Tag Archive for: Pengalaman Hidup

Hidup Bahagia dan Menghindari Sengsara. Laki-laki Bahagia

Alasan Ingin Hidup Bahagia dan Menghindari Sengsara. Kamu Pilih Mana?

Alasan ingin hidup bahagia itu beragam. Semuanya berawal dari: ada yang tidak ingin kesusahan di dalam hidupnya, ingin mengentaskan kemiskinan, atau mungkin juga mengakhiri penderitaan yang sudah mendera bertahun-tahun lamanya.

Bagaimana pun bentuk alasan orang ingin hidup bahagia, itu semua tercakup dalam sebuah rasa yang tak bisa dikontrol. Keinginan untuk lebih, lebih, dan lebih merasa bahagia dari yang lainnya. Bahkan, ada juga yang merasa dirinya sudah paling terjajah dan paling rendah. Memang, ada sebagain yang bisa dikontrol, namun tetap yang mendominasi ialah hasrat untuk memiliki sesuatu yang melebih dari batasan kita yang semestinya.

Beberapa poin di bawah ini menjelaskan alasan orang ingin hidup bahagia berupa sarkasme dari buku Filosofi untuk Hidup Bentang Pustaka. Mari kita simak sejenak.

Baca Dulu: Filsafat Kehidupan Membosankan, Kata Siapa? Beberapa Alasan Berikut Justru Akan Membantu Permasalahanmu

Kita Butuh Validasi dari Orang Lain

Sejatinya, tak bisa dimungkiri, kita hidup di dunia makin ke sini ingin adanya sebuah pengakuan dari masyarakat. Hampa dan hambar rasanya jika sesuatu yang sudah kita miliki dan raih tidak dilihat oleh orang lain. Maka dari itu, salah satu cap agar diri kita lebih bahagia dengan membeberkan segala hal yang dipunyai untuk ditunjukkan ke publik.

Kalau meminjam isi dari buku Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya, katanya kita ingin sebuah penerimaan dari masyarakat. Tinggal di metropolitan yang padat memaksa kita untuk sopan. Jika ingin memasuki kota, jika ingin menjadikan diri sesuatu, kita harus mempertimbangkan pengaruh perilaku kita pada jutaan orang di sekitar.

Alasan Ingin Hidup Bahagia Tak Lain Adanya Rasa Ingin Berkuasa

Manusia yang manusiawi itu seperti apa, sih?

Mengenakan kemeja berlengan panjang, memasang segala perhiasan, membusungkan dada dengan gagap, dan menyuarakan hanya dirinya yang boleh ambil alih keputusan dengan lantang.

Berdasarkan kondisi alamiah manusia yang memiliki kehendak, membuat manusia beralih menjadi insan yang aktif dalam kehidupannya di dunia. Keaktifannya yang dijadikan sebagai media, lalu memberikan manusia kemampuan untuk menciptakan dan menata dunia sebagai hasil dorongan yang dimilikinya.

Meminjam filsafat Nietzche, bahwa manusia sedang belajar mengembangkan dirinya. Pentingnya arti nilai keberadaan manusia sebagai entitas diri, bukan kekuatan lain yang berada di luar dunia. Nietzche menganggap, dunia ini merupakan sebuah permainan yang tidak memiliki kebenaran utuh––tak berawal hingga bahkan terbuka untuk dimaknai dan ditafsirkan dengan kehendak yang dimiliki manusia.

Tak Ingin Ditelan Era

Alasan ingin hidup bahagia yang terakhir yaitu tidak ingin ditelan era atau tergerus dalam ketertinggalan zaman. Semakin dunia ini banyak modenya, semakin gencar pula hasrat kita ingin menunjukkan eksistensi terhadap dunia. “Ini, loh, aku ada.” Begitu kurang lebihnya.

Tanpa disadari, perlahan namun pasti, kita akan kehilangan keunikan diri alias jati diri. Mengingat kita terus bergantung pada faktor luar untuk meraih eksistensi diri. Rasanya kepopuleran kita perlu digali dari luar dan ditunjukkan pula ke dunia luar. Hampa rasanya jika jiwa dalam diri manusia seperti botol yang tak ada tutupnya.

Salah seorang filsuf, Diogenes namanya, pernah bercuit bahwa rasa malu kita sudah terlalu diasah oleh masyarakat lain, sehingga kita menjadi cemas, neurotik, terasing, takut menciptakan kesan buruk di mata orang lain. Kita mengerahkan seluruh energi untuk berusaha tampil menarik di depan orang asing, mengenakan topeng kesantunan yang dirawat dengan baik, sambil menyembunyikan apa saja dari mata publik tentang kesan tak tahu adat, kasar, atau primitif.

Masih ada kesempatan untuk kalian memiliki buku Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya melalui lama bit.ly/pesanfilosofi hingga 11 Oktober 2020, ya!

Pamungkas Adiputra.

Kontrol diri dengan Menyikapi Kemarahan

Kontrol Diri, Mengendalikan Marah dengan Beberapa Pesan dari Seneca Berikut Ini!

Kontrol diri atau self control itu apa, sih? Memangnya begitu penting? Bukankah kita bisa membuka mata dan sadar sudah lebih dari cukup? Baik, apakah dirimu pernah atau sering dirundung pilu? Entah apa pun itu penyebabnya, yang jelas di situlah peran kontrol diri yang sebenarnya ada dan bekerja.

Kontrol diri adalah salah satu hal yang wajib dimiliki oleh setiap insan. Kontrol diri berguna untuk kendali diri. Jika seorang insan tak memiliki kendali diri, ia akan lepas kendali. Alhasil, berbagai pergolakan dalam hidup yang dijalaninya menjadi tak karuan.

Bagaimana bisa kita meraih tujuan dalam hidup, semuanya kembali lagi pada kontrol diri. Jika kita tak bisa mengatur kontrolnya, bagaimana pula kita bisa mencapai segala angan yang ada? Kontrol diri erat kaitannya dengan mengendalikan emosi, salah satunya kemarahan–yang mana menjadi problematika fundamental bagi kita semua.

Kemarahan bisa menjadi salah satu irisan bahasan penting dari kontrol diri, karena kemarahan bisa merusak tatanan sosial jika tak diselesaikan dengan kita menyadarinya terlebih dahulu. Seneca, seorang filsuf Stoa, turut membagikan seni dalam mengendalikan diri, terutama mengatur kemarahan, untuk kita sebagai manusia yang bersifat sosial.

Ambil Jeda, Tunggu Sejenak

“Obat terbaik untuk amarah adalah menunggu, supaya emosi yang semula tersulut dapat reda dan kabur yang menyelubungi benak sirna,” tutur Seneca. Benarnya memang seperti itu, namun sering kita temui dalam beberapa kasus–termasuk saya dan Sahabat Bentang–sering tersulut kemarahan terlebih dahulu.

Ke depannya, bisa kita jadikan catatan untuk diri sendiri, jikalau sedang menyadari ada kemarahan yang membara dalam diri, segera menarik napas dan mengembuskan napas scara perlahan. Lalu, bisa juga ditambah dengan meminum air putih sebagai penenang pikiran.

Baca Juga: Masalah Tak Kunjung Usai, Buku Ini akan Menyelamatkanmu

Kontrol Diri dengan Mencatat Pemicunya

Kontrol diri selanjutnya yaitu mengetahui pemicunya. Setelah cukup tenang dengan mengambil jeda dan minum segelas air putih, mulai telusuri secara perlahan, apa saja yang menjadi trigger atau pemicu dari kemarahan tersebut.

JANGAN NGAMUK DAHULU! Setelah tahu penyebab awalnya, jangan memberikan judgment terlebih dahulu terhadap penyebab awal tersebut. “Paham betul jika segi sensitif setiap orang berbeda-beda, maka kamu harus tahu dahulu sisi lemah pribadimu,” lanjut tuturan Seneca.

Tersenyumlah

Kalau sudah terjadi, mau diapakan?

Ya, biarkan saja. Tugas kita yang terakhir yaitu dengan memberikan senyuman terhadap segala hal yang terjadi. Negatif, buruk, ataupun kurang mengenakkan keadaan itu hanya sebatas interpretasi kita. Bagaimana pun keadaannya, ambil saja hikmah yang sudah terjadi. Misalkan saja kita bisa belajar dari kejadian tersebut agar tidak terulang kembali pada masa mendatang.

Tentunya, langkah terakhir ini tidak serta-merta hanya menyuruh kita melebarkan mulut ke kanan dan ke kiri agar terlihat manis secara visual saja, melainkan juga dengan menyadari betul setiap hal agar kita mengilhaminya tanpa ada sebuah keraguan. Jika dengan senyuman kita bisa melakukannya dengan sebuah keikhlasan, cepat atau lambat pun batin juga ikut terlunakkan.

3 kunci dari Seneca di atas rasanya sudah cukup menjadi poin penting agar kita lebih peduli dengan kontrol diri sendiri, terutama mengatur kemarahan kita. Jika tak bisa dikurangi sepenuhnya, baiknya dikurangi intensitasnya.

Temukan filosofi hidup lainnya dalam buku bertajuk Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya melalui masa pre-order dari Bentang Pustaka. Tunggu tanggal mainnya dan selamat berproses menjadi insan yang seutuhnya, ya!

Pamungkas Adiputra.

 

 

© Copyright - Bentang Pustaka