Tag Archive for: PangeranDiponegoro

Misteri Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro Oleh Raden Saleh

Raden Saleh dalam Pangeran Dari Timur

Raden Saleh Syarief Bustaman atau dikenal sebagai Raden Saleh merupakan maestro seni rupa nusantara. Kisah Raden Saleh diceritakan melalui novel fiksi karya Iksaka Banu dan Kurnia Effendi berjudul Pangeran Dari Timur. Novel yang membutuhkan proses penulisan 20 tahun ini menceritakan kisah kehidupan Raden Saleh beserta karya-karya Raden Saleh. Diceritakan bahwa Raden Saleh merupakan seorang pelukis handal yang menyandang gelar maestro seni rupa Indonesia. Lahir di Semarang 1811 yang kemudian bersekolah di Buitenzorg atau saat ini dikenal sebagai kota Bogor. Hingga akhirnya kemampuan meluksinya diakui oleh gurunya Antoine Auguste Jean Joseph Payen atau Tuan Payen.

Singkat cerita, Raden Saleh dikirim untuk belajar melukis dan seni lainnya lebih mendalam ke Belanda oleh Tuan Payen. Di Belanda Raden Saleh mendapatkan reputasi yang cukup bagus dan membuat namanya dikenal di berbagai penjuru Eropa pada saat itu. Bahkan ketika di Belanda, Raden Saleh dijadikan sebagai pelukis kerajaan. Ketika pemerintahan Raja Wilem I dan II kemampuan dna keberadaan Raden Salah sangat diakui. Mulai dari diijinkan menetap di Belanda, hingga berkeliling Eropa. Meski begitu, Raden Saleh masih memiliki semangat membela nusantara yang ditunjukkan melalui salah satu karyanya, yaitu lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857).

Misteri Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857)

Diantara banyaknya karya Raden Saleh, lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro yang dibuat pada tahun 1857 banyak menarik perhatian. Publik dan masyarakat kala itu bahkan hingga masyarakat modern saat ini dibuat bingung. Kendati terdapat sebuah konspirasi dan misteri terhadap lukisan tersebut.  Kabarnya, lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro terdapat dua versi. Lukisan tersebut menceritkan penangkapan Pangeran Diponegoro sebagai tokoh perlawanan nusantara. Penangkapan dilakukan oleh Hendrik Merkus de Kock yang merupakan salah satu Jenderal Belanda.

De Kock memenangkan peperangan atas tanah Jawa dan membuat lautan darah disana. Lukisan karya Raden Saleh tersebut menggambarkan situasi dan mimic setiap karakter di dalamnya. Misteri mengenai adanya dua versi lukisan tersebut telah tersebar di mana-mana. Pasalnya satu versi menggambarkan wajah dan sikap Pangeran Diponegoro yang melakukan perlawanan terhadap Belanda. Kemudian satu versi lainnya menggambarkan sikap pasrah oleh Pangeran Diponegoro terhadap penangkapan oleh De Kock.

Lukisan seharga 100 Milliar rupiah tersebut akhirnya memunculkan banyak misteri dan konspirasi di masyarakat luas. Pertanyaan demi pertanyaan muncul, manakah versi yang sebenarnya? Bagaimana kejadian yang sebenarnya terjadi? Apakah Raden Saleh memang membuat keduanya atau hanya salah satu. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat kita temukan melalui novel Pangeran Dari Timur karya Iksaka Banu dan Kurnia Effendi.

Kebenaran dalam Pangeran Dari Timur

Berlatar belakang tahun 1857 di sebuah Paviliun. Awal penceritaan menceritakan kunjungan Monsieur De Mollins ke kediaman Raden Saleh di Batavia (Jakarta saat itu). Jurnalis asal Perancis itu merupakan jurnalis majalah perjalanan Le Tour de Monde. De Mollins berniat mewawancarai Raden Saleh yang terkenal atas karya-karyanya baik di Nusantara maupun Eropa. Sambutan hangat diberikan oleh Raden Saleh kepada De Mollins.

Kala itu Raden Saleh ingin diwawancarai namun bertempat di Pavilliun kerjanya. Ia ingin diwawancarai sembari mengerjakan salah satu lukisannya. Pembicaraan antara De Mollins dan Raden Saleh begitu panjang. Hampir setiap karya dari Raden Saleh dibahas secara mendalam. Namun pembicaraan antara keduanya tiba-tiba menjadi sangat serius. Saat itu mereka membicarakan lukisan yang ingin dikerjakan oleh maestro seni rupa pada saat itu juga. Raden Saleh menjelaskan bahwa ia ingin melukis salah satu momen dari sejarah perang Nusantara.

Mollins terkesan karena pastinya latar belakang Raden Saleh akan sangat kuat dalam lukisan bersejarah nusantara tersebut. Mollins kemudian menanyakan lukisan macam apa yang ingin dibuat oleh Raden Saleh. Sang maestro menjelaskan, bahwa ini merupakan pelukisan momen penangkapan Pangeran Diponegoro. Rupanya Raden Saleh pernah melihat lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro di Istana Belanda. Namun penangkapan versi Belanda tersebut semata-mata untuk memperlihatkan kemenangan Jenderal De Kock atas perang Jawa. Fakta yang aktual tidak digambarkan melalui lukisan penangkapan versi Belanda tersebut.

Dua Versi Lukisan

Raden Saleh sangat yakin dengan hal itu. Karena pelukis penangkapan versi Belanda tersebut merupakan Nicolaas Pieneman yang juga teman dari guru Saleh, Cornelis Kruseman. Dijelaskan bahwa Pieneman belum pernah sekalipun pergi ke Hindia dan melihat wajah asli Pangeran Diponegoro. Gambaran pada lukisan tersebut semata-mata hanya hasil dari catatan ketentaraan De Kock. Ditambah juga dengan sketsa Pangeran Diponegoro yang dibuat oleh guru Saleh lainnya, Theodoor Bik.

Pada lukisan versi Belanda, penangkapan Diponegoro digambarkan sedemikian rupa sesuai keinginan De Kock. Dimana Pangeran Diponegoro terlihat pasrah. Kemudian para pasukan Pangeran Diponegoro terlihat membawa tombak dan parang. Padahal menurut fakta, kala itu Pangeran Diponegoro dijebak karena telah ditawari genjatan senjata, dan datang tanpa membawa senjata apapun. Hal tersebut yang membuat Raden Saleh geram akan versi tersebut, dan ingin mengubahnya.

Maka dari itu, bersamaan dengan penceritaan Raden Saleh kepada Mollins, ia mulai mengangkat kuasnya. De Mollins sadar bahwa lukisannya ini sangat berbeda dengan versi Belanda. Penangkapan Pangeran Diponegoro versi Raden Saleh menggambarkan sikap tegas dan perlawan sang Pangeran. Kemudian penggambaran tokoh-tokoh Belanda dibuat lebih tebal. Seperti Jenderal De Kock, Kolonel du Perron, Letna Kolonel Roest hingga Mayor Ajudan De Stuers terlihat aneh. Kepala para tokoh tersebut tidak seperti sketsa yang dibuat, namun lebih seperti ikan buntal, menggelembung demikian besar dan tak proporsional dengan tubuh mereka.

Kebenaran Misteri Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro

Melalui penceritaan dalam Pangeran Dari Timur, telah menjawab berbagai pertanyaan. Kehadiran dua versi lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro memang benar adanya. Satu merupakan lukisan versi Belanda yang terdapat di Istana Raja. Merupakan versi dimana ketidakbenaran fakta digambarkan disana. Mulai dari Pangeran Diponegoro yang pasrah hingga para prajurit Diponegoro yang membawa senjata.

Kemudian versi kedua merupakan lukisan karya Raden Saleh. Dibuat pada tahun 1857, bersamaan dengan kedatangan dan wawancara oleh Monsieur De Mollins. Raden Saleh menggambarkan lukisan ini berbeda dengan versi Belanda. Untuk mengangkat fakta dan kebenaran tegas akan sikap Pangeran Diponegoro atas penangkapan dirinya oleh Belanda.

 

Penulis: Stevanus Febryanto W.S

Radeb Saleh dalam Pangeran Dari Timur

Pangeran Dari Timur : Representasi Maestro Seni Lukis Raden Saleh

Raden Saleh dikenal sebagai pelopor seni lukis modern Indonesia. Hal itu berkat karya-karyanya yang dikenal luas oleh masyarakat dunia karena dianggap bernilai tinggi. Dalam sejarahnya banyak masyarakat yang telah mengetahui riwayat dari sang maestro seni tersebut. Namun, tidak banyak pemberitaan mengenai sang maestro yang mendekati kata realistis.

Melalui novel Pangeran dari Timur, Iksaka Banu dan Kurnia Effendi mengangkat kisah Raden Saleh, sang maestro seni rupa pada zamannya. Melalui riset serta observasi yang terbilang cukup lama, yaitu 20 tahun, kedua penulis mengumpulkan data-data yang cukup mendukung untuk penceritaan dalam novel Pangeran dari Timur ini.

Iksaka Banu dan Kurnia Effendi dalam wawancaranya melalui channel YouTube Maraja TV Official dalam judul “RUANG BACA | Part-1 | Pangeran dari Timur, Ditulis 20 Tahun” menjelaskan bahwa sebenarnya ketertarikan mereka terhadap Raden Saleh berawal ketika menemukan sebuah katalog tipis yang mengangkat tema Raden Saleh dan berisi sangat realistis pada waktu itu.

Iksaka Banu menceritakan selama ini Raden Saleh hanya dikenal sebagai maestro seni lukis beserta mitos-mitosnya. Seperti lukisan makanannya yang akan dihinggapi lalat, lukisan bunganya yang akan dihinggapi kupu-kupu. Hingga lukisan tubuh manusia di lantai yang dianggap mayat oleh teman-teman Saleh, saking tampak begitu nyatanya lukisan-lukisan itu. Namun, melalui novel Pangeran dari Timur ini mereka mengangkat kisah Raden Saleh sedemikian rupa beserta kehidupan realistisnya sejak 1811 hingga 1833 berbumbu plot kedua yang menceritakan ketertarikan seorang arsitek awal abad ke-20 pada karya-karya lukisan sang maestro.

Perjalanan Raden Saleh di Nusantara

Banyak yang menuliskan bahwa kelahiran Raden Saleh pada 1807. Namun, melalui observasi penulis yang kemudian tertuang dalam novel Pangeran dari Timur ini menjelaskan bahwa kelahiran sebenarnya pada tahun 1811 di Terbaya, Semarang. Pelukis yang besar dengan nama Sarip Saleh ini telah dipisahkan dari keluarganya menjelang berakhirnya Perang Jawa. Awal penceritaan Raden Saleh atau dikenal juga sebagai Sarip Saleh pada waktu itu bermula ketika kunjungannya ke Kantor Administrasi salah satu daerah bersama pamannya yang seorang Bupati Semarang pada kala itu, yaitu Raden Aria Adipati Sura Adimenggala V.

Administratiekantoor van’s Lands Plantentuin.” Raden Saleh yang masih berumur 9 tahun kala itu dengan mudahnya melafalkan bahasa Belanda yang berarti Kantor Administrasi pada sebuah bangunan di Buitenzorg atau saat ini dikenal sebagai Kota Bogor. Hal tersebut membuat kagum Mang Ihin yang mengantarkannya saat itu. Kegeniusan Sarip Saleh sudah terpancar sejak umurnya yang belia.

Bertemu Tuan Payen

Semuanya berawal ketika para bangsawan seperti Residen Cianjur pada kala itu. Letnan Kolonel Jonkher Robert Lieve Jasper van der Capellen, yang merupakan adik Godert Alexander Gerard Philip Baron Van der Capellen, yang merupakan Gubernur Jenderal Hindia Belanda membuka sekolah Bumiputera atau juga dikenal sekolah rakyat (Volks-School). Sekolah tersebut sering mendapat titipan dari para bangsawan Jawa yang ingin anaknya mengenyam pendidikan dasar berhitung, membaca, hingga menulis aksara Romawi, Jawa dan Arab. Pada 1819, ketika Baron Van der Capellen bersama Profesor Carl Reinwardt berkunjung ke kediaman Kanjeng Paman Bupati Terbaya, sang Bupati memperkenalkan keponakannya yaitu Sarip Saleh, diperlihatkan hasil-hasil lukisannya yang genius. Hal itu membuat Capellen ingin mengajak dan mengirimkan Saleh kecil ke sekolah misionaris miliknya, dan diperkenalkannya pada Antoine Auguste Jean Joseph Payen atau Tuan Payen.

Singkat cerita, Sarip Saleh dikirim ke Cianjur dan bersekolah di sana, serta mendapat banyak bimbingan melukis dari Tuan Payen hingga kemampuannya diakui dan melakukan magang di Biro Buitenzorg. Pelukis yang berasal dari Tournai, Belgia, tersebut banyak memberi bimbingan terhadap perkembangan melukis Sarip Saleh. Hingga akhirnya ketika Sarip Saleh berusia 19 tahun, Tuan Payen mendesaknya untuk berkemas dan mengikutinya berkeliling Jawa. Sarip Saleh, seiring dengan kedewasaannya kala itu, mengganti namanya menjadi Raden Saleh Syarief Bustaman.

Raden Saleh Ke Eropa

Pada 1829, Perang Diponegoro meledak. Kanjeng Paman Bupati Raden Aria Adipati Sura Adimenggala V berusia 60 tahun. Peperangan menyebar hingga Semarang dan menyebabkan pembuangan Kanjeng Paman Bupati ke Manado beserta dengan pelucutan jabatan. Raden Saleh yang berusia 19 tahun merasakan kerisauan besar dalam hatinya, kebimbangan apa yang harus dilakukannya, apakah harus pulang ke Semarang menemui ibundanya? Namun, di sisi lain terdapat tawaran untuk belajar di Eropa atas rekomendasi Tuan Payen, pembimbingnya dalam melukis. Akhirnya, atas persetujuan Godert Alexander Gerard Philip Baron Van der Capellen selaku Gubernur Jenderal, ia berangkat dan menetap di Belanda.

Di sana ia menetap di tempat Inspektur Keuangan Belanda de Linge. Ia diharuskan membantu inspektur memahami mengenai segala sesuatu hal yang berhubungan dengan sastra Jawa dan Melayu. Sebagai gantinya selama beberapa bulan Raden Saleh akan diperbolehkan untuk pergi ke berbagai museum dan sanggar pelukis terkenal di Belanda. Selama di Belanda Raden Saleh belajar melalui bimbingan Cornelius Kruseman mengenai melukis potret. Pada tahun 1830 Raden Saleh magang di Studio milik Kruseman. Selama kehidupannya di Belanda pemuda  mengalami gejolak batin. Sebab, ketika itu ia harus bergaul dengan orang-orang yang merayakan kemenangan Hendrik Merkus de Kock yaitu seorang Jenderal Belanda yang memenangi peperangan dan membuat lautan darah di Jawa.

Sampai suatu ketika di Studio Kruseman, de Kock melakukan kunjungan sebagai layaknya tamu museum pada umumnya. Pertikaian hampir terjadi antara Raden Saleh dan de Kock, hingga akhirnya Kruseman memarahi Raden Saleh kala itu. Selepas magang di Studio Kruseman, Raden Saleh sekali lagi memperdalam ilmu lukisnya bersama sang maestro lukisan pemandangan, Andries Schelfhout.

Pulang ke Nusantara

Setelah masa studinya selesai, Raden Saleh tidak langsung kembali ke Nusantara pada saat itu. Seiring berjalannya waktu, namanya mulai dikenal di Belanda sebagai ahli lukis dari Hindia Belanda yang dapat menguasai teknik lukis Barat. Ia mengajukan permohonan kepada Raja Willem I untuk tetap menetap di Belanda guna mempelajari ilmu lain seperti ilmu pasti, ukur tanah, hingga pesawat, dan permohonannya dikabulkan. Semasa pemerintahan Raja Willem II, Raden Saleh semakin diakui kemampuan melukisnya, dan ia dikirim ke Jerman untuk menambah wawasannya. Hingga akhirnya Raden Saleh kembali ke Belanda dan diangkat menjadi pelukis istana Kerajaan Belanda kala itu. Setelah namanya terus menyebar, sang maestro tak mau berhenti mencari ilmu, ia berkeliling dan menjelajahi Eropa.

Tahun 1844-1851 ia tinggal di Prancis dan mendalami aliran romantisisme kala itu. Hingga akhirnya ia memutuskan kembali ke Hindia Belanda pada tahun 1851 bersama istrinya yang merupakan seorang wanita Belanda. Meskipun telah mengenyam banyak sekali ilmu dari negeri Barat, Raden Saleh tetap menentang penindasan akan kolonialisme di Hindia Belanda. Hingga idealismenya tergambar pada lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” oleh pemerintah Belanda pada 1857.

Ketika sudah kembali ke Nusantara, sementara menetap di Buitenzorg. Ia ditunjuk sebagai konservator pada Lembaga Kumpulan Koleksi Benda Seni. Di tengah kesuksesannya, pernikahannya harus kandas dengan perceraian. Namun, Ia bertemu dan membangun keluarga kembali dengan seorang gadis dari keluarga Keraton Solo, Raden Ayu Danudireja.

Akhir Cerita

Penceritaan mengenai Raden Saleh dalam novel Pangeran dari Timur berakhir pada tahun 1878, ketika sang istri, Raden Ayu Danudireja, mengalami sakit parah. Kemudian, suaminya telah melakukan segala usaha. Namun, jalan terakhir yang ia ambil adalah mempersiapkan segalanya dengan baik dan matang, seperti tempat pemakaman. Kisah sang maestro berakhir ketika salah seorang pelayannya bernama Emed didapati kabur dan telah mencuri lukisan miliknya.

Berdasarkan sumber lain seperti Serupa.id kematian Raden Saleh menurut rumor yang beredar disebabkan oleh pelayannya tersebut yang telah meracuninya. Meskipun demikian, setelah melalui pemeriksaan medis, terjadi pengendapan aliran darah di jantungnya. Setelah kematiannya, pada tahun 1883 diperingati sebagai 3 tahun kepergiannya dengan memamerkan lukisan-lukisan Raden Saleh di Amsterdam.

Selepas dari semua itu sang maestrojuga mendapatkan banyak penghargaan, khususnya karena reputasinya di Eropa. Seperti bintang Ridder der Orde van de Eikenkoon (R.E.K.), Commandeur met de ster der Frans Joseph Orde (C.F.J.), Ridder der Kroonorde van Pruisen (R.K.P.), Ridder van de Witte Valk (R.W.V.). Kemudian pemerintah Indonesia pada tahun 1969 melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayan (Depdikbud) memberikan penghargaan berupa piagam Anugerah Seni sebagai Perintis Seni Lukis Indonesia. Lukisan-lukisan yang terkenal hingga saat ini yaitu, “Perburuan Singa” (1839), “Perburuan Banteng” (1955), dan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” (1857).

 

Penulis: Stevanus Febryanto W.S

© Copyright - Bentang Pustaka