Di tengah riuhnya media sosial yang serba cepat, Islam sering kali dibicarakan dengan tergesa, lebih banyak diperdebatkan daripada direnungkan. Padahal, dalam berislam, kita tidak hanya butuh ilmu, tetapi juga kelembutan—suara yang menemani tanpa menghakimi, yang menyentuh bukan sekadar viral. Lewat surat-suratnya, Gus Nadir menghadirkan suara semacam itu.
Surat Cinta Gus Nadir—demikian judul kumpulan risalahnya, dalam bentuk buku yang sedang Anda pegang. Di dalamnya, cendekiawan Muslim dari University of Melbourne sekaligus penulis buku laris Tafsir al-Qur’an di Medsos, bercakap-cakap dengan pembacanya—bukan dari atas mimbar kepada jamaah, melainkan seperti sahabat karib atau kekasih yang penuh cinta. Ada ajakan untuk bercermin, kisah-kisah yang membawa hikmah—dari ulama besar hingga pekerja sederhana—dan tafsir kehidupan yang mengurai persoalan dengan kejernihan akal dan kebeningan hati.
Kawan, bukalah lembar demi lembar buku ini dengan hati yang lapang. ‘Kan kau temukan senyum yang menenangkan, kisah yang menerbitkan harapan, dan renungan yang menyentuh relung hati terdalam. Banyak pula kutipan yang bisa kau petik dan viralkan sebagai cahaya bagi sesama. Ini bukan sekadar kumpulan tulisan, tetapi pelukan erat dan hangat yang dititipkan dalam kata-kata—untukmu.