Description
Di sebuah pesantren, ada dua orang kiai yang berdebat tentang hukum kesenian. Salah seorang dari mereka bersikeras bahwa kesenian itu syirik, bahkan haram. Para santri menyaksikan perdebatan itu dengan hati berdebar. Dari kejauhan, terdengar suara musik dari loudspeaker. Kiai tersebut mulai meledak-ledak dan menyebut seni itu haram, tetapi kedua kakinya bergerak-gerak mengikuti irama musik dari kejauhan.
Para santri melihat bahwa kaki beliau itu bukan bergerak menggeleng-geleng, melainkan mengangguk-angguk. Maka, kami tiru anggukan ritmis kaki Pak Kiai itu sebab gerak kaki beliau lebih merupakan ungkapan batinnya dibanding lisannya.
Melalui buku ini, Emha Ainun Nadjib, menguliti dalam-dalam perkara kemusliman “birokrasi”. Ketaatan yang penuh rasa “takut kepada atasan”, bukan kecintaan dan pengabdian kepada Tuhan. Semua kemudian berputar pada surga dan neraka, halal dan haram, pahala dan dosa. Detail-detail ritual yang malah memicu perbedaan pendapat antar-umat, serta dengan gampang mengafirkan orang lain. Dalam kegelisahannya, Emha seolah berbicara pada naluri kita dan berkata, “Apa tidak malu kita kepada-Nya, pada akal dan perasaan kita sendiri?”