Terlahir pada pertengahan 1980-an hingga awal 1990-an, membawa generasi milenial menjadi saksi atas perubahan peradaban dunia. Sebut saja perubahan saluran TV yang tadinya hanya satu, menjadi beberapa TV swasta. Perubahan dari telepon analog menjadi ponsel, kemudian kini smartphone.
Dulu, waktu kita anak-anak, orang tua kita tidak terlalu banyak menuntut kita sempurna. Acuan mereka soal anak sehat ya titik-titik yang dihubungkan di sebuah kartu bernama Kartu Menuju Sehat alias KMS, yang dikontrol seminggu sekali di Posyandu. Sepertinya tidak ada drama anak GTM (Gerakan Tutup Mulut) ala orang tua zaman now yang bisa stres sampai harus menghubungi dokter anak melalui smartphone tengah malam. Atau, drama MPASI (Makanan Pendamping Asi) dengan segala keribetannya untuk cari-cari zucchini, squash, ikan salmon, dan sayuran impor bin mahal demi eksis di sosial media. Padahal, dulu ibu kita hanya memberikan kita pisang ambon, labu siam, papaya, dan semacamnya. Itu baru satu tahap perkembangan, yakni ketika kita balita.
Setelah kita besar, orang tua kita dulu paling banter ya membandingkan kita sama anak tetangga yang jadi juara mewarnai tingkat RT. Kalau kita dirasa cukup pintar, kita akan disuruh oleh guru SD bertanding melawan sekolah lain dalam adu cerdas cermat, lomba menari, lomba ini dan itu. Lalu, kita kembali bermain-main, selayaknya anak pada zamannya, tanpa ipad, YouTube, atau games online.
Kini jangan harap, kita yang dulu se-enjoy itu menikmati masa kanak-kanak, bisa santai sama anak sendiri. Tekanan dari sosial media, banyaknya arus informasi di internet, membuat kita serba ingin sempurna menerapkan pola asuh pada anak. Lihat saja saat anak belum bisa bicara lancar pada usia 1,5 tahun, kita sudah panik hingga mencari psikolog paling terkenal dan terfavorit. Belum lagi kalau si kecil tidak mau makan karena giginya akan tumbuh, kita panik, takut anak kelaparan, dan sebagainya.
Persoalan pola asuh atau parenting memang selalu menjadi bahan pembicaraan yang tak ada habisnya. Dunia modern dan derasnya arus informasi membuat orang tua kebanjiran “standar” penggunaan gaya asuh yang terbaik versi berbagai ahli, tak jarang, yang disebut ahli adalah mereka dengan followers jutaan. Orang tua modern seperti ayam kehilangan induk. Setiap ada pendapat baru yang diikuti banyak orang tua lain, tak boleh ketinggalan dan wajib diikuti.
Saya tidak perlu menyebutkan contohnya, ada banyak sekali metode dalam aktivitas parenting dengan gaya yang berbeda-beda, yang malah membuat orang tua menjadi kehilangan jati dirinya sebagai manusia yang memiliki kesadaran penuh dalam mendidik buah hatinya.
Mindful Parenting membawa pendekatan baru dalam gaya asuh, ketika orang tua menekankan pada Mindfulness sebagai sebuah kondisi menempatkan kesadaran momen demi momen, tanpa memberikan penghakiman terhadap diri sendiri, kondisi sekitar dan orang lain, terutama anak. Mindful Parenting yang melandaskan pada kesadaran ini oleh beberapa pakar disebut juga sebagai Conscious Parenting.
“Mindfulness adalah kesadaran yang muncul melalui perhatian penuh pada momen demi momen, tanpa penghakiman,”
—Jon Kabat-Zinn
Kedua istilah ini akan saya gunakan bergantian, tetapi maknanya tetap serupa. Sama-sama tentang menjadi orang tua yang menekankan pada sikap Mindful. Melalui buku ini, kita akan menemukan apa yang sebetulnya sudah ada di dalam diri kita masing-masing, yakni kesadaran, khususnya bagi Anda yang saat ini diberi tanggung jawab hadirnya si kecil yang dititipkan Alam Semesta untuk Anda rawat dan jaga. Dalam setiap babnya, kita akan menyusuri lapisan demi lapisan dari diri kita, yang luput kita akui dan sadari, yang nantinya bisa Anda manfaatkan untuk diterapkan dalam pola asuh kepada anak.
Tak hanya bagi mereka yang saat ini sudah memiliki momongan, siapa pun boleh membaca buku ini sebagai bahan refleksi diri, menemukan kesadaran demi pikiran yang sehat dan perasaan yang tenang serta damai di tengah tantangan dunia modern.
Miliki Sekarang: