Ini Alasan Sujiwo Tejo Frustasi Menulis Buku Terbarunya
Sujiwo Tejo tak butuh waktu lama untuk mengerjakan buku terbarunya, Serat Tripama: Gugur Cinta di Maespati. Padahal, dalam buku terbarunya yang terbit tepat pada hari ini, Sujiwo tak hanya menuliskan cerita, tetapi juga mengusung lukisan karyanya. Itulah mengapa buku ini disebut sebagai novel grafis; mengusung gambar, tetapi tetap menekankan tulisan.
Ada sekitar 600 gambar yang dikerjakan Sujiwo hanya dalam waktu dua bulan. Artinya, kurang lebih 20 gambar berhasil Sujiwo selesaikan setiap harinya. “No problem, karena aku ini orangnya jarang tidur. Heuheuheu,” kekeh Sujiwo.
Bagi Sujiwo, yang membutuhkan waktu lama adalah memikirkan bagaimana menggambarnya. Selama kurang lebih dua tahun, Sujiwo pergi ke India, Eropa, Timur Tengah, Bangkok, dan lain-lain, untuk mencari inspirasi dan menemukan gaya menggambarnya sendiri. “Apa pakai gaya Tintin, Manga, atau Manhwa gaya komik Korea, bingung aku. Atau ya pakai model-model komik Jan Mintaraga, Hans Jaladara, Kosasih,” tutur Sujiwo. Dirinya mengaku, bahkan sempat frustasi memikirkan hal ini.
Sampai pencarian Sujiwo di Paris, ia melihat semuanya serbaindah. “Kalau semua indah, terus yang nggak indah apa nggak boleh ada? Analoginya, di antara model Tintin, Manga, Manhwa, dan lain-lain, boleh dong ada komik yang gambarnya ngawur. Tepatnya Ngawur Karena Benar,” seloroh Sujiwo. Akhirnya, Sujiwo menegaskan gaya menggambarnya ngawur saja. Ia tidak peduli apakah nanti disebut lukisan, disebut sketsa, disebut novel grafis, atau apa.
Kesulitan selanjutnya yang Sujiwo temukan adalah, bagaimana menuangkan ide Ngawur Karena Benar itu, apakah akan digambar manual atau menggunakan aplikasi komputer. “Kalau manual kayaknya akan lama, kalau pakai program komputer, wah aku ini gaptek. Akhirnya aku putuskan untuk belajar photoshop,” aku Sujiwo.
Sujiwo Tejo tak butuh waktu lama untuk mengerjakan buku terbarunya, Serat Tripama: Gugur Cinta di Maespati. Padahal, dalam buku terbarunya yang terbit tepat pada hari ini, Sujiwo tak hanya menuliskan cerita, tetapi juga mengusung lukisan karyanya. Itulah mengapa buku ini disebut sebagai novel grafis; mengusung gambar, tetapi tetap menekankan tulisan.
Ada sekitar 600 gambar yang dikerjakan Sujiwo hanya dalam waktu dua bulan. Artinya, kurang lebih 20 gambar berhasil Sujiwo selesaikan setiap harinya. “No problem, karena aku ini orangnya jarang tidur. Heuheuheu,” kekeh Sujiwo.
Bagi Sujiwo, yang membutuhkan waktu lama adalah memikirkan bagaimana menggambarnya. Selama kurang lebih dua tahun, Sujiwo pergi ke India, Eropa, Timur Tengah, Bangkok, dan lain-lain, untuk mencari inspirasi dan menemukan gaya menggambarnya sendiri. “Apa pakai gaya Tintin, Manga, atau Manhwa gaya komik Korea, bingung aku. Atau ya pakai model-model komik Jan Mintaraga, Hans Jaladara, Kosasih,” tutur Sujiwo. Dirinya mengaku, bahkan sempat frustasi memikirkan hal ini.
Sampai pencarian Sujiwo di Paris, ia melihat semuanya serbaindah. “Kalau semua indah, terus yang nggak indah apa nggak boleh ada? Analoginya, di antara model Tintin, Manga, Manhwa, dan lain-lain, boleh dong ada komik yang gambarnya ngawur. Tepatnya Ngawur Karena Benar,” seloroh Sujiwo. Akhirnya, Sujiwo menegaskan gaya menggambarnya ngawur saja. Ia tidak peduli apakah nanti disebut lukisan, disebut sketsa, disebut novel grafis, atau apa.
Kesulitan selanjutnya yang Sujiwo temukan adalah, bagaimana menuangkan ide Ngawur Karena Benar itu, apakah akan digambar manual atau menggunakan aplikasi komputer. “Kalau manual kayaknya akan lama, kalau pakai program komputer, wah aku ini gaptek. Akhirnya aku putuskan untuk belajar photoshop,” aku Sujiwo.
Fitria Farisabentang
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!