Tag Archive for: Seneca

Filsafat kehidupan membosankan: Patung Filsafat Tokoh Filsuf Marcus Aurelius, Seneca, Epictetus

Filsafat Kehidupan Membosankan, Kata Siapa? Inilah Beberapa Alasan Filsafat Membantu Menyelesaikan Permasalahanmu!

Filsafat kehidupan membosankan! Sangatlah monoton! Gelap! Tidak ada cerita seru dan gambar bergeraknya!

Boleh kita beranggapan seperti itu. Memang pada kenyataannya, berbagai buku, film, ataupun musik bergenre filsafat tidaklah sama dengan yang lainnya. Gambar menarik tak ada, sekalinya ada itu pun hitam putih berlatar belakang seorang filsuf.

Namun, adakalanya kita menilik lebih lanjut untuk apa filsafat kehidupan lahir dan hadir kalau tidak berguna memberikan pencerahan terhadap kegelapan hidup kita. Justru, ketika saya menuliskan hal ini, masih saja ada yang berpendapat bahwasanya filsafatlah yang membuat hidup menjadi gelap gulita. Tak apa, dengan adanya kamu membaca artikel ini hingga selesai, kita akan memiliki sudut pandang pemikiran yang lebih luas dan mampu berkaca pada ilmu filsafat.

Baca Dulu: Sakit Hati Berkepanjangan? Kendalikan Diri dengan Ekspektasimu Sendiri!

Filsafat Kehidupan Membosankan? Nyatanya Berawal dari Pengalaman Hidup

Empirisitas filsafat kehidupan tidak lain, ya, bermula dari pengalaman hidup itu sendiri. Saya mengambil contoh yang pernah dihadapi oleh Jules Evans, salah seorang penulis sekaligus praktisi filsafat di London. Semasa mudanya, ia dikelilingi dengan permasalahan hidup yang hampir serupa dengan kita: quarter life crisis, kesulitan mengendalikan emosi, dan bahkan sekecil permasalahan ditinggal pergi sahabat atau kesayangannya menjauh.

Mulai dari kompleksitas permasalahannya, ia beranjak dari duduk perkara dan memulai menuangkan kisah pembelajaran hidup yang berarti ke dalam sebuah buku. Faktanya, hidup kehilangan arah tak selamanya memberikan dampak buruk jika kita tak menginterpretasikannya ke dalam hal-hal buruk tersebut. Memang, pikiran manusia senang sekali melanglang buana. Maka dari itu, patutlah kita untuk terus mengontrolnya.

Perpaduan Ilmu Filsafat dan Psikologi

Jules Evans, selaku penulis buku Philosophy for Life And Other Dangerous Situations, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Bentang Pustaka ini telah menuangkan segala pengalaman hidupnya ke dalam buku yang memadukan ilmu filsafat dan psikologi.

Di dalam bukunya tersebut, memberikan rasa yang berbeda dari buku-buku filsafat atau bahkan pengembangan diri lainnya. Mengapa? Karena, Jules Evans menggabungkan ilmu psikologi dan filsafat. Jules Evans berani menggabungkan kedua ilmu tersebut karena memang sudah bertahun-tahun ia mengurus klub filsafat dan menjadi pembicara sebagai seorang praktisi filsafat di seluruh dunia. Karya-karya yang lainnya bisa ditengok di Wall Street Journal, The Times, Spectator, Prospect, dan Psychologies.

Obat untuk Jiwa

Dalam menjalani kehidupan, kita terus disibukkan dengan hal-hal yang bersifat duniawi dan hal-hal luar yang semestinya jauh dari jangkauan kita. Artinya, kita terlalu mengurusi segala hal yang bukan menjadi kendali kita, namun kita menaruh ekspektasi besar di sana. Alhasil, sering kita terima kenyataan hidup pahit yang tiada henti, kekecewaan yang tak kunjung reda, dan emosi yang selalu membara setiap saat.

Ada celah di dalam filsafat kehidupan masuk ke dalam permasalahan tersebut. Mudah kita pahami, bahwa filsafat kehidupan mampu digunakan sebagai obat untuk jiwa. Salah seorang filsuf, Socrates, pernah memberikan catatan optimistis kalau sebenarnya kita sebagai manusia punya daya untuk menyembuhkan luka diri sendiri. Kita dapat menguji prinsip, memilih untuk mengubahnya, dan hal tersebut akan mengubah emosi kita.

Montaigne pun menyahut Socrates dengan jawaban sarkasme untuk kita semua, bahwa memang kita sebenarnya lebih kaya daripada yang kita pikir. Namun, kita lupa kekuatan itu ada di dalam diri kita, sehingga kita mengemis ke sana kemari di luar sana.

Saya jadi teringat oleh perkataan Rob Lewis, salah satu pendiri gerakan Philosophy in Pubs (PIP), “Mempraktikkan filsafat membantuku mengatasi rasa terkucil yang kadang melanda kebanyakan kita, yang muncul karena berada di tengah masyarakat yang ingin menghakimi kita dan melihat kesempatan hidup macam apa yang layak untuk kita peroleh.”

3 poin di atas bisa dijadikan alasan kuat kenapa buku filosofi yang baru saja diterbitkan Bentang Pustaka bisa segera meredakan kembimbangan hidup ataupun menyelesaikan masalahmu. Sebenarnya, ada satu lagi yang menjadi paket komplet untuk melengkapinya, kelengkapannya ada di dalam buku Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya. Ikuti masa pre-order­-nya hingga 11 Oktober mendatang di bit.ly/pesanfilosofi.

Teruntuk yang hidupnya sedang tak baik-baik saja, semoga lekas pulih dengan segera, ya!

Pamungkas Adiputra.

 

Sakit Hati Berkepanjangan

Sakit Hati Berkepanjangan? Kendalikan Diri dengan Ekspektasimu Sendiri!

Sakit hati, gundah gulana, bahkan hingga merana, tentunya pernah kita alami, dong, ya? Nah, kalau semisal kita berkaca dari pengalaman yang sebelumnya, sering kali gambaran yang ada memperlihatkan kondisi di mana kita selalu menyalahkan orang lain saja, lalu diri kita sendiri membiarkan kondisi tersebut seolah-olah menjadi sebuah pembenaran tanpa ada koreksi diri. Betul atau benar?

Tanpa disadari, hal-hal yang sering membuat kita sakit hati, gundah gulana, bahkan hingga kita merana tersebut merupakan sebuah aksi-reaksi dari diri kita sendiri, tepatnya si ekspektasi. Loh, kok bisa? Ya, semua berawal dari kurangnya kita menyadari akan sesuatu di mana hal-hal mana saja yang harusnya menjadi kendali kita dan yang tidak seharusnya menjadi kendali kita di dalam hidup.

Ketika mulai menulis artikel ini, saya disadarkan dengan sepotong kutipan dari Epictetus, filsuf Stoa yang turut menjadi bagian dari isian buku Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya. Kutipannya seperti ini:

Some things are up to us, some things are not up to us” –Epictetus (Enchiridion)

Baca Juga: Introspeksi Diri: Sudahkah Dirimu Berkaca pada Langkahmu Sendiri?

Sakit Hati Akibat Terobsesi pada Hal Luar

Perlu ditelaah baik-baik, teman-teman, ada beberapa hal yang bukan menjadi kendali kita di dalam kehidupan. Seperti tindakan orang lain (kecuali tentunya dia berada di bawah ancaman kita), opini orang lain, reputasi/popularitas, kesehatan, kekayaan, kondisi saat lahir, dan segala sesuatu di luar pikiran & tindakan kita.

Gampangnya, kan, semacam, kebahagiaan itu tercipta dari dalam diri. Kita tidak bisa menggantungkan kebahagiaan–apa pun dan bagaimana pun bentuknya–pada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. Tolong, jangan menaruh harapan lebih pada hal-hal luar. Hal itu hanya akan berujung pada hati yang sakit berkepanjangan jika tak sesuai dengan ekspektasi kita.

Saya menyukai lanjutan ujaran Epictetus, “Siapa pun yang mengingini hal-hal yang ada di luar kendalinya tidak pernah akan benar-benar merdeka dan bisa setia pada dirinya sendiri, tetapi akan terombang-ambing terseret hal-hal tersebut.”

Kendali Bukan Berarti Hanya Soal “Memiliki”, tetapi Juga “Mempertahankan”

Sakit hati bisa kita terima begitu gampangnya, saat menemukan hal-hal di luar kendali yang kita urusi. Padahal, itu bukan tanggung jawab kita. Toh, kebahagiaan hidup kita sangat tidak rasional jika selalu bergantung pada ekspektasi orang lain atau hal-hal di luar kendali diri kita.

Jangan sampai kita diperbudak oleh pikiran kita sendiri. Jiwamu harus merdeka. Pikiran kita, ya, milik kita sendiri. Kita punya otoritas akan hal tersebut. Kenyataannya, apa pun itu yang ada di luar kendali kita (kekayaan, kesehatan, atau semua hal yang kita harapkan) bisa diusahakan untuk dimiliki, tetapi apakah kita yakin bisa sepenuhnya mempertahankan?

Temukan filosofi hidup lainnya dalam buku yang bertajuk Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya melalui masa pre-order-nya dari tanggal 1-11 Oktober 2020 di Bentang Pustaka, ya. Nantikan segera dan selamat berproses menjadi manusia yang seutuhnya!

Pamungkas Adiputra.

 

Kontrol diri dengan Menyikapi Kemarahan

Kontrol Diri, Mengendalikan Marah dengan Beberapa Pesan dari Seneca Berikut Ini!

Kontrol diri atau self control itu apa, sih? Memangnya begitu penting? Bukankah kita bisa membuka mata dan sadar sudah lebih dari cukup? Baik, apakah dirimu pernah atau sering dirundung pilu? Entah apa pun itu penyebabnya, yang jelas di situlah peran kontrol diri yang sebenarnya ada dan bekerja.

Kontrol diri adalah salah satu hal yang wajib dimiliki oleh setiap insan. Kontrol diri berguna untuk kendali diri. Jika seorang insan tak memiliki kendali diri, ia akan lepas kendali. Alhasil, berbagai pergolakan dalam hidup yang dijalaninya menjadi tak karuan.

Bagaimana bisa kita meraih tujuan dalam hidup, semuanya kembali lagi pada kontrol diri. Jika kita tak bisa mengatur kontrolnya, bagaimana pula kita bisa mencapai segala angan yang ada? Kontrol diri erat kaitannya dengan mengendalikan emosi, salah satunya kemarahan–yang mana menjadi problematika fundamental bagi kita semua.

Kemarahan bisa menjadi salah satu irisan bahasan penting dari kontrol diri, karena kemarahan bisa merusak tatanan sosial jika tak diselesaikan dengan kita menyadarinya terlebih dahulu. Seneca, seorang filsuf Stoa, turut membagikan seni dalam mengendalikan diri, terutama mengatur kemarahan, untuk kita sebagai manusia yang bersifat sosial.

Ambil Jeda, Tunggu Sejenak

“Obat terbaik untuk amarah adalah menunggu, supaya emosi yang semula tersulut dapat reda dan kabur yang menyelubungi benak sirna,” tutur Seneca. Benarnya memang seperti itu, namun sering kita temui dalam beberapa kasus–termasuk saya dan Sahabat Bentang–sering tersulut kemarahan terlebih dahulu.

Ke depannya, bisa kita jadikan catatan untuk diri sendiri, jikalau sedang menyadari ada kemarahan yang membara dalam diri, segera menarik napas dan mengembuskan napas scara perlahan. Lalu, bisa juga ditambah dengan meminum air putih sebagai penenang pikiran.

Baca Juga: Masalah Tak Kunjung Usai, Buku Ini akan Menyelamatkanmu

Kontrol Diri dengan Mencatat Pemicunya

Kontrol diri selanjutnya yaitu mengetahui pemicunya. Setelah cukup tenang dengan mengambil jeda dan minum segelas air putih, mulai telusuri secara perlahan, apa saja yang menjadi trigger atau pemicu dari kemarahan tersebut.

JANGAN NGAMUK DAHULU! Setelah tahu penyebab awalnya, jangan memberikan judgment terlebih dahulu terhadap penyebab awal tersebut. “Paham betul jika segi sensitif setiap orang berbeda-beda, maka kamu harus tahu dahulu sisi lemah pribadimu,” lanjut tuturan Seneca.

Tersenyumlah

Kalau sudah terjadi, mau diapakan?

Ya, biarkan saja. Tugas kita yang terakhir yaitu dengan memberikan senyuman terhadap segala hal yang terjadi. Negatif, buruk, ataupun kurang mengenakkan keadaan itu hanya sebatas interpretasi kita. Bagaimana pun keadaannya, ambil saja hikmah yang sudah terjadi. Misalkan saja kita bisa belajar dari kejadian tersebut agar tidak terulang kembali pada masa mendatang.

Tentunya, langkah terakhir ini tidak serta-merta hanya menyuruh kita melebarkan mulut ke kanan dan ke kiri agar terlihat manis secara visual saja, melainkan juga dengan menyadari betul setiap hal agar kita mengilhaminya tanpa ada sebuah keraguan. Jika dengan senyuman kita bisa melakukannya dengan sebuah keikhlasan, cepat atau lambat pun batin juga ikut terlunakkan.

3 kunci dari Seneca di atas rasanya sudah cukup menjadi poin penting agar kita lebih peduli dengan kontrol diri sendiri, terutama mengatur kemarahan kita. Jika tak bisa dikurangi sepenuhnya, baiknya dikurangi intensitasnya.

Temukan filosofi hidup lainnya dalam buku bertajuk Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya melalui masa pre-order dari Bentang Pustaka. Tunggu tanggal mainnya dan selamat berproses menjadi insan yang seutuhnya, ya!

Pamungkas Adiputra.

 

 

© Copyright - Bentang Pustaka