Muslimah Bukan Agen Moral
Rp69.000
Perempuan sering kali dianggap menjadi agen moral dan kesalehan keluarga serta masyarakat yang tecermin dari dirinya dan keluarganya. Oh tentu saja, ini adalah tugas yang terlalu berat. Bayangkan saja jika dalam suatu keluarga, terdapat anggota keluarga yang katakanlah menyalahi norma sosial agama masyarakat setempat, ibu selalu saja jadi pelaku utama yang harus, dan sering kali, disalahkan karena tidak bisa mendidik anak dengan baik atau dianggap tidak becus mengurus anggota keluarga.
Nah, prototipe ideal dari potret kesalehan perempuan hari ini adalah mereka yang dapat bertanggung jawab sepenuhnya terhadap kesalehan dirinya dan keluarganya. Jika pun harus bekerja misalnya, ia haruslah tetap bekerja di rumah, entah jualan online atau yang lainnya. Karena jika perempuan bekerja di luar rumah, masalah keluarga pasti akan terjadi. Begitu asumsinya. Dan, semua menjadi tanggung jawab perempuan.
“Memang jadi perempuan, apalagi ibu, tuh idealnya tidak bekerja kantoran dan lain-lain, karena pasti keluarganya akan terbengkalai. Lagian ngapain sih ambisius seperti itu, apa nggak kepikiran anak-anaknya? Nanti kalau keluarganya berantakan baru nyesel. Fitrah terbaik kita sebagai Muslimah salihah itu memang di rumah.” Begitulah respons beberapa kawan saya terkait domestikasi perempuan yang selalu dihubungkan dengan kesalehan seseorang.
Sayangnya ekspresi kesalehan yang berkembang belakangan ini juga diwarnai dengan pemahaman keagamaan yang literal, konservatif, dan eksklusif. Menjadi salihah kerap kali dihubung-hubungkan dengan ideologi tertentu yang justru menutup wacana dan pesan-pesan pembebasan perempuan.
Hal inilah yang membedakan bentuk kesalehan perempuan hari ini dengan misalnya sufi-sufi perempuan beberapa abad silam di dunia Muslim. Bisa jadi juga karena bentuk dan ekspresi keagamaannya sangatlah berbeda, terlebih terkait dengan sejarah, tradisi, dan nilai-nilai yang dianut.
Miliki Sekarang: