Sebulan setelah menjalani terapi itu, ia tidak lagi terkena serangan panik. Kepercayaan dirinya kembali muncul, bahkan mampu mencerna emosi yang meluap secara tiba-tiba. Menariknya, ide dan teknik-teknik dalam CBT ternyata tak asing—mengingatkannya pada pengetahuan seputar filsafat Yunani Kuno.

Salah satunya adalah ajaran Socrates. Socrates menyatakan tanggung jawab kita sendirilah untuk “merawat jiwa”, dan inilah yang diajarkan filsafat kepada kita—seni psikoterapi, yang berasal dari bahasa Yunani dengan makna “merawat jiwa”. Kitalah yang harus menguji jiwa sendiri dan memilih prinsip serta nilai-nilai mana yang masuk akal dan mana yang membahayakan. Dalam konteks ini, filsafat merupakan suatu bentuk pengobatan yang dapat kita lakukan sendiri.

“Riset yang dilakukan oleh Jules Evans ini kemudian dituangkan ke dalam buku berjudul Philosophy for Life: And other dangerous situasions. Mengingat isi buku ini sangat ampuh untuk menyelamatkan kita dari kondisi tertekan akibat berbagai masalah hidup, kami pun memutuskan untuk menerbitkan edisi Bahasa Indonesianya: Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya. Tak perlu memiliki basis filsafat untuk membacanya. Pembahasan buku ini sangat ringan hingga bisa dibaca oleh siapapun,” ujar Nurjannah Intan, editor Nonfiksi di Bentang Pustaka.

Menyelesaikan Masalah Hidup dengan Berguru pada Filsadat Kuno

 Baca juga: Luka Batin Tak Kunjung Reda, Terapkan Cara Berikut untuk Menyembuhkannya!

 

Terapi Jiwa, Sebuah Solusi

Henry Manampiring, influencer sekaligus penulis Filosofi Teras, mengemukakan bahwa karya Jules Evans ini bisa berfungsi sebagai terapi jiwa. “Jika kamu masih menganggap filsafat sebagai topik yang mengawang-awang dan tak berguna, buku ini akan mengubah pandanganmu. Dengan bahasa yang lugas dan penuh cerita menarik, Evans menunjukkan bahwa filsafat justru bisa menjadi ‘terapi jiwa’ dan pilihan laku hidup (way of life). Kita bisa belajar dari kaum Stoa bagaimana tangguh menghadapi kesulitan hidup, dari kaum Epicurean menemukan kenikmatan hidup sejati, dari Phytagoras soal mendisiplinkan mental, dari kaum Skeptis cara untuk tidak mudah dibohongi, dan lain-lain. Kamu bisa belajar menjadi lebih bijak dalam menjalani hidup dengan ide dan pemikiran yang sudah bertahan ribuan tahun di dalam buku ini. Buku ini juga menjadi salah satu inspirasi saya menulis Filosofi Teras.

 

Masa pre-order Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya akan segera berlangsung pada 1—11 Oktober 2020 di laman bentangpustaka.com

Novel Pandemi

Novel Pandemi Terbaru dari Akmal Nasery Basral

Novel pandemi di Indonesia akan hadir sebentar lagi. Sejak awal 2020, penduduk dunia diresahkan oleh pandemi COVID-19. Virus yang menyerang sistem pernapasan ini bisa dibilang melumpuhkan hampir seluruh aspek kehidupan dan berbagai sektor perekonomian. Manusia mengurangi interaksi fisik dan beralih ke internet untuk bersosialisasi serta melakukan aktivitas-aktivitas lainnya. Perubahan terjadi di mana-mana.

Novel Pandemi di Indonesia

Novel Pandemi

Dalam dunia kreatif, berbagai seniman dan pengarang mencoba menerjemahkan pemikirannya atas pandemi ini ke dalam bentuk karya. Salah satunya adalah Akmal Nasery Basral, sastrawan kelahiran Sumatra Barat, dengan sejumlah karya antara lain Imperia, novel sejarah yang membahas pencarian harta karun, Sang Pencerah yang mengangkat kisah Pendiri Muhammadiyah yaitu KH Ahmad Dahlan, dan Presiden Prawiranegara. Mengawali kariernya sebagai seorang jurnalis, Akmal Nasery Basral berpengalaman di berbagai media seperti majalah mingguan Tempo, Gatra, Gamma, dan Koran Tempo.

Kekacauan di mana-mana yang ditimbulkan oleh pandemi COVID-19 membuatnya gemas mengayunkan penanya menulis cerita fiksi, yaitu sebuah novel pandemi. Situasi ini menyadarkannya bahwa virus, bakteri, dan semacamnya bisa menjadi senjata biologi yang tak kalah berbahaya dengan persenjataan militer supercanggih dan supermahal.

Tema Novel yang Misterius

Dalam novel pandemi yang sedang ditulisnya, Akmal Nasery Basral mengangkat tema pandemi misterius yang menyebabkan kematian di berbagai belahan dunia. Novel ini berawal dari kasus keracunan di Vatikan pada puncak peringatan Hari Kemiskinan Dunia (World Day of the Poor) ke-10 yang berlangsung di Vatikan pada hari Minggu ke-33 di tahun 2026. Tepatnya malam ketika Sri Paus Yohanes Paulus III bersama para tokoh agama di seluruh dunia. Dunia pun terperangah dengan berbagai teori tentang siapa yang meracuni tokoh nomor satu dalam gereja Katolik Roma itu. Cerita bergulir makin cepat ketika selama hampir satu pekan selanjutnya di berbagai kota dunia seperti Guigang (Pegunungan Yaji, Tionghoa), Nederweert (Belanda), Braedsturp (Denmark), dan Hupperdange (Luxemburg). Ada juga St. Louis (Amerika Serikat), Villavicencio (Kolombia), Saint-Cyr-sur-Menthon (Prancis), dan Kupang (NTT, Indonesia). Sejumlah masyarakat sipil menjadi korban sebuah penyakit misterius yang berkaitan dengan infeksi saluran pernapasan.

Kasus ini menggugah seorang ahli epidemiologi Indonesia, Permata Pertiwi untuk menyelidik lebih jauh fenomena virus mematikan yang masih misterius ini. Dibantu Alexander Oey, seorang ahli komputer, mereka terperangkap dalam lika-liku rahasia tingkat tinggi yang mengancam keselamatan penduduk dunia.

Memadukan berbagai elemen misteri, thriller, action, agama, filsafat, sejarah, dan politik global, novel pandemi ini akan terbit menjelang akhir 2020. Bagi pembaca yang merindukan nuansa ketegangan dibalut sains, terutama virologi dan epidemiologi, novel Disorder ini layak Anda tunggu.

4 Ikon Bersejarah Yogyakarta yang Disebut dalam Buku Terbaru Cak Nun

Yogyakarta selalu memiliki tempat di hati orang-orang yang pernah singgah. Penduduknya yang santai dalam menjalani hidup hingga lokasi wisata yang tersebar di segala penjuru, membuat kota ini begitu “hidup”. Bahkan, dengan begitu banyaknya pelajar dari berbagai provinsi yang merantau demi menuntut ilmu, Yogya kerap disebut sebagai miniatur Indonesia.

Akan tetapi, keistimewaan Yogyakarta tidak hanya terletak pada kemeriahan maupun keberagaman suasananya. Hal paling mendasar yang membuat kota ini begitu istimewa adalah para warga Yogya sangat memperhatikan patrap [pedoman perilaku] sebagai atlas nilai kehidupan.

Oleh karena itu, tak heran jika Cak Nun mendedikasikan kehangatan dan keistimewaan Yogyakarta dalam buku terbarunya, Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar. Dalam memaparkan nilai hidup tersebut, Cak Nun mengilustrasikannya ke dalam empat ikon bersejarah yang bisa kita kunjungi dan nikmati berikut ini.

  1. Gunung Merapi

Bagi warga sekitarnya, Gunung Merapi adalah sumber kehidupan. Saking sakralnya peran gunung ini, setiap kali erupsi, masyarakat enggan menyebut peristiwa tersebut dengan kata meletus. “Merapi sedang duwe gawe [punya hajat],” demikian pesan almarhum Mbah Maridjan, sang juru kunci.

Manunggaling kawula lan Gusti [konsep tentang bersatunya antara rakyat dan pemimpin atau hamba dan Tuhannya] juga tecermin pada posisi Gunung Merapi. Berdasarkan penuturan sejarah, Pangeran Mangkubumi menemukan garis lurus antara puncak Merapi ke tiang pancang balairung di bangunan samar di Laut Selatan. Inilah khatulistiwa kosmologi Ngayogyakarta Hadiningrat. Garis lurus itu merupakan proporsi kosmologis ditatanya Negeri Ngayogya. Pada titik-titik dalam garis itu, terdapat penyatuan dan kemenyatuan antara Tuhan, alam, dan manusia.

 

  1. Malioboro

Para wisatawan dari dalam maupun luar Yogya pasti selalu menyempatkan diri mengunjungi area ini. Malioboro memang dikenal sebagai pusat perbelanjaan dan tempat berkumpul warga. Menurut kesaksian Cak Nun, Malioboro dulu adalah kawah Candradimuka yang melatih para penyair, cerpenis, dan novelis. Bisa dikatakan, Yogya adalah mercusuar kesenian nasional. Untuk waktu yang sangat lama, berpuluh-puluh tahun, Yogya adalah laboratorium utama dunia seni rupa, bersaing dengan Bandung. Yogya adalah barometer dunia teater dan kekuatan utama potensi dan aktualisasi kesusastraan Indonesia. Dan, melalui Malioboro inilah, berbagai karya dan komunitas seni melahirkan dirinya dan bergerak.

 

  1. Angkringan

Dalam buku ini, Cak Nun mengenang salah satu angkringan legendaris yang ramai dikunjungi puluhan tahun silam, Wedangan Mbah Wongso. Tepatnya di sebelah barat perempatan Wirobrajan selatan jalan. Bagi Cak Nun, angkringan bukan hanya warung kaki lima, melainkan juga sebuah simbol penerimaan diri. Mbah Wongso—yang karakter ini juga mudah kita temui pada bakul angkringan lainnya—tidak peduli pada detail dan jumlah dagangannya. Jika ada yang mengambil tempe lima bilang dua, atau kerupuk tujuh bilang tiga, tidak pernah menjadi masalah. “Mbah Wongso bukan kapitalis. Mbah Wongso menjalani darma hidup. Beliau sangat menikmati setiap malam melayani siapa saja yang butuh sruput-sruput, anget-anget, dan nyaem-nyaem. Beliau punya kesadaran untung dan rugi, tetapi itu bukan perhitungan utama kehidupannya,” tulis Cak Nun.

 

  1. Wedang Uwuh

Wedah uwuh merupakan minuman khas Imogiri. Namun saat ini, kita bisa menemukan kemasan wedah uwuh siap seduh di berbagai pasar di Yogyakarta.

Dalam bahasa Jawa, wedang berarti minuman dan uwuh adalah sampah. Meskipun dinamakan minuman sampah, wedang ini memiliki berbagai macam khasiat menyehatkan untuk tubuh karena berisi rempah-rempah.

Menurut Cak Nun, penyebutan wedang uwuh ini justru menunjukkan simbol adanya kebesaran Tuhan. Sebuah pertanda yang sangat jelas bahwa Tuhan tidak pernah menciptakan sampah. Hal-hal yang secara kasat mata dianggap tidak berguna oleh manusia, sesungguhnya memiliki pola dauriyah. Tidak ada yang mubazir.

 

Itulah tadi empat filosofi hidup manusia yang tecermin di dalam ikon-ikon bersejarah di Yogyakarta. Untuk mengetahui lebih dalam lagi soal Yogyakarta dalam buku Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar, kalian bisa memperolehnya di sini.

Sinau Bareng: Rendah Hati dalam Mencari Kebenaran

 

Pada masa pandemi ini, salah satu hal yang tentunya sangat dirindukan oleh Jamaah Maiyah adalah Sinau Bareng. Setiap orang dari berbagai latar belakang berkumpul bersama. Cak Nun, bersama beberapa narasumber yang beliau undang, akan membahas suatu isu. Dan, setiap orang yang datang berkesempatan untuk bertanya atau mengemukakan gagasannya.

Sinau Bareng jika diterjemahkan secara harfiah berarti Belajar Bersama. Pemaknaan belajar di sini adalah menggali falsafah-falsafah kehidupan. Memberdayakan akal, pikiran, dan hati sehingga mampu bersikap kritis dalam melihat suatu fenomena. Kita tentu tidak tahu kapan forum Sinau Bareng yang biasa dihadiri oleh ratusan hingga ribuan orang itu akan hadir kembali. Kita tentu sudah sangat rindu untuk bersilaturahmi dan melantunkan shalawat bersama-sama.

Untuk mengobati kerinduan tersebut, Bentang Pustaka bekerja sama dengan Progress (Manajemen Cak Nun dan Kiai Kanjeng), menggelar Sinau Bareng daring yang ditayangkan di YouTube. Sinau Bareng kali ini membahas buku terbaru Cak Nun yang terbit pada Agustus, Apa yang Benar Bukan Siapa yang Benar. Dimoderatori oleh Helmi Mustofa, narasumber yang turut hadir dalam acara ini yaitu Iqbal Aji Daryono (esais dan pengamat media) serta Iman Budhi Santosa (Budayawan).

 

Andhap Asor (Rendah Hati) dalam Belajar

Buku terbaru Cak Nun ini menguliti fenomena pencarian kebenaran pada diri setiap insan. Menurut Iqbal, orang-orang yang datang ke Sinau Bareng pasti memiliki bekal perasaan andhap asor. Karena, jika mereka berangkat dengan kesombongan dan perasaan pasti benar, tidak mungkin menuju atmosfer belajar bersama. “Sama halnya dengan para calon mahasiswa yang datang ke Yogyakarta. Banyak orang dari luar daerah ke Yogya untuk belajar. Berarti ada niatan untuk belajar. Iklim Sinau Bareng banyak muncul di buku Mbah Nun. Simbah tidak terus memosisikan diri sebagai pihak otoriter, beliau menganggap anak cucunya juga sebagai sumber kebenaran, sebuah insight yang penuh kewaskitaan.”

Perihal rendah hati dalam mencari ilmu juga dicontohkan oleh Iqbal melalui pengalaman pribadinya. Suatu waktu, ketika masih bermukim di Melbourne, Iqbal mengajak putrinya untuk mengunjungi museum. Ketika melewati patung dinosaurus, putrinya kemudian berkata, “Pak ini bentuk dinosaurus, but it can be right, it can be wrong.” Iqbal yang tertarik dengan pernyataan itu pun bertanya lebih jauh mengapa bentuk dinosaurus itu hanya mengira-ngira. Jawabannya sungguh menarik: karena sudah tidak ada. Scientist hanya menduga-duga dari sedikit yang dia tahu lalu menyimpulkan.

Bagi Iqbal, itulah contoh paling konkret dari spirit pendidikan yang andhap anshor.  Keyakinan tak perlu dipegang terlalu erat karena pada prosesnya bisa benar atau salah.

 

Berhati-hati dalam Melangkah

Jika Iqbal menekankan pencarian kebenaran pada prinsip rendah hati dalam berilmu, Romo Iman memberi contoh lain melalui filosofi di balik pesan “hati-hati di jalan”. Pesan tersebut sesungguhnya tidak berarti berhati-hati terhadap segala hambatan di jalan. Namun, ada makna yang jauh lebih dalam. Dalam falsafah Jawa, dikenal peribahasa “Kesandhung ing rata, kebentus ing tawang, dalane orang mung siji” [Tersandung di jalan yang rata, terbentur langit, (maka ingatlah) tidak hanya ada satu jalan]. Segala sesuatu yang serba mulus dan lancar terkadang menyimpan jebakan di baliknya. Jalan yang rata tetap bisa membuat kita terjatuh karena tersandung oleh kaki sendiri.

“Maka, carilah yang pener [sesuai], bukan sekadar benar,” nasihat Romo Iman. Sikap penuh hati-hati dalam mencari kebenaran juga merupakan prinsip dalam forum Sinau Bareng. Para Jamaah Maiyah diajak untuk berhati-hati dalam mengungkapkan pendapatnya. Begitu pula ketika mendengarkan pendapat orang lain. Karena bisa jadi, kebenaran itu bukanlah apa yang terbaik untuk kita, melainkan justru yang terbaik untuk sesama.

Cak Nun dan Penelusuran akan Nilai Kesadaran

 

Cak Nun memang pantas menyandang gelar “penulis yang selalu mampu melecut kesadaran pembaca”. Misalnya saja fenomena bias informasi yang marak belakangan ini. Begitu banyaknya informasi yang berseliweran saat ini tak bisa dimungkiri memang kerap membuat kita bingung. Ada begitu banyak pendapat yang saling bertentangan. Ditambah lagi kemunculan pihak-pihak yang mengeklaim keyakinannyalah yang paling benar. Lalu, bagaimana cara kita memilah informasi dan menentukan apa yang paling benar? Nilai semacam apa yang harus kita jadikan pegangan?

 

Mengenal Patrap

Cak Nun secara khusus mencermati fenomena tersebut dalam buku terbarunya, Apa yang Benar Bukan Siapa yang Benar. Beliau mengajak kita untuk belajar pada filosofi hidup masyarakat Yogyakarta, yaitu patrap.

Salah satu yang semakin hilang dari manusia, masyarakat, dan bangsa kita adalah kesadaran tentang patrapGemah ripah loh jinawi hanya bisa dicapai kalau proses memperjuangkannya diletakkan dan setia pada patrap-nya. Manusia Indonesia dan Yogya modern saat ini sudah sangat melimpah pengetahuannya tentang kebenaran, kebaikan, dan keindahan, tetapi belum disertai oleh pengelolaan patrap.

Kita sudah berproses 71 tahun menjalani pem-beradab-an bangsa. Kita sudah menanam dan membangun ilmu-ilmu, demokrasi, republik, supremasi hukum, sampai ada variabel-variabel yang mbumboni [membumbui] keadaan ini secara sangat riuh rendah. Sejak sosialisme dan kapitalisme, politik kanan dan kiri, kebudayaan timur dan barat, hingga racikan-racikan yang bikin kita kepedesen: liberalisme dan ultranya, radikalisme, fundamentalisme, ekstremisme, anarkisme, agama garis lurus, mazhab garis lengkung, politik lipatan dan strategi tikungan, serta bermacam-macam lagi.

Semua itu soal patrap. Ada yang memang memilih benere dhewe [kebenaran versinya sendiri], ada yang mengeklaim atau memanipulasi benere wong akeh [kebenaran versi banyak orang], ada yang tersingkir karena mencari bener kang sejati [kebenaran yang sejati]. Ada yang memang benar-benar bener, tapi susah banget untuk pener [sesuai] tatkala diterapkan. Karena seluruh konstruksi nilai zaman ini memang sudah semakin kehilangan patrap.

(Bab Patrap dan Atlas Nilai Yogyakarta, hal. 4)

Patrap bisa diartikan sebagai perilaku yang terukur, atau dengan kata lain perilaku yang berkesadaran. Bagi Cak Nun, masyarakat modern belakangan ini kesulitan untuk “benar-benar sadar” pada setiap tindakan maupun ucapannya. Banyak yang sekadar ikut-ikutan dan manut [menurut] tanpa mencermati kembali apakah hal tersebut sesuai bagi dirinya atau tidak. Untuk itulah kita tidak boleh berhenti mencari kebenaran dengan berpatokan pada kesadaran kita sendiri. Kesadaran bahwa kita bisa menjadi manusia yang lebih baik bagi sesama.

 

Mata yang Melihat Kebenaran

Romo Iman Budhi Santoso, budayawan, dalam “Sinau Bareng Simbah” memberikan ilustrasi menarik tentang pencarian akan nilai kesadaran ini.  “Dalam buku ini, diceritakan bahwa Simbah mengajak tiga anak masa depan ini ke lereng merapi. Mereka diminta untuk melihat secara luas dan memunculkan ide-ide yang bisa dijadikan pedoman untuk menentukan patrap. Ketiga murid ini kebingungan karena dalam kerangka sudut pandangnya belum bisa memahami apa yang disampaikan oleh Simbah,” ujarnya.

Romo Iman kemudian meminta kita semua untuk membayangkan alasan Tuhan menciptakan sepasang mata pada manusia. Ketika kita ingin melihat sesuatu secara lurus, salah satu mata harus dipicingkan. Namun, ketika dua mata sama-sama terbuka, meski tidak bisa terlihat selurus tadi, kita bisa melihat dengan lebih lebar. Artinya, setiap manusia memiliki pilihan-pilihan dalam hidupnya.

Jika kita ingin melihat persoalan dengan lebih luas, bukalah cakrawala berpikir seluas-luasnya. Terbukalah pada semua pandangan dan pahami alasan di baliknya. Sebaliknya, jika kita ingin memilih tindakan apa yang tepat bagi kita, “picingkan salah satu mata”. Pilah mana jalur yang sesuai untuk kita lalui. Dan, dengan patrap itulah, kita akan terhindarkan pada jalan yang berkelok. []

© Copyright - Bentang Pustaka