ANAK-ANAK JADI PEMBERANI - Bentang Pustaka

ANAK-ANAK JADI PEMBERANI

Catatan redaksi: Artikel ini merupakan perbaikan dari artikel “Anak-Anak Jadi Pemberani” dan Status” pada buku Gelandangan di Kampung Sendiri karya Emha Ainun Nadjib. Artikel “Status” seharusnya tidak ada dan tidak tercantum dalam buku.

 

NIAT TULUSNYA Pak Guru Mataki, sih, menumbuhkan kecerdasan dan kemerdekaan berpikir murid-muridnya, tetapi hasilnya malah menyusahkan guru-guru lain. Ia selalu yakin bahwa kegiatan ekstranya yang ia beri nama “Sekolah di Luar Kelas” adalah sumbangan yang tiada taranya bagi kemajuan sekolah, tetapi sesudah berlangsung tiga bulan, ia baru tahu rasa. Sesungguhnya sejak lama setiap kawan dekat Pak Mataki selalu menyindir atau mengkritiknya secara konstruktif bahwa ia terlalu lugu sebagai manusia. “Kau ini terlalu jujur dan polos dalam melihat dan memperlakukan kehidupan, sehingga jangan kaget kalau pada suatu hari jidatmu terbentur tembok ….”

Sebenarnya dalam kesempatan-kesempatan rembug, refleksi, atau sekadar ngobrol biasa dengan tetangga dan terutama kaum muda desa, Pak Guru Mataki ingin membuka tema tentang usaha-usaha swadaya masyarakat: Apa maknanya? Di mana letaknya dalam peta zaman yang kayak begini? Dan, bagaimana masa depannya? 

Yang dimaksud Pak Mataki tidak harus LPM/LPSM, organisasi-organisasi keswadayaan masyarakat “resmi” yang akhir-akhir ini banyak mengalami blunder dari luar maupun dari dalam dirinya sendiri. Misalnya dalam soal manajemen makin santer terdengar isu tentang korupsi, “menjual kemiskinan”, dan seterusnya. Atau bahwa secara politik-sistemik, lembaga-lembaga itu makin sukar mempertahankan posisinya untuk independen.

Yang Pak Guru Mataki ingin obrolkan adalah lembaga swadaya masyarakat dalam arti paling murni. Yang sungguh-sungguh muncul dari kesadaran dan kemandirian anggota masyarakat, yang melakukan kegiatan-kegiatannya tidak hanya kalau ada droping dana dari luar negeri. Yang pendekatan-pendekatan kerjanya mungkin tidak cukup modern dan profesional, tetapi lebih manusiawi dan integral dengan faktor-faktor sosial budaya komunitasnya. Akan tetapi, hari-hari terakhir ini para tetangga dan anak-anak muda disibukkan oleh Pak Dayik.

Oh, Pak Dayik! Siapa gerangan Pak Dayik? Ia rakyat kecil yang lugu. Juga lugu dengan segala macam obsesi dan mimpi-mimpinya. Sejak masa mudanya ia adalah aktivis dusun yang jasanya besar terhadap penduduk. Ia bagian disuruh-suruh oleh siapa saja, baik Pak Lurah, para pamong, serta orang-orang kaya dan terpandang, meskipun statusnya tidak jelas. Ia pekerja keras. Disuruh memanjat kelapa ya mau, disuruh beli obat di pasar kecamatan juga mau, disuruh jaga rumah ya mau. Pokoknya apa saja, asal jangan diajak merampok atau memperkosa. Kalau iseng-iseng main judi dadu atau teplek kecil-kecilan masih mungkin mau.

Salah satu hasil karya positif Pak Lurah baru dan muda itu adalah mengangkat Pak Dayik resmi menjadi pamong. Resminya dia bagian yang mengoordinasi jaga malam alias siskamling, atau kalau zaman dulu kalau di Jawa istilahnya semacam Jogoboyo, meskipun pada praktiknya ia bersedia disuruh apa saja. Termasuk kalau Pak Lurah ada keperluan apa-apa kepada penduduk, Pak Dayik-lah yang disuruh keliling door to door.

Akan tetapi, kenapa Pak Dayik menjadi “isu nasional” di desa? Menjadi rerasanan, yang meskipun lucu dan karikatural, tetapi jelas menghibur setiap orang yang menggunjingkannya? Kenapa, wahai kenapa?

Karena penampilannya. Sekarang dia lebih rapi. Entah bagaimana ceritanya, sekarang dia suka pakai baju safari, terutama kalau pas keliling dari rumah ke rumah. Pakai sepatu segala, meskipun jelas itu beli loakan di Toko Room(bengan). Bawa map di satu tangannya, kacamata minus, dan tampak ada pulpen di sakunya. Lhadalah! Rupanya wisuda dan jumenengan betul beliau ini. Bahkan, lihatlah caranya berjalan sekarang. Kedua pundaknya lebih tegak dan terangkat agak tinggi. Caranya melangkah juga berbeda dengan dulu-dulu. Air mukanya seperti salah tingkah terus-menerus, tetapi jelas tersimpan kebanggaan yang serius di dalam dadanya.

“Kenapa kalian tertawa?” Pak Guru Mataki bertanya kepada serombongan anak muda.

“Gayanya itu, lho, Pak Guru!” jawab salah seorang dari mereka.

“Kenapa?”

Bersahut-sahutan mereka seperti “nabuh gamelan”.

“Kok sawangane ….”

“Melebihi camat!”

“Pulpen di sakunya itu hanya tutupnya ….”

“Apa yang mau dicatat? Ramalan angka?”

“Pak Guru dulu pernah bilang … apa itu … cultural shock?”

“Gegar budaya …!”

“Apa Pak Dayik berdosa karena itu semua?” Pak Guru Mataki akhirnya memotong.

“Itu hal yang sangat biasa. Untuk rakyat kecil seperti kita, itu hal biasa. Karena tiap hari kita diiming-imingi, dipameri kekayaan, kekuasaan, kemewahan, dan gaya orang-orang yang kita pandang tinggi derajat dan pangkatnya. Kita semua memimpikan dan menginginkannya setiap siang dan malam. Tentu saja kalau ada kesempatan, ya pasti kita santap saja. Kita ingin agar lebih berharga sedikit sebagai manusia. Sebenarnya Pak Dayik itu sudah memiliki harga yang lebih tinggi dengan kerja keras dan kerja tulusnya itu dibanding Pak Lurah dan sebangsanya. Namun, kan, tidak salah juga kalau Pak Dayik ingin juga memiliki harga yang lain: misalnya dengan menggunakan peranti-peranti (instrumen) status yang sekarang dipakainya dan dibanggakannya. Setidaknya dengan memakai baju safari, Pak Dayik merasa sama pentingnya dengan Pak Camat, Pak Bupati, atau bahkan Pak Presiden. Dalam simbol baju safari itu dia merasa bersama-sama orang penting lainnya berbaris membela bangsa dan negara. Biarkan saja dia bergaya seperti itu. Yang penting cara kita mengukur Pak Dayik tidak melalui baju dan aksesori lainnya, melainkan lewat kerja dan prestasinya. Kalau dengan jabatan baru itu lantas Pak Dayik tetap berpakaian biasa, itu baru namanya pendekar. Justru karena dia mengalami “gegar budaya”, itu tandanya dia manusia biasa. Kalian ingin melarang Pak Dayik pakai baju safari? Kok, susah amat, sih, hidup di desa ini. Selama ini sudah banyak sekali larangan, mbok kalian jangan ikut-ikut nambah lagi ….”

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta
Shopee bentangofficialshop

Tokopedia Bentang Pustaka
Shopee mizanofficialshop

Jogja
Akal Buku
Buku Akik

Malang
Book by Ibuk

Bondowoso
Rona Buku

Jakarta
Owlbookstore
Tangerang Selatan
Haru Semesta

Wilayah Toko Tautan
Jabodetabek Novely Young
Rangkai Kata
Jawa Barat Calia Buku
Jawa Tengah Tukubooks Group
Cintai Otakmu Books
Jawa Timur Owlbookstore