Tag Archive for: Buku Nonfiksi

Menahan Amarah Kepada Anak

Menahan Amarah

Kita sebagai orang dewasa tentu memiliki batasan tertentu dalam menahan amarah atau emosi, sama seperti anak. Anak juga memiliki pola pikir yang jauh berbeda dari kita sebagai orang dewasa, sehingga kita tidak banyak mengerti pemikiran anak. Sesederhana ketika kita melihat anak-anak naik-turun tangga. Hal itu bukan mereka lakukan karena ingin naik ke tangga yang lebih tinggi, melainkan bagian dari usaha anak mengembangkan kemampuan koordinasi tangan, tubuh, dan kaki. Itu sebabnya anak suka mengulang-ulang aktivitas yang sama.

 

Baca juga: Sulit Mengajari Anak Disiplin?

 

Menahan Amarah dengan Menyesuaikan Diri

            Ketika dalam kondisi marah, kita sering lupa dengan diri kita dan anak. Saat marah, kita perlu menyesuaikan hati, pikiran, dan sikap kita. Penyesuaian ini penting karena merupakan suatu proses yang terus berjalan. Kita perlu menyesuaikan diri secara terus-menerus agar bisa hidup dalam harmoni dengan anak. Penyesuaian ini terjadi saat anak lahir, kemudian seiring bertambahnya usia anak, dan kita pun melakukan penyesuaian dengan perubahan anak.

Penyesuaian adalah proses yang dinamis. Jika tidak ada penyesuaian setiap waktu, setiap tahun, setiap anak lahir, yang terjadi hanyalah kemarahan, ketamakan, dan keegoisan. Jika tidak ada yang mengalah dan memberikan serta mengurangi diri sendiri untuk memperbaiki kondisi, maka bisa terjadi konfik.

 

Melakukan Observasi terhadap Anak

Untuk menyesuaikan diri kita dengan perubahan anak, maka kita perlu melakukan observasi terhadap mereka. Perhatikan usia anak hingga kita bisa tahu apa saja yang anak bisa dan tidak bisa lakukan. Selain itu, kita juga perlu memperhatikan diri kita, usia kita, kemampuan, dan kekurangan kita. Dengan mengamati hal ini, kita bisa mulai melihat penyesuaian seperti apa yang perlu dilakukan dari kita kepada anak.

Ketika melakukan observasi, kita juga perlu sabar karena sabar adalah bagian kecil dari proses penyesuaian tersebut. Kehadirannya hanya untuk menyempurnakan keseluruhan proses penyesuaian. Observasi dilakukan untuk menjembatani perbedaan antara kita dan anak, sehingga kita harus aktif untuk mengobservasi anak. Melalui observasi, kita akan menanggalkan judgement kita terhadap anak. Kita bisa memahami dan mengerti pola pikir anak dan menyeimbangkan ekspektasi kita terhadap mereka.

 

Tidak salah jika kita memiliki emosi tersendiri terhadap anak. Namun, sebelum kita benar-benar mengeluarkan emosi terhadap anak terutama amarah kita, maka kita perlu mempertimbangkan beberapa hal lagi. Kita perlu mempertimbangkan banyak hal agar kita tidak salah mengambil langkah dan malah menjauhkan kita dari anak.

Buku A-Z Tanya Jawab Montessori dan ParentingMelalui buku A-Z Tanya Jawab Montessori dan Parenting karya Rosalynn Tamara, kita akan belajar memahami pemikiran dan dunia anak serta bagaimana cara kita menanggapi perilaku mereka. Dengan begitu, kita lebih bisa menahan amarah kepada anak-anak. Buku ini bisa kamu dapatkan sekarang di linktr.ee/Bentang atau di toko buku kesayanganmu.

Periode Sensitif dan Perkembangan Psikis Anak

Periode sensitif

 

Masa ketika anak balita senang menekuni segala hal dengan serius, kita sebut masa itu sebagai periode sensitif. Mungkin bagi kita hal tersebut menjadikan anak sangat lucu dan ajaib karena ia bisa memperhatikan hal-hal yang luput dari pandangan kita. Hal ini dikarenakan anak memiliki kepekaan mereka sendiri dan telah dimulai sejak dini. Bahkan, kepekaan ini telah ada sebelum dia mampu memerintah instrumen ekspresinya.

Anak memiliki bakat kreatif dan potensi yang memungkinkannya untuk membangun dunia psikis mengenai dunia di sekelilingnya. Tentu dalam perjuangan membangun psikis ini, anak akan menemukan banyak hambatan. Itu sebabnya, anak perlu dibantu dengan menghadirkan lingkungan yang juga disiapkan untuk menyambut anak yang sedang membentuk psikisnya.

 

Baca juga: Pengasuhan yang Dibutuhkan Anak

Periode Sensitif Artinya Memperhatikan Hal-Hal Kecil

Periode sensitif anak menekankan pada ketertarikan anak terhadap sesuatu yang ada di sekitarnya. Sering kali hal yang membuatnya tertarik adalah hal-hal yang mungil dan lepas dari pandangan kita. Anak akan meraih bermacam-macam capaian menakjubkan sedangkan kita acuh tak acuh sebagai penonton semata-mata karena sudah terbiasa. Anak berusaha untuk bisa membedakan hal ini dan itu, kemudian belajar berkomunikasi serta lika-likunya. Anak kecil hidup apa adanya dengan gembira tanpa mengenal lelah. Sementara, orang dewasa perlu menyesuaikan diri di lingkungan baru dan memerlukan banyak sekali bantuan.

Pada periode sensitif, anak tak hanya memperhatikan hal-hal yang sering luput dari pandangan kita, mereka juga akan fokus terhadap hal-hal yang menarik perhatian mereka. Contoh sederhananya ialah ketika anak menemukan kumbang. Ia akan merasa kumbang itu begitu ajaib dan unik sehingga ia akan terus melihat kumbang itu dan mempelajarinya. Pada periode sensitif, anak yang sedang dalam proses perkembangan memiliki kepekaan khusus. Kepekaan ini bersifat sementara dan terbatas, hanya untuk meraih karakteristik tertentu.

 

Ketika anak sedang berada pada periode sensitif, kita sebagai orang dewasa adalah orang-orang yang berada di luar jangkauan itu. Periode sensitif datang dengan sendirinya dan kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencetuskannya. Anak meraih sejumlah capaian sepanjang periode sensitif yang menjadikannya sangat intens ketika berhubungan dengan dunia luar. Pada periode ini, segalanya menjadi mudah dan dialiri dengan antusiasme. Namun, ketika sebagian semangat psikis ini mati, anak akan mencari hal lain yang membuatnya antusias.

Maka dari itu, sepanjang masa balita, anak melakukan penaklukan tak putus-putus dengan vitalitas yang menggebu-gebu. Pertumbuhan psikis dicapai oleh anak berkat penaklukan natural dan ajaib yang ia capai, sedangkan yang memberdayakannya adalah vitalitas si anak sendiri.

Montessori Keajaiban Dunia Anak yang TerlupakanMelalui buku Montessori: Keajaiban Dunia Anak yang terlupakan, kita akan sama-sama belajar memahami dunia anak serta pola pikir mereka. Buku ini ditulis oleh Maria Montessori dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kamu bisa mendapatkannya di linktr.ee/Bentang atau di toko buku favoritmu.

Feminisme Islam

Feminisme Islam karya Etin Anwar Hadir untukmu

Feminisme Islam

Feminisme dan Islam adalah dua hal yang sering diperdebatkan. Banyak yang mengatakan, keduanya tidak sejalan. Feminisme bukan Islam dan Islam tidak pernah mengajarkan tentang feminisme. Benarkah demikian? Feminisme Islam: Genealogi, Tantangan, dan Prospek di Indonesia akan meyakinkan kamu bahwa dua hal itu nyatanya saling berkelindan dalam tatanan etik. Buku ini berisi kajian mendalam yang membahas tentang perkembangan feminisme di Indonesia sejak masa kolonialisme hingga poskolonialisme.

Sekilas tentang Penulis

Etin Anwar adalah seorang ahli di bidang humaniora interdisipliner dan dosen di Hobart and William Smith College, Geneva, New York, yang aktif menulis dan melakukan riset. Ia merupakan founder Reducates yang merupakan platform webinar dan networking untuk membagikan ilmu dan pertukaran budaya secara daring. Etin Anwar telah menulis buku dan artikel dalam jurnal internasional yang juga mengangkat isu perempuan dan feminisme khususnya di Indonesia. Bukunya yang berjudul Jati Diri Perempuan dalam Islam juga telah diterbitkan oleh Mizan pada tahun 2017. Karya terbarunya menawarkan wacana tentang pentingnya menjadi seorang perempuan Muslim dalam memperjuangkan kesetaraan gender.

Hasil Riset Selama 10 Tahun

Tahukah kamu? Etin Anwar sudah pernah menerbitkan buku ini sebelumnya dalam bahasa Inggris dengan judul A Genealogy of Islamic Feminism: Pattern and Change in Indonesia. Karyanya diterjemahkan oleh sahabat penulis, Profesor Nina Nurmila. Buku ini merupakan hasil riset selama 10 tahun tentang relasi antara gender, feminisme, dan Islam. Singkatnya buku ini mengeksplorasi bagaimana perempuan Muslim mempromosikan, memperlombakan, mewujudkan, dan membentuk kembali definisi kesetaraan yang sesuai pada zaman dan konteks mereka. Kita juga perlu menyadari bahwa feminisme sejalan dengan perubahan budaya yang ada.

5 Fase Perkembangan Feminisme di Indonesia

Dalam bukunya, Etin Anwar membagi tahap perkembangan feminisme di Indonesia menjadi 5 fase yaitu emansipasi, asosiasi, pembangunan, integrasi, dan penyebaran. Setiap fase menyoroti momen sejarah dan kondisi masa kini yang membentuk hubungan antara Islam dan feminisme. Etin Anwar juga menjabarkan bahwa feminisme kerap dipandang sebagai produk barat, sehingga sulit diterima masyarakat Timur Tengah dan Asia, termasuk Indonesia. Tentunya, pembaca akan mendapat pisau analisis baru untuk isu kesetaraan gender, feminisme, dan Islam usai membaca buku ini.

Akan Terbit Bulan Juni 2021

Jika kamu termasuk orang yang gelisah dengan situasi ketimpangan gender di Indonesia, masukkan Feminisme Islam dalam daftar bacaanmu. Kabar baiknya, penerbit Mizan akan meluncurkan buku hebat ini bulan depan. Kamu bisa mengikuti prapesannya dari tanggal 31 Mei—14 Juni 2021 di sini. Dapatkan bonus tanda tangan dan sapaan eksklusif dari sang penulis! Pantau terus info terbaru buku ini dari Instagram Bentang Pustaka.

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

Mbah Nun Bertutur: Ungkapan Emha tentang Jati Diri Bangsa yang Terkikis

Emha Ainun Nadjib dalam karya terbarunya yang berjudul Mbah Nun Bertutur mengungkapkan bahwa tanpa disadari, kita telah kehilangan jati diri bangsa. Jati diri bangsa Indonesia sudah dikikis total oleh sekularisme negara yang kita jalankan.

Baca juga: Kata Mbah Nun tentang Bangsa Indonesia

Salah satu penyebabnya adalah rakyat manut saja karena tidak pernah diberi tahu beda kasus antara sekularisme dan sekularisasi. Banyaknya konflik kepentingan yang beradu dalam menjalankan negara juga menjadi faktor yang memperparah keadaan.

Bangsa Indonesia Tidak Punya Pemimpin

Indonesia adalah bangsa yang tidak pernah punya pemimpin di negaranya, begitu tutur Mbah Nun dalam bukunya yang terbit April 2021 lalu. Tidak pernah ada kepemimpinan dengan kematangan nilai-nilai kehidupan, kearifan dalam kebersamaan, kecanggihan dalam kedamaian, komprehensif-dialektis dalam menangani keragaman. Bahkan, sekadar profesional di bidangnya pun tidak. Mbah Nun beropini bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang bermain-main ketika memilih pemimpin, bahkan dengan berani memain-mainkan nilai-nilai kehidupan, meremehkan ketergantungan dan kebutuhan manusia terhadap harmoni.

Implementasi Pancasila yang Gagal

Sila pertama dalam Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” pun dianggap tidak benar-benar diterapkan dalam praktik kehidupan bernegara. Tak ada kesungguhan dari pemerintah, kaum ilmuwan, para negarawan, dan kelas menengah untuk mengelaborasi sila pertama menjadi aplikasi dan implementasi dalam bidang sosial, politik, hukum, dan budaya. Sejak memproklamasikan kemerdekaan pada 1945 hingga sekarang, Mbah Nun menilai bahwa setiap orang, tokoh, dan kelompok, memfokuskan langkahnya demi pelampiasan kepentingan golongannya sendiri.

Mayoritas Bangsa Indonesia Muslim, Seharusnya…

Jika mayoritas penduduk Nusantara beragama Islam, seharusnya kehidupan bangsa Indonesia ini penuh keteduhan budaya, kelembutan perilaku, kedamaian sosial, keseimbangan berpikir, keutuhan kepribadian, kematangan manajemen, ketertataan bermasyarakat dan negara. Apabila sebuah negara mayoritas warganya beragama Islam, mestinya kebaikan, kebenaran, dan keindahan menguasai wilayah-wilayahnya. Sementara keburukan, kebrutalan, pencurian, korupsi, dan segala macam yang munkar tersingkir dan terpinggirkan. Namun, mengapa bukan pemandangan seperti itu yang kita jumpai di Indonesia? Bahkan, ada kecenderungan sebaliknya?

 

Bangsa Indonesia menggembor-gemborkan Pancasila sebagai dasar negara, tapi semua perilaku kenegaraan dan langkah-langkah pemerintah adalah copy-paste sekularisme global. Tidak ada konteks martabat sebagai bangsa dan manusia. Dalam wacana pemerintahan dan kenegaraan Indonesia, tidak ada urusan dengan harga diri bangsa.

Jika, kalau, bila, dan andaikan… Harus berapa pengandaian lagi yang disebutkan untuk menggambarkan Indonesia? Kapan bangsa kita akan sampai pada titik kata-kata pengandaian itu tak lagi diperlukan?

Baca selengkapnya tulisan terbaru Emha Ainun Nadjib dan opininya terhadap Indonesia dalam Mbah Nun Bertutur. Dapatkan segera bukunya di sini. Ikuti informasi terbaru tentang buku-buku Emha dari Instagram Pustaka Cak Nun.

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

Capai JOMO

Capai JOMO dengan Perencanaan 5P

Capai JOMO

Agar tidak kewalahan dan mencapai JOMO, kita ingin menguasai hari dan memegang kontrol atas jadwal, bukan? Setelah mempelajari strategi menolak dan mengetahui apa saja yang bisa didapatkan jika berani menolak, kita tentu memerlukan sebuah sistem yang bisa membantu untuk meringkas semua kegiatan.

Baca juga: Apa yang Kita Dapatkan Ketika Berani Menolak?

Tanya Dalton dalam The Joy of Missing Out (JOMO) membagikan sistem yang ia ciptakan untuk tujuan yang telah disebut di atas. Sistem itu disebut dengan Perencanaan 5P yang bisa disesuaikan dengan diri sendiri dan gaya hidup masing-masing orang. Perencanaan 5P terdiri atas Pembersihan, Proses, Prioritas, Perlindungan, dan Penggerak. Simak penjelasannya di bawah ini.

Pembersihan: Luangkan Satu Hari dalam Seminggu untuk Berpikir

Dalton menyarankan untuk melakukan ini satu hari dalam seminggu. Kamu bisa memilih satu dari tujuh hari untuk melakukan pembersihan. Contohnya, kamu memilih hari Minggu untuk melakukan pembersihan urusan sekolah, kuliah, atau kantor dan hari Senin untuk pembersihan urusan keluarga. Ya, kamu bisa melakukannya dalam satu atau dua hari jika kamu ingin fokus pembersihanmu mendapat ruang masing-masing. Tujuan dari tahap ini adalah untuk melihat gambaran besar tentang apa yang ingin dicapai selama tujuh hari ke depan. Langkah ini bisa dilakukan sendiri atau bersama tim. Tim yang dimaksud di sini bisa jadi tim kerja atau keluarga, tergantung ruang Pembersihan mana yang ingin kamu selesaikan. Menyusun rencana tidak harus terasa formal dan kaku, Pembersihan bisa menjadi aktivitas menyenangkan mingguan, lho!

Proses: Setiap Hari Harus Dianggap sebagai Kesempatan Baru

Kunci dari langkah kedua ini adalah jangan nikmati prosesnya. Jangan merasa tertekan ketika kegiatan yang kamu rencanakan selesai hari Kamis ternyata baru terpenuhi setengahnya. Tak perlu juga merasa terbebani mengingat bahwa Jumat kamu harus menyelesaikan sisa pekerjaan Kamis plus mengerjakan tugas-tugas hari itu. Buatlah prosesnya fleksibel. Ini merupakan hal yang wajar apabila ada satu hari ketika pencapaianmu dua kali lipat lebih besar dari rencana. Tidak masalah juga jika ada hari lain yang kasusnya seperti hari Kamis tadi. Meluangkan waktu untuk memproses akan menyiapkan kita menuju kesuksesan.

Prioritas: Membatasi Waktu pada Urusan yang Tak Penting

Salah satu cara untuk memprioritaskan kegiatan kita adalah dengan pengelompokan. Pengelompokan dalam konteks ini adalah mengumpulkan aktivitas-aktivitas mirip dalam kurun waktu tertentu yang dimaksudkan untuk memaksimalkan waktu, energi, dan fokus. Ini dapat menata kegiatan harian kita. Tugas-tugas penting, maupun tidak, bisa dikelompokkan dengan dua cara, yaitu berdasarkan tindakan (mengecek media sosial, surel, dan lainnya) dan berdasarkan konteks (belanja mingguan, membeli keperluan sekolah, dan semacamnya. Dengan ini, kita mampu menyelesaikan pekerjaan berkualitas tinggi dengan waktu lebih singkat.

Perlindungan: Tempatkan Sekat Pekerjaan dan Waktu Istirahat

Isi kalender dengan tugas prioritasmu akan mencegah orang-orang untuk mengintervensi jadwal kita dan menyisipkannya dengan agenda mereka. Ingat, prioritas lebih tinggi hars mendapatkan jatah waktu lebih lama, sehingga tetapkan dulu sekat-sekat dalam jadwalmu. Selain itu, waktu istirahat harus dimasukkan dalam agendamu. Itu akan menjadi penyangga untukmu dan menyediakan fleksibilitas yang diperlukan untuk pro-aktif. Penyangga akan memberimu fleksibilitas yang diperlukan agar sistemmu tidak gagal.

Penggerak: Menyiapkan Domino

Agar semua sistem berjalan dengan baik, kita membutuhkan penggerak. Dalam hal ini, Dalton mengumpamakannya dengan domino. Domino akan membantu mempermudah pekerjaanmu selanjutnya. Contoh mudahnya adalah: meletakkan perlengkapan sarapan yang siap digunakan di meja setelah mencuci piring malam hari, mengisi buku agenda dengan daftar tugas berikutnya, meletakkan laptop dan buku di meja belajar supaya siap digunakan, dan lain sebagainya. Setelah itu, ciptakanlah map khusus untuk proyek-proyek berikutnya. Cara ini memperlihatkan kita seberapa lama waktu yang dihabiskan untuk proyek tersebut yang membantu rencana selanjutnya.

 

Kita harus hadir dalam kehidupan dan bertanggung jawab atas pilihan-pilihan yang kita buat. Tanpa kehadiran, produktivitas berubah menjadi kesibukan dan kita hanya melakukan tugas dan pekerjaan tanpa investasi masa depan yang berarti. Kamu bisa pelajari lebih dalam tentang produktivitas dan sistem meringkas dari buku The Joy of Missing Out (JOMO) di sini.

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

Kata Mbah Nun tentang Bangsa Indonesia

Kata Mbah Nun tentang Bangsa Indonesia

Kata Mbah Nun tentang Bangsa Indonesia

Apakah kamu termasuk salah satu orang yang kerap memikirkan kondisi negeri? Sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang besar, terwujudnya persatuan dan kesatuan adalah hal yang kita impikan bersama. Namun, tentu saja itu tidak mudah dicapai.

Baca juga: Menuturkan Indonesia dari Fenomena Emha

Kerja sama yang baik antara pemerintah dan rakyat merupakan satu dari sekian syarat agar Indonesia bisa menjadi negara demokratis yang utuh. Emha Ainun Nadjib, dalam karya terbarunya Mbah Nun Bertutur, mengemukakan opininya terhadap kondisi Indonesia dengan gamblang.

Indonesia Gagal Mengelola Perbedaan

Mbah Nun dengan berani menyatakan bahwa Indonesia di era modern adalah negara yang gagal mengelola perbedaan, kecuali mengatasinya dengan otoritarianisme radikal, pembubaran, pembunuhan, atau de-eksistensi konstitusional. Menurut sang penulis, bahasa yang digunakan akhir-akhir ini untuk mengalamatkan hal itu sangatlah radikal. Makar, sempalan, ekstremis, teroris, dan anti adalah beberapa di antaranya.

Tak hanya itu, Indonesia kini diperkokoh oleh aktivis-aktivis Islam yang berpikir datar dan linier, sama radikal dan otoriternya. Hampir semua yang tidak sejalan dengan mazhab yang dipercaya oleh golongan mereka dituding haram, bidah, syirik, tagut, atau kafir. Perbedaan dan diversitas dipandang sebelah mata. Oleh beberapa pihak, justru dianggap sebagai pedang pemecah belah. Toleransi? Sepertinya bangsa kita memerlukan pemaknaan baru untuk itu.

Semboyan Indonesia: Bhinneka Gagal Ika?

Mbah Nun melihat bahwa mayoritas rakyat Indonesia tidak mengerti nasib mereka, tidak memahami apa yang sedang menimpa mereka, apalagi yang akan menimpa mereka pada masa depan. Rakyat sama sekali tidak mendapat peluang pendidikan politik dan kenegaraan pada pratik nyatanya. Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan umumnya hanya berfokus pada menghafal Undang-Undang Dasar (UUD), Pancasila, dan sederet pasal. Namun, pemaknaannya nihil.

Mengutip dalam Mbah Nun Bertutur, bangsa Indonesia melahirkan buzzer-buzzer perusak kehidupan, pengkhianat sejarah, dan pembunuh nilai-nilai dasar kemanusiaan. Bagi Emha, Indonesia adalah bangsa yang pemerintahnya selalu sombong dan omong besar tentang persatuan serta kesatuan, padahal tidak punya ilmu dan wibawa untuk mempersatukan. Selalu omong kosong tentang Bhinneka Tunggal Ika, padahal praktiknya selalu Bhinneka Gagal Ika.

 

Mbah Nun Bertutur memang berisi banyak tentang cerita kehidupan Emha muda, tetapi kritik dan opini terhadap situasi negara yang tak pernah luput dituangkannya dalam setiap karyanya menjadikan buku ini bacaan yang reflektif dan kontemplatif. Meskipun periode prapesan telah berakhir, Mbah Nun Bertutur masih dapat ditemukan dalam katalog Bentang Pustaka di sini.

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

JOMO Ketika Menolak

Apa yang Kita Dapatkan Ketika Berani Menolak?

JOMO Ketika Menolak

Tanya Dalton, penulis buku The Joy of Missing Out membagikan strategi untuk menolak. Menolak ternyata ada seninya, lho. Selain itu, kita juga sudah mempelajari kapan harus mengatakan ya dan kapan harus menjawab tidak.

Baca juga: Tolak Hal yang Bukan Prioritas dengan Strategi Roti Lapis

Setiap kali kita mengiyakan, kita menolak hal lain. Begitu pun sebaliknya, ketika kita menolak hal-hal yang bukan prioritas kita, sebagai gantinya, kita akan menerima empat hal berikut.

1. Waktu Berkualitas dengan Orang-Orang Tercinta

Menolak pekerjaan pada akhir pekan bukanlah suatu kesalahan, bukan pula bentuk keegoisan. Kita memang tidak bisa mencegah rekan kerja yang menghubungi tiap akhir pekan untuk memberikan tugas tambahan atau lain sebagainya. Namun, kita selalu memiliki pilihan untuk menolak.

Banyak orang harus menyadari bahwa menyisihkan waktu untuk diri sendiri atau me time dan mengutamakan waktu bersama keluarga serta teman merupakan bagian dari prioritas kita. Dalton berulang kali mengingatkan kita dalam bukunya untuk selalu live in the moment, sebab kita takkan pernah tahu kapan waktu bersama orang-orang sekitar kita akan berakhir.

2. Beban Kerja yang Masuk Akal

Kita sering tergoda untuk mengiyakan sesuatu. Namun, tidak banyak yang menyadari bahwa hal tersebut berkaitan dengan bagaimana kita ingin dinilai oleh orang lain. Beberapa orang ingin dianggap sebagai sosok yang jago multi-tasking dan ahli mengatur waktu, sehingga mereka menyetujui semua tugas yang dilimpahkan. Mereka lupa bertanya kepada diri sendiri, mengapa perlu untuk membuktikannya?

Menolak sesuatu memang berarti menolak peluang yang datang. Kesempatan tidak datang dua kali. Betul. Namun, tidak semua pintu kesempatan harus kita ketuk jika ingin menghindari kewalahan dan stres akibat beban kerja yang tak masuk akal. Ingat, tertinggal bukan bencana. Untuk mendapatkan hal yang banyak, fokuslah pada hal yang lebih sedikit.

3. Memegang Kendali atas Jadwal Kita

“Tidak akan bisa. Ini mustahil. Jadwal sudah ditentukan oleh kantor dan kampus.” Mungkin, itulah sederet kalimat penolakan yang akan kamu lontarkan ketika membaca subjudul di atas. Dalton mengakui, hal itu memang sulit, tapi bukan berarti mustahil. Setidaknya 5 hari dalam satu pekan, jadwal kita telah ditentukan oleh pihak luar. Lantas, apa itu berarti kita hanya memiliki kendali atas sisa 2 hari?

Jawabannya tidak. Jadwal bisa dinegosiasikan. Namun, jika kamu berada di tempat yang memiliki jadwal sangat kaku, maka yang bisa kamu lakukan adalah jangan biarkan jadwal itu merembet ke waktu pribadimu. Tolak dengan tegas segala tugas dan pekerjaan yang datang di luar jadwal kewajibanmu, ketahui kapabilitasmu, dan kendalikan jadwalmu.

4. Memprioritaskan Diri Sendiri

Berhenti meminta maaf karena menomorsatukan prioritas kita dan mengutamakan urusan penting, karena memang sudah begitu seharusnya. Suara prioritas kita haruslah yang paling nyaring. Membuat batasan itu perlu. Tantangannya terletak pada bagaimana cara kita membuat orang lain mengerti dan menghargai batasan yang telah kita buat.

Kita harus memisahkan permintaan dari hubungan. Jangan lupa bahwa menolak suatu permintaan bukan berarti menolak orangnya. Ini adalah penyakit, terutama bila kita memosisikan diri di bagian terbawah dalam daftar orang yang perlu kita senangkan. Dirimu adalah prioritasmu.

 

Jadi, apa kamu sudah siap untuk menolak? Sedikit catatan pengingat untukmu, mengutip dari Lysa TerKeurst dalam The Joy of Missing Out, “Jangan tertukar antara perintah untuk menyayangi dan penyakit menyenangkan orang lain.”

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

Menuturkan Indonesia dari Fenomena Emha

Membincang fenomena Emha (meminjam istilah Halim HD) memang tak pernah ada habisnya. Pemikirannya selalu menembus batas-batas demarkasi intelektual, dimensi spiritual, bahkan standar moral di tengah-tengah masyarakat. Gerakan sosialnya pun menarik karena naluri aktivismenya yang selalu memposisikan diri di luar arus dan pagar mainstream. Energi hibrida agamawan-budayawan-aktivis-penulis-oratornya membuatnya tak pernah absen dari upaya memadukan aneka rupa senyawa estetika, religiusitas, sosial, politik, dan kultural kedalam sebuah bejana kehidupan yang tidak hanya harmonis, tetapi juga puitis dan terkadang magis.

Sebagai mahluk multidimensi yang langka, tidak mengherankan jika ia sering disalahpahami oleh banyak kalangan. Tak jarang frekuensi kepentingan orang-orang di kursi kuasa, di pucuk kharisma, dan di hulu-hilir niaga terganggu oleh dentingan Saron dan Bonang serta lautan tinta kritisisme seorang Emha. Tak sedikit pula dari mereka yang pernah aktif di lingkaran utama towaf dan jalur sa’i sosial-budaya sang ‘Kiai Mbeling’ ini datang dengan puja dan cinta namun pergi dengan iri dan dengki semata karena salah menilai Emha.

Kesalahpahaman itu mungkin wajar terjadi. Pertama karena memang ada kecenderungan kronis di masyarakat kita, ketika memandang sebuah fenomena budaya, sosial, bahkan politik dengan kacamata kuda. Kedua karena Emha ini memang tipe manusia ruang yang mampu menampung, bukan perabot yang selalu membutuhkan tempat bernaung. Trajektori hidupnya bukan sekolah-kuliah-harta melimpah-hidup mewah, tetapi nyantri-berpuisi-berdramaturgi-jalan sunyi. Ini membuat upaya untuk memahaminya harus dilakukan dengan dua pendekatan sekaligus. Dari sudut pandang etic yang selama ini sudah banyak dilakukan oleh para kritikus dan khalayak. Juga dari sisi emic yang mencoba menggali relung-relung terdalamnya yang selama ini tersembunyi.

Mbah Nun Bertutur, buku terbaru Emha yang diterbitkan Bentang Pustaka April 2021 ini menawarkan narasi emic yang sedikit berbeda tentang fenomena Emha. Buku ini bisa juga disebut autoethnography atau otoetgrafis karena seluruh isinya merupakan hasil self-reflection atas pemikiran dan pengalaman Emha sendiri sejak kecilnya hingga tiga perempat abad perjalanan hidupnya. Dari judulnya saja, ada dua nuansa utama yang tersirat. Pertama Mbah, sebuah panggilan dalam khazanah budaya Jawa yang mengisyaratkan hubungan lintas generasi, tetapi juga mengandung nilai ‘keramat’, penghormatan, tetapi juga kasih-sayang terutama dari para cucunya. Kedua bertutur, ini juga idiom Jawa yang sudah diadopsi ke dalam bahasa Indonesia dan memiliki makna amelioratif dari sekedar bercerita atau bercakap-cakap. Ada Nuansa reflektif si Mbah yang amat merindukan cucu-cucunya, dan sebaliknya, saling bertutur di gardu tengah desa menjelang senja.

Dan nampaknya, momentum pandemi Covid-19 yang sudah berlangusng lebih dari setahun ini memberikan ruang kontemplatif yang begitu tenang dan dalam bagi Emha. Berbagai macam untold stories yang selama ini tertimbun oleh padatnya jadwal keliling dan seluruh aktivitas publik yang ia jalani tanpa henti terselip di buku ini. Sejak masa kecil di Jombang, nyantri di Gontor, masa muda di Jogja yang begitu transformatif, hingga pergumulan di hampir semua arena teater sosial Indonesia di semua cita-rasa presiden yang memimpinnya, bahkan ‘penggelandangan’ pribadi dan pentas-pentasnya bersama Kiaikanjeng di seluruh benua, hampir semua tertutur singkat di sini. Ada banyak anekdot, pemaknaan baru, bahkan pengakuan faktual di sana-sini yang membuat pembaca buku ini lebih ngeh, sambil sesekali menganggukkan kepala seraya bergumam “oh…ternyata…”

Kekhasan buku-buku Emha selama ini memang seperti jembatan. Isinya kumpulan essai yang dirangkai menjadi satu buku tematis yang dalam beberapa kesempatan ia sebut berposisi diantara puisi dan artikel. Dan format ini memungkinkan jangkauan pembaca yang lebih inklusif. Namun demikian, keberpihakannya kepada wong cilik nampak tetap sangat jelas dari hampir semua judul yang diangkat di banyak bukunya, termasuk di buku ini. Sehingga kaum elit yang meskipun secara sembunyi-sembunyi ikut menikmati subliman pesan-pesan mendasar dari beragam tulisan Emha, mereka akan enggan mengonfirmasinya ke publik bahwa inspirasinya dinukil dari sana.

Etos utama bertuturunya masih sangat kentara, yaitu dengan dua nafas utama. Pertama, dekonstruksi atas doktrin agama, nilai budaya, pakem sosial, formula politik, maupun, collective believe yang berlaku di masyarakat. Kedua, kecenderungan ‘menggugat’ seluruh bentuk institusionalisasi dan formalisasi dari semua dialektika tersebut, yang dalam banyak aspek memang mengkerdirkan logika dasar kemanusiaan, persaudaraaan, dan saling menghargai sesama.

Yang menarik, berbeda dengan banyak sekali buku-buku Emha sebelumnya, buku ini lebih ‘literatif’ menggunakan rujukan tekstual agama dari Alquran maupun hadist. Ini penting untuk dicatat. Banyak intelektual Muslim berangkat dari teks agama di masa mudanya, kemudian baru menemukan pemahaman mendasar dan konteksnya di masa tua. Tetapi Emha, ia menyelami berjuta konteks untuk memahami nilai-nilai substansial agama sejak masa muda, baru kemudian merangkai simpul-simpul justifikasi teksnya di usia senja.

Dan ini mungkin yang membuat narasi bertuturnya lebih mengena, karena basis empiris di kehidupan nyatanya begitu luasnya. Dan ini pula yang barangkali membawanya ke berbagai permakluman dan permaafan kepada kedunguan siapa saja yang mendiskreditkannya, mencatut namanya, dan mengkapitalisasi ide dan kreativitasnya. Perlu diingat, ‘karir’ intelektualnya memang bukan dibangun dari kepiawaiannya menelan teori dan formula, tetapi dari meneliti setiap kata. Buku pertamanya bukan karya akademis yang jelas jarak antara penulis dan yang ditulisnya, tetapi kumpulan puisi tentang frustasi hidupnya. Judulnya saja “M” Frustasi (1975) yang mengisyaratkan betapa “Frustasi”-nya seorang e”M”ha dengan dunia seisinya.

Meskipun ada juga ekspresi-ekspresi kejengkelan atas ulah para milenial manja, atas ketidakseriusan para pemangku hajat anak bangsa, dan atas kesembronoan para cerdik pandai memilih diam seribu bahasa, Emha yang sudah menjadi ‘Mbah’ masih terus menaruh harapan besar kepada para cucunya. Mulai dari mereka yang masih setia bertani di desa-desa, yang terpaksa pergi ke kota demi nafkah keluarga, hingga para kaum papa di jalanan dan di trotoar peradaban dunia maya. Frustrasi itu sebuah energi, yang jika dituturkan akan ada kemungkinan untuk ditransformasikan. Dan energi tak pernah bisa dimusnahkan, karena ia juga tak bisa diciptakan.

Akhirnya, dengan segala analogi, imajinasi, dan empatinya, sangkan paran buku Mbah Nun Bertutur ini sebenarnya bukan tentang Emha yang menuturkan dirinya. Ini buku tentang anak bangsa yang menuturkan masa depan Indonesia.

 

Ulasan buku Mbah Nun Bertutur oleh Ahmad Karim

(Mahasiswa program doktoral Departemen Antropologi Universitas Amsterdam Belanda)

Tolak Hal yang Bukan Prioritas dengan Strategi Roti Lapis

Sama sekali tidak ada maksud menggeneralisasi, tapi orang Indonesia biasanya sulit bilang tidak. Setuju? Sebagian besar dari kita pasti pernah mengiyakan tugas atau pekerjaan yang bukan prioritas dan sebenarnya sangat ingin kita tolak. Jangan khawatir, kamu bukan satu-satunya, kok! Di dalam bukunya, The Joy of Missing Out, Tanya Dalton mengingatkan kita bahwa setiap kali kita mengiakan sesuatu, sebenarnya kita sedang menolak hal lain.

Baca juga: Jangan Sampai Terjebak Mitos Produktivitas Ini!

Ketika kita merelakan waktu demi prioritas orang lain, kita sendiri yang tersisihkan. Berikut contoh sederhananya. Saat kita menjawab ya untuk menjadi panitia event yang tidak kita sukai, maka kita mungkin berarti menolak kebersamaan dengan keluarga. Ketika kita setuju untuk membantu teman mengerjakan esainya, kita berarti menolak kesempatan menjadi sukarelawan di organisasi yang kita mau.

Jangan Menjadi People Pleaser

Problema ini dialami oleh banyak orang. Kita tak bisa berkata ya tanpa mengatakan tidak. Padahal, itu berarti kita harus mencuri waktu, energi, dan fokus dari kegiatan lain dalam daftar prioritas kita. Berkomitmenlah pada prioritas dan tujuanmu. Jika terus menerus berusaha menyenangkan orang lain dengan tidak menolak mereka, lama-lama kita memiliki kecenderungan untuk menjadi people pleaser.

Itu sama sekali tidak baik bagi kita di masa yang akan datang. Orang-orang akan menganggap kita “mudah disuruh” kalau semua permintaan mereka dituruti.Kita sering melupakan poin penting bahwa menolak suatu permintaan bukan berarti menolak orangnya.

Ajukan 10 Pertanyaan Ini Sebelum Mengatakan Ya

Jadi, kita tidak boleh bilang ya? Boleh. Bagaimana pun juga kita tidak mau melewatkan kesempatan begitu saja, bukan? Namun, ingatlah bahwa semua peluang harus dipertimbangkan dengan matang. Coba jawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini sebelum kamu mengiakan sesuatu:

  1. Bagaimana perasaanmu tentang peluang ini?
  2. Kenapa kamu ingin menerimanya?
  3. Apa ini sejalan dengan bintang utara/tujuan hidupmu?
  4. Apa ini memuaskanmu?
  5. Berapa lama yang dibutuhkan?
  6. Ada waktu untuk melakukannya?
  7. Bagaimana menolaknya?
  8. Apa yang harus kamu lepaskan supaya ada waktu untuk ini?
  9. Jika kamu terima, apa yang kamu tolak?
  10. Itu bukan masalah?

Nah, kalau jawaban dari pertanyaan terakhir adalah ya, kamu boleh setuju! Pertanyaannya terlalu banyak. Waktu untuk mempertimbangkan jadi semakin lama. Memang. Namun, kamu tidak akan menyesali pilihanmu kelak jika telah menimbang hal ini dengan matang.

Strategi Roti Lapis

Kita sering merasa tidak enak pada orang yang kita tolak. Dalton menyarankan sebuah teknik untuk menyampaikan penolakan hati-hati dengan “Strategi Roti Lapis”. Teknik apa itu? Bayangkan sandwich. Dua roti lapis yang di tengahnya berisi daging. Anggaplah daging itu sebagai kata tidak. Kamu tinggal melapisinya dengan dua lembar kebaikan. Seperti ini contohnya. Suatu hari kamu diajak oleh sahabat ikut organisasi kemanusiaan di kampus. Berikut contoh jawaban dengan strategi roti lapis.

Tersanjung sekali kamu mempertimbangkan aku untuk ikut organisasi itu. Sayangnya, sekarang ada beberapa kegiatan lain yang harus aku urus, takutnya aku tidak bisa memaksimalkan performa dan memberikan konsentrasi penuh untuk itu. Aku bangga punya teman yang peduli di bidang itu dan mau melakukan aksi nyata.

 

Bagaimana? Penolakannya jadi lebih halus, bukan? Yakin, deh, kalau sudah terbiasa menolak dengan metode ini, kita takkan merasa bersalah lagi ketika harus menolak ajakan, tawaran, limpahan tugas, dan tambahan pekerjaan. Tidak semua orang yang mengetuk pintu harus kita biarkan masuk. Dapatkan buku The Joy of Missing Out di sini!

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

Memaknai Kehidupan dengan Mbah Nun Bertutur

Bukan Emha Ainun Nadjib namanya jika tulisan-tulisannya tidak membuat para pembaca berefleksi. Karya terbarunya, Mbah Nun Bertutur, bukan hanya sebuah memoar yang menceritakan masa muda Emha ketika bertemu dengan berbagai sosok penting dalam hidupnya.

Baca juga: Karya Baru Emha Ainun Nadjib: Mbah Nun Bertutur, Akan Menemanimu pada Bulan Ramadhan!

 

Buku ini tidak hanya berisi catatan ingatan Mbah Nun mengenai bagaimana benih sebuah komunitas dituai dan ditumbuhkan. Mbah Nun Bertutur mengajak kita untuk memaknai kehidupan yang selama ini kita jalani.

Hidup Tidak Sekadar Dijalani

Menurut Habib Anis Sholeh Ba’asyin, penggagas Suluk Maleman dan salah satu pembaca pertama Mbah Nun Bertutur, hidup pada dasarnya merupakan perihal makna. Hidup adalah tentang bagaimana kita memaknai, menafsiri, dan memberi nilai pada setiap peristiwa yang kita alami sehari-hari. Namun, makna bukan sesuatu yang bisa kita petik segera setelah sebuah peristiwa kita alami atau selepas diberikan cobaan.

Dalam bukunya, Mbah Nun mengatakan bahwa banyak hal yang semasa usia muda kita perjuangkan, tetapi baru kita sadari esensi maknanya ketika tua. Reflektif. Buku ini mendorong para pembaca untuk kembali membuka kisah pada lembaran-lembaran lama dan merenungkan runtutan peristiwa kehidupan.

Makna Kehidupan Bersifat Personal

Pemaknaan sifatnya sangatlah personal. Contohnya, bahkan jika ada dua orang mengalami kejadian yang sama persis, bagaimana mereka memaknai insiden tersebut jelas akan berbeda. Mungkin, satu orang merasa bersyukur dan seorang lagi menganggapnya sebagai hukuman yang tak adil. Bagaimana kita memaknai peristiwa lampau, akan memengaruhi bagaimana kita bertindak pada masa depan.

Melalui buku ini, selain bisa mengupas cerita Emha semasa muda hingga sekarang ini, kita juga bisa belajar bagaimana cara Mbah Nun memandang peristiwa lampau di kehidupannya, menyerapnya untuk kemudian menemukan nilai-nilai yang membentuk sebuah makna.

“Apa yang kita petik hari ini adalah yang kita tanam kemarin. Apa yang kita miliki atau tak kita miliki sekarang adalah hasil dari yang kita semaikan sebelumnya.”

Mbah Nun Bertutur masih dalam periode prapesan. Kamu bisa memilih dua paket prapesan yang ditawarkan. Jika memilih paket 1, kamu akan mendapatkan buku bertanda tangan digital Emha Ainun Nadjib. Apabila menjatuhkan pilihan pada paket 2, kamu bisa memiliki buku bertanda tangan dan kaus eksklusif. Ikuti prapesannya di sini sampai tanggal 18 April 2021! Pantau terus Instagram Pustaka Cak Nun untuk info terbaru karya-karya Mbah Nun!

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

© Copyright - Bentang Pustaka