Tag Archive for: Buku Baru Cak Nun

4 Ikon Bersejarah Yogyakarta yang Disebut dalam Buku Terbaru Cak Nun

Yogyakarta selalu memiliki tempat di hati orang-orang yang pernah singgah. Penduduknya yang santai dalam menjalani hidup hingga lokasi wisata yang tersebar di segala penjuru, membuat kota ini begitu “hidup”. Bahkan, dengan begitu banyaknya pelajar dari berbagai provinsi yang merantau demi menuntut ilmu, Yogya kerap disebut sebagai miniatur Indonesia.

Akan tetapi, keistimewaan Yogyakarta tidak hanya terletak pada kemeriahan maupun keberagaman suasananya. Hal paling mendasar yang membuat kota ini begitu istimewa adalah para warga Yogya sangat memperhatikan patrap [pedoman perilaku] sebagai atlas nilai kehidupan.

Oleh karena itu, tak heran jika Cak Nun mendedikasikan kehangatan dan keistimewaan Yogyakarta dalam buku terbarunya, Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar. Dalam memaparkan nilai hidup tersebut, Cak Nun mengilustrasikannya ke dalam empat ikon bersejarah yang bisa kita kunjungi dan nikmati berikut ini.

  1. Gunung Merapi

Bagi warga sekitarnya, Gunung Merapi adalah sumber kehidupan. Saking sakralnya peran gunung ini, setiap kali erupsi, masyarakat enggan menyebut peristiwa tersebut dengan kata meletus. “Merapi sedang duwe gawe [punya hajat],” demikian pesan almarhum Mbah Maridjan, sang juru kunci.

Manunggaling kawula lan Gusti [konsep tentang bersatunya antara rakyat dan pemimpin atau hamba dan Tuhannya] juga tecermin pada posisi Gunung Merapi. Berdasarkan penuturan sejarah, Pangeran Mangkubumi menemukan garis lurus antara puncak Merapi ke tiang pancang balairung di bangunan samar di Laut Selatan. Inilah khatulistiwa kosmologi Ngayogyakarta Hadiningrat. Garis lurus itu merupakan proporsi kosmologis ditatanya Negeri Ngayogya. Pada titik-titik dalam garis itu, terdapat penyatuan dan kemenyatuan antara Tuhan, alam, dan manusia.

 

  1. Malioboro

Para wisatawan dari dalam maupun luar Yogya pasti selalu menyempatkan diri mengunjungi area ini. Malioboro memang dikenal sebagai pusat perbelanjaan dan tempat berkumpul warga. Menurut kesaksian Cak Nun, Malioboro dulu adalah kawah Candradimuka yang melatih para penyair, cerpenis, dan novelis. Bisa dikatakan, Yogya adalah mercusuar kesenian nasional. Untuk waktu yang sangat lama, berpuluh-puluh tahun, Yogya adalah laboratorium utama dunia seni rupa, bersaing dengan Bandung. Yogya adalah barometer dunia teater dan kekuatan utama potensi dan aktualisasi kesusastraan Indonesia. Dan, melalui Malioboro inilah, berbagai karya dan komunitas seni melahirkan dirinya dan bergerak.

 

  1. Angkringan

Dalam buku ini, Cak Nun mengenang salah satu angkringan legendaris yang ramai dikunjungi puluhan tahun silam, Wedangan Mbah Wongso. Tepatnya di sebelah barat perempatan Wirobrajan selatan jalan. Bagi Cak Nun, angkringan bukan hanya warung kaki lima, melainkan juga sebuah simbol penerimaan diri. Mbah Wongso—yang karakter ini juga mudah kita temui pada bakul angkringan lainnya—tidak peduli pada detail dan jumlah dagangannya. Jika ada yang mengambil tempe lima bilang dua, atau kerupuk tujuh bilang tiga, tidak pernah menjadi masalah. “Mbah Wongso bukan kapitalis. Mbah Wongso menjalani darma hidup. Beliau sangat menikmati setiap malam melayani siapa saja yang butuh sruput-sruput, anget-anget, dan nyaem-nyaem. Beliau punya kesadaran untung dan rugi, tetapi itu bukan perhitungan utama kehidupannya,” tulis Cak Nun.

 

  1. Wedang Uwuh

Wedah uwuh merupakan minuman khas Imogiri. Namun saat ini, kita bisa menemukan kemasan wedah uwuh siap seduh di berbagai pasar di Yogyakarta.

Dalam bahasa Jawa, wedang berarti minuman dan uwuh adalah sampah. Meskipun dinamakan minuman sampah, wedang ini memiliki berbagai macam khasiat menyehatkan untuk tubuh karena berisi rempah-rempah.

Menurut Cak Nun, penyebutan wedang uwuh ini justru menunjukkan simbol adanya kebesaran Tuhan. Sebuah pertanda yang sangat jelas bahwa Tuhan tidak pernah menciptakan sampah. Hal-hal yang secara kasat mata dianggap tidak berguna oleh manusia, sesungguhnya memiliki pola dauriyah. Tidak ada yang mubazir.

 

Itulah tadi empat filosofi hidup manusia yang tecermin di dalam ikon-ikon bersejarah di Yogyakarta. Untuk mengetahui lebih dalam lagi soal Yogyakarta dalam buku Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar, kalian bisa memperolehnya di sini.

Cak Nun dan Penelusuran akan Nilai Kesadaran

 

Cak Nun memang pantas menyandang gelar “penulis yang selalu mampu melecut kesadaran pembaca”. Misalnya saja fenomena bias informasi yang marak belakangan ini. Begitu banyaknya informasi yang berseliweran saat ini tak bisa dimungkiri memang kerap membuat kita bingung. Ada begitu banyak pendapat yang saling bertentangan. Ditambah lagi kemunculan pihak-pihak yang mengeklaim keyakinannyalah yang paling benar. Lalu, bagaimana cara kita memilah informasi dan menentukan apa yang paling benar? Nilai semacam apa yang harus kita jadikan pegangan?

 

Mengenal Patrap

Cak Nun secara khusus mencermati fenomena tersebut dalam buku terbarunya, Apa yang Benar Bukan Siapa yang Benar. Beliau mengajak kita untuk belajar pada filosofi hidup masyarakat Yogyakarta, yaitu patrap.

Salah satu yang semakin hilang dari manusia, masyarakat, dan bangsa kita adalah kesadaran tentang patrapGemah ripah loh jinawi hanya bisa dicapai kalau proses memperjuangkannya diletakkan dan setia pada patrap-nya. Manusia Indonesia dan Yogya modern saat ini sudah sangat melimpah pengetahuannya tentang kebenaran, kebaikan, dan keindahan, tetapi belum disertai oleh pengelolaan patrap.

Kita sudah berproses 71 tahun menjalani pem-beradab-an bangsa. Kita sudah menanam dan membangun ilmu-ilmu, demokrasi, republik, supremasi hukum, sampai ada variabel-variabel yang mbumboni [membumbui] keadaan ini secara sangat riuh rendah. Sejak sosialisme dan kapitalisme, politik kanan dan kiri, kebudayaan timur dan barat, hingga racikan-racikan yang bikin kita kepedesen: liberalisme dan ultranya, radikalisme, fundamentalisme, ekstremisme, anarkisme, agama garis lurus, mazhab garis lengkung, politik lipatan dan strategi tikungan, serta bermacam-macam lagi.

Semua itu soal patrap. Ada yang memang memilih benere dhewe [kebenaran versinya sendiri], ada yang mengeklaim atau memanipulasi benere wong akeh [kebenaran versi banyak orang], ada yang tersingkir karena mencari bener kang sejati [kebenaran yang sejati]. Ada yang memang benar-benar bener, tapi susah banget untuk pener [sesuai] tatkala diterapkan. Karena seluruh konstruksi nilai zaman ini memang sudah semakin kehilangan patrap.

(Bab Patrap dan Atlas Nilai Yogyakarta, hal. 4)

Patrap bisa diartikan sebagai perilaku yang terukur, atau dengan kata lain perilaku yang berkesadaran. Bagi Cak Nun, masyarakat modern belakangan ini kesulitan untuk “benar-benar sadar” pada setiap tindakan maupun ucapannya. Banyak yang sekadar ikut-ikutan dan manut [menurut] tanpa mencermati kembali apakah hal tersebut sesuai bagi dirinya atau tidak. Untuk itulah kita tidak boleh berhenti mencari kebenaran dengan berpatokan pada kesadaran kita sendiri. Kesadaran bahwa kita bisa menjadi manusia yang lebih baik bagi sesama.

 

Mata yang Melihat Kebenaran

Romo Iman Budhi Santoso, budayawan, dalam “Sinau Bareng Simbah” memberikan ilustrasi menarik tentang pencarian akan nilai kesadaran ini.  “Dalam buku ini, diceritakan bahwa Simbah mengajak tiga anak masa depan ini ke lereng merapi. Mereka diminta untuk melihat secara luas dan memunculkan ide-ide yang bisa dijadikan pedoman untuk menentukan patrap. Ketiga murid ini kebingungan karena dalam kerangka sudut pandangnya belum bisa memahami apa yang disampaikan oleh Simbah,” ujarnya.

Romo Iman kemudian meminta kita semua untuk membayangkan alasan Tuhan menciptakan sepasang mata pada manusia. Ketika kita ingin melihat sesuatu secara lurus, salah satu mata harus dipicingkan. Namun, ketika dua mata sama-sama terbuka, meski tidak bisa terlihat selurus tadi, kita bisa melihat dengan lebih lebar. Artinya, setiap manusia memiliki pilihan-pilihan dalam hidupnya.

Jika kita ingin melihat persoalan dengan lebih luas, bukalah cakrawala berpikir seluas-luasnya. Terbukalah pada semua pandangan dan pahami alasan di baliknya. Sebaliknya, jika kita ingin memilih tindakan apa yang tepat bagi kita, “picingkan salah satu mata”. Pilah mana jalur yang sesuai untuk kita lalui. Dan, dengan patrap itulah, kita akan terhindarkan pada jalan yang berkelok. []

Cak Nun: Tuhan Tidak Pernah Menciptakan Sampah

 

Pernahkah sedetik saja terlintas di pikiran kita, apa sebenarnya guna kecoa, tikus, atau lalat? Jika hewan-hewan tersebut sangat mengganggu kehidupan kita, untuk apa mereka diciptakan? Pertanyaan menggelitik mengenai misteri ciptaan Tuhan ini disinggung dengan sangat apik oleh Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam buku terbarunya, Apa yang Benar Bukan Siapa yang Benar.

Buku yang terbit pada Agustus 2020 ini mengisahkan perbincangan mendalam antara Simbah dan ketiga cucunya: Gendhon, Péncéng, dan Beruk. Salah satu pokok bahasan yang ramai mereka diskusikan adalah filosofi di balik minuman wedang uwuh.

Wedah uwuh merupakan minuman khas Imogiri, Yogyakarta. Dalam bahasa Jawa, wedang berarti ‘minuman’ dan uwuh adalah ‘sampah’. Kalau begitu, wedang uwuh sama saja dengan minuman sampah, dong? Lalu, untuk apa kita meminum sampah? Menurut para penjual minuman ini, disebut uwuh karena isi minumannya penuh rempah dan daun sehingga dari luar menyerupai tumpukan sampah.

Akan tetapi Cak Nun, yang selama ini kita kenal sebagai sosok yang mampu menguliti lapisan terdalam dari sebuah fenomena, memiliki pandangan khusus mengenai penamaan wedang uwuh ini. Berikut ini beberapa makna tersirat yang dibahas di dalam buku.

 

Jangan Sekadar Melihat Materi, Lihatlah Nilai di Baliknya

“Masyarakat kita selama beberapa puluh tahun terakhir ini lebih terlatih untuk melihat materi, memandang benda-benda, tanpa terlalu peduli terhadap nilai-nilai di belakang benda-benda itu.”

“Misalnya, Mbah …?” Gendhon bertanya.

“Misalnya, tuliskan bahwa wedang uwuh itu diramu dari macam-macam bahan. Katakanlah jahe, cengkih, bunga cengkih, batang cengkih, daun cengkih, kayu secang, pala, daun pala, kayu manis, daun kayu manis, akar serai, daun serai, gula batu, dan kapulaga ….”

 

Menyimpan Data Sejarah

Wedang uwuh bukan hanya segelas minuman. Ia juga sejarah. Karena rempah-rempah itulah, VOC datang dan kemudian menyandera bangsa Nusantara 3,5 abad. Rempah-rempah adalah harga diri kebudayaan bangsa, kreativitas nenek moyang, hasil ijtihad, atau proses eksperimentasi ….”

Kalimat Pèncèng dipotong dan diteruskan oleh Gendhon. “Dari wedang uwuh kita, kan, bisa becermin dan menemukan kesalahan-kesalahan bangsa kita ini sehingga kacau balau seperti sekarang, kehilangan kedaulatan, tidak percaya diri, mendewakan Barat, Arab, Tiongkok, dan semua yang dari luar. Segala sesuatu yang dari manca, kita dewakan. Segala sesuatu yang milik kita sendiri, yang diri sejati kita sendiri, kita remehkan.”

 

Kontemplasi atas Ciptaan Tuhan

Sebenarnya yang tampak paling mletik adalah Pèncèng. Beruk agak pendiam. Namun, sebenarnya sifat agak pendiam itu menandakan dia lebih mendalam. Lebih kontemplatif.

“Misalnya, bahwa Tuhan tidak pernah menciptakan sampah. Semua yang terbuang dan terpendam oleh Tuhan dijadikan bahan untuk minyak, batu mulia, akik, serta bahan-bahan tambang lainnya. Semua dibikin Tuhan dalam pola dauriyah. Daur ulang. Tidak ada yang mubazir.”

 

Kutipan-kutipan dari tulisan Cak Nun di atas sungguh menyentak kesadaran kita. Penyebutan “sampah” untuk minuman yang lezat dan berkhasiat seakan mengingatkan kita untuk terus-menerus melakukan refleksi diri. Termasuk pula tidak mudah gegabah dan marah kepada Tuhan ketika mendapat cobaan.

 

Cak Nun dan Ilmu Agama Jamaah Maiyah

Cak Nun: Berbagai Nilai Agama yang Ditegakkan Bersama Jamaah Maiyah

Cak Nun dan Jamaah Maiyah sebenarnya sama dengan masyarakat Muslim lainnya. Sama-sama saling bersinergi dengan manusia dan ciptaan-Nya pula. Namun saya perlu akui, Jamaah Maiyah memiliki sikap kedewasaan yang begitu mendalam. Saya turut senang ketika melihat berbagai perkumpulan dari berbagai wilayah berkumpul, mulai dari Kenduri Cinta, Mocopat Syafaat, Padhang Mbulan, Bangbang Wetan, Gambang Syafaat, Juguran Syafaat, dan sebagainya.

Oleh karena itu, tulisan ini hadir untuk menjabarkan beberapa ilmu agama yang diterapkan dalam kehidupan. Sangat diakui jika pemikiran Jamaah Maiyah sangat merakyat dan mampu mewakili kita semua. Mari kita simak bersama.

Cak Nun: Hidup Nerimo dan Legowo

Cak Nun dan Jamaah Maiyah menanamkan sikap dalam dirinya untuk terus nerimo atau menerima diri yang sebenarnya. Setelah proses pencarian jati diri ditemukan, ketika semua usaha telah dikerahkan, yang terakhir yaitu bersikap menerima atau penerimaan diri. Tak dapat semua hal kita tolak secara mentah-mentah. Sesuatu yang telah terjadi di dalam kehidupan kita sudah menjadi takdir Allah Swt. Bahkan, jika kita beranggapan sesuatu itu buruk, belum berarti pula Allah melihatnya sebagai keburukan. Berprasangka baiklah kepada hal-hal yang telah terjadi.

Sikap yang menjadi gabungan dari penerimaan diri yaitu legowo atau ikhlas. Semua yang telah terjadi di dalam kehidupan kita, sekalipun kita telah berusaha secara maksimal, memang baiknya kita berserah diri kepada Allah Swt. Menjunjung tinggi sikap pasrah dan ikhlas setelah berjuang. Hal-hal semacam itu perlu kita terapkan bersama karena jika kita sering melakukan sebuah penyangkalan ataupun pergolakan dengan diri sendiri, justru keberkahan pun dikhawatirkan tidak maksimal.

Baca Juga: Yogyakarta dan Cak Nun dalam Buku Terbaru

Bermuhasabah Setiap Saat

Cak Nun dan Jamaah Maiyah selalu menerapkan sikap bermuhasabah atau introspeksi diri. Dalam kehidupan bersosial, wajib hukumnya untuk berkaca dari diri sendiri. Tujuannya yaitu untuk mengevaluasi segala perilaku yang telah kita perbuat di dunia dan menjadi pribadi yang mampu menempatkan posisi sesuai dengan takarannya.

Fungsi dari introspeksi diri juga berguna membenahi segala hal dalam diri kita untuk lebih bisa berbuat kebaikan demi orang lain. Nah, jadi ilmu muhasabah yang diterapkan oleh Jamaah Maiyah pada lingkungannya itu untuk diri sendiri dan juga orang lain.

Pandai Mensyukuri Nikmat Allah Swt.

Kalau kita membicarakan perihal bersyukur, pasti bahasannya sudah Sahabat Bentang pahami sendiri. Jika saya bisa memberikan pemaknaan soal bersyukur versi Jamaah Maiyah, yaitu dengan menggabungkan dari fase sikap penerimaan diri―melakukan yang yang terbaik―hingga membenahi diri. Jikalau kita telah melaksanakan poin-poin tersebut, niscaya kenikmatan yang diberikan dari Allah Swt. akan memberikan keberkahan yang besar pula tanpa kita sadari sekalipun. Hidup akan terasa ringan jika kita menjalaninya dengan penuh syukur.

Jika kita bisa mengilhami dari sebuah syukur, kita akan bisa melihat dunia seisinya dari berbagai sudut pandang. Wawasan kita akan luas. Pandangan kita lebih visioner dan tertata. Begitu dalam jika kita benar-benar bisa memahami arti bersyukur. Sangat disayangkan pula ketika ada orang yang menyalahartikan bersyukur dengan hal-hal yang tidak diterima oleh nilai-nilai agama.

Cak Nun: Masjid dan Musala Menjadi Tempat Mencari Saudara

Memang benar jika perilaku kita ada kaitannya erat dengan siapa kita bergaul dan di mana kita berada. Cak Nun dan Jamaah Maiyah selalu membicarakan terkait dengan persaudaraan kita sebisa mungkin dijaga tak hanya di dunia saja, melainkan juga di akhirat pula. Maka dari itu, sebaik-baiknya teman atau saudara, carilah yang bisa satu frekuensi atau sepemikiran dengan kita semua.

Ajak sahabat, teman, dan saudaramu itu menunaikan kebaikan-kebaikan yang dapat dijadikan amal di akhirat pula. Masjid dan musala menjadi ladangnya. Banyak orang yang mengabaikannya, sebenarnya itu hal yang salah besar. Saat ini, banyak kita jumpai bangunan masjid dan musala yang bertingkat dan memiliki ornamen yang bagus, tetapi yang datang ke masjid dan musala tersebut bisa dihitung dengan jari. Semoga kita semua bisa semakin sadar akan hal ini.

Takut Akan Sikap Takabur, Gede Rasa, dan Gede Rumongso

Cak Nun dan Jamaah Maiyah sangat menghindari sifat takabur, merasa ingin menang sendiri dan sejenisnya. Sebisa mungkin dijaga akal, pikiran, dan jiwanya ditanamkan bahwa semuanya akan kembali kepada Sang Pencipta. Bersyukur boleh, bangga hati karena memiliki juga tak dilarang, tetapi jangan sampai di dalam lubuk hati terselip sifat riya’ atau takabur. Nauzubillah.

Kalian dapat berjumpa dengan ilmu-ilmu kehidupan yang dituturkan oleh Emha Ainun Nadjib lainnya dalam buku terbarunya berjudul Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar. Ikuti masa pre-order-nya hingga 9 Agustus 2020 melalui laman Cak Nun Mencari Kebenaran atau mizanstore.com.

Salam,

Anggit Pamungkas Adiputra

 

Gendhon, Beruk, dan Penceng serta Cak Nun di lereng Merapi

Yogyakarta dan Cak Nun dalam Buku Terbaru

Yogyakarta dan Cak Nun: Tak hanya tersusun dari akar “kenangan”, daun “nyaman”, dan buah “rindu”. Lebih daripada itu, Yogyakarta menawarkan filosofi kehidupan yang begitu mendalam saat Cak Nun menuangkan kisahnya dalam buku terbaru.

Yogyakarta dan Cak Nun, sering kali ketika kita mendengar kota tersebut―atau bahkan sudah sering mengunjunginya―akan terbayang dengan segala romantisme yang dibuat oleh masyarakat. Namun, tidak salah, kok, ketika kita menaruh pikiran bahwa Yogyakarta hulu dan hilirnya dari sebuah kerinduan. Bahkan, banyak orang pula yang mengeklaim bahwa Yogyakarta memberikan kenangan yang begitu besar, bisa kenangan baik maupun buruk saat ditinggal pasangan.

Meskipun demikian, satu hal yang perlu tetap kita lekatkan dalam benak bahwa Yogyakarta tersusun pula dari historikal budaya, sejarah, dan banyak angan para pendahulu untuk tetap mengukuhkan segala jati diri, meskipun zaman terus bergerak. Kisah Yogyakarta dalam penuturan Cak Nun dimulai dari kaki Gunung Merapi, bersama ketiga anak-cucunya, Beruk, Gendhon, dan Pèncèng.

Beruk, Gendhon, dan Pèncèng

Yogyakarta dan Cak Nun: Mengambil hari khusus, Cak Nun menyeret ketiga anak-cucunya pada tengah malam untuk naik ke leher Gunung Merapi. Pasukan khusus dan elite SAR-DIY diminta Cak Nun mengantar dan mengawal mereka berempat. Sebab, mustahil bagi Cak Nun dan ketiga anak-cucunya untuk bisa sampai ke sana tanpa bantuan mereka.

Berhenti di suatu titik, mereka berempat duduk di sekitar semak-semak. Cak Nun mempersilakan anak-cucunya duduk melingkar, bersila, berjajar, menghadap ke selatan, mengarahkan pandangan jauh ke depan.

“Dari tempat duduk kita saat ini, semua arah di jagat raya ini serba-remang. Ada banyak sosok makhluk, tetapi samar-samar. Wujudnya bercampur dengan bayangan-bayangan wujud yang terdapat di dalam rekaman urat saraf otak kita. Bayangan itu kita dapatkan dari pengalaman-pengalaman budaya, pengetahuan, dan ilmu kita selama ini,” ucap Cak Nun sebagai awalan diskusi mereka.

Cak Nun beranjak dari tempat duduknya dan berdiri sembari membenahi cara duduk ketiga anak-cucunya itu. Seraya mengatakan, “Pandang lurus ke depan. Jangan mengharapkan cahaya terang akan datang dari seluruh ruang yang kalian pandang. Cahaya hanya bisa kalian terbitkan dari lubuk kedalaman jiwa kalian sendiri.”

Lanjut Cak Nun, “Juga mana wujud nyata mana bayangan, mana kesunyatan, mana khayalan. Jangan andalkan objek-objek itu untuk menginformasikan kepadamu. Berangkatlah dari ‘ainulyaqin batinmu sendiri. Sekarang, temukan garis dari puncak Merapi di belakang ubun-ubun kalian, ke Tugu, jalur Margo Utomo, Malioboro, Margo Mulyo, Pangurakan, Keraton yang di kawal depan belakang oleh dua alun-alun, sampai Nggading. Terus lanjut lurus ke selatan, menyentuh pantai, dan teruskan sampai ke bangunan Keraton jauh di lepas pantai, yang mengambang bukan di atas air samudra, melainkan di tlatah kesadaran nilai dalam diri kalian.”

Ketiga anak-cucu Cak Nun sangat khusyuk menjalani panduan dari beliau, meskipun Cak Nun tahu, sebenarnya anak-cucunya itu tidak paham-paham amat. Ketiga anak-cucunya itu tidak pandai, ataupun waskita, tetapi yang paling Cak Nun sukai yaitu, mereka bisa sungguh-sungguh dan tekun dalam menjalani sesuatu. Kesetiaan tidak diletakkan sebagai nilai primer di konstitusi, kurikulum sekolah, serta sistem ilmu apa pun di kalangan kelas orang-orang pandai.

Baca Juga: Petuah Jawa dari Cak Nun: Rumongso Biso atau Biso Rumongso

Patrap dan Atlas Nilai Yogya

Yogyakarta dan Cak Nun: Akhirnya semua bubrah. Jadi, mereka semua sekarang duduk melingkar.

Lalu, tiba-tiba Gendhon menanyakan, mengapa malah mereka di sini membuat atlas? Cak Nun tetap menjawab meskipun sesungguhnya mereka itu sudah paham. Namun, pengetahuan tidak bisa diketahui kebenarannya kalau tidak terletak pada koordinat ruang dan waktu yang tepat. Orang Yogya menyebutnya patrap.

Kita sudah berproses 71 tahun menjalani pem-beradab-an bangsa. Kita sudah menanam dan membangun ilmu-ilmu, demokrasi, republik, supremasi hukum, sampai ada variabel-variabel yang membumbui keadaan ini secara sangat riuh rendah. Sejak sosialisme dan kapitalisme, politik kanan dan kiri, kebudayaan timur dan barat, hingga racikan-racikan yang bikin kita kelewat pedas, lantas muncul liberalisme dan ultranya, radikalisme, fundamentalisme, ekstremisme, anarkisme, agama garis lurus, mazhab garis lengkung, politik lipatan dan strategi tikungan, serta bermacam-macam lagi.

Bahkan, kita sudah memasuki era penggandaan pahala, emas, uang, bahkan penggandaan kepribadian: pendirian yang mudah berubah, beda ucapan dengan tindakan, bermalas-malasan, tidak kukuh, hipokritisi, oportunisme, kemunafikan, bajing loncat, dan beratus gejala dan fakta sejarah lainnya.

Semua itu soal patrap. Ada yang memang memilih kebenaran versi sendiri, ada yang mengeklaim atau memanipulasi kebenaran orang banyak, ada yang tersingkir karena mencari kebenaran sejati, tetapi susah banget untuk sesuai tatkala diterapkan. Sebab, seluruh konstruksi nilai zaman ini memang sudah semakin kehilangan patrap.

Perihal atlas itu sebenarnya awal dari hilirnya. Atlas, kan, tidak hanya geografis teritorial. Manusia juga sangat memerlukan atlas nilai. Peta nilai yang dipijaknya, yang mengepungnya, kemudian bagian yang dipilihnya. Yogya perlu mengatlaskan kembali tatanan nilai diri ke-Yogya-annya karena Yogya paling berkewajiban dan menyiapkan diri untuk nanti menyelamatkan Indonesia yang sedang semakin kehilangan patrap.

Lembah Masa Depan

Yogyakarta dan Cak Nun: Kata “Yogya” sangat sensitif bagi ketiga anak-cucu Cak Nun. Menggetarkan hati dan menaikkan adrenalin. Kalau mereka berempat berdiskusi dan berkhayal tentang masa depan Yogya, bisa semalaman atau sesiangan atau sekurang-kurangnya berjam-jam. Tidak terbatas pada eksplorasi tafsir tentang keistimewaan Yogya―tentang beda antara Yogya Kota Budaya dan Yogya Ibu Kota Kebudayaan Indonesia.

Beribu dimensi tematik Yogya yang skala besar maupun kecil. Yang substansial maupun yang ilustrasional. Yang prinsipil maupun yang romatis. Yang kultural maupun spiritual. Yang samar-samar maupun yang bersahaja. Yang bumi maupun langit. Sudah Cak Nun bayangkan wilayah-wilayah tugas yang perlu dieksplorasi oleh ketiga anak-cucunya.

Itulah secuplik kisah Yogyakarta dalam tuturan Emha Ainun Najib di buku terbarunya, Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar. Ikuti masa pra-pesan dari 24 Juli―9 Agustus 2020 di reseller kesayangan kalian atau melalui laman etalase Cak Nun Mencari Kebenaran. Dapatkan harga spesial, totebag, dan tanda tangan digital dari Cak Nun!

Salam,

Anggit Pamungkas Adiputra

 

 

Buku Baru Cak Nun

Buku Baru Cak Nun: Hubungan Cak Nun dengan para Anak-Cucu

Cak Nun membuat buku baru lagi. Setelah sukses menghasilkan karya tulis yang mampu mendobrak ilmu kehidupan kita, seperti Siapa Sebenarnya Markesot?, Kiai Hologram, Sinau Bareng Markesot, Lockdown 309 Tahun, Cak Nun kembali menetaskan karya selanjutnya yang berjudul Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar.

Melibatkan fenomena yang terjadi di masa kini dan masa lampau, mulai dari agama, politik, budaya, sejarah, hingga kehidupan setelahnya, yang seolah-olah mengajak kita berkaca kembali, apakah Indonesia saat ini sudah tercipta sesuai dengan harapan para pendahulunya?

Berbeda dari esai-esai sebelumnya, buku tersebut menampilkan satu style  penulisan yang menggambarkan hubungan “baru” antara Cak Nun dan orang-orang atau generasi yang belakangan menempatkan Cak Nun sebagai Simbah mereka dan karena itu pula mereka memosisikan diri sebagai anak-cucu.

Buku Baru Cak Nun

Bercerita tengan hubungan Cak Nun dengan anak cucunya, si Beruk, Gendhon, dan Pèncèng.

Buku Baru Cak Nun: Apa Yang Benar, Bukan Siapa Yang Benar

Beruk, Gendhon, dan Pèncèng adalah tiga nama anak cucu Simbah (yang tak lain adalah Cak Nun sendiri) yang hadir dalam buku ini. Dalam kenyataannya, tiga nama itu memanglah orang-orang yang berada dalam sebuah organisasi kemanusiaan, yang meminta Cak Nun menjadi orang tua mereka. Cak Nun menjadi tempat untuk dimintai pendapat, saran, dan nasihat tentang pelbagai yang akan mereka lakukan atau putuskan. Malahan, dalam beberapa hal atau keperluan, mereka tidak melakukan sesuatu sebelum mendapatkan izin dari Simbah mereka ini.

Hubungan yang terbangun antara anak-cucu dan Simbah ini tidak benar-benar baru. Beberapa puluh tahun sebelumnya, Cak Nun sering melakukan fungsi sosialnya dengan cara merespons pelbagai masalah yang dicurhatkan kepadanya. Pada perkembangan lebih jauh, forum-forum Sinau Bareng bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng sendiri menjadi wadah bagi anak-cucu di berbagai tempat itu bertanya, minta nasihat, dan masukan dari hal sehari-hari hingga hal-hal yang bersifat sosial, filosofis, dan teologis.

Dalam kehidupan ini, kita tahu terdapat banyak jenis relasi. Ada relasi pemerintah-rakyat, negara-warga negara, perusahaan-karyawan, parpol-konstituen, organisasi sosial-anggota, dan bentuk-bentuk relasi lainnya. Hubungan Cak Nun dan anak-cucu Maiyah di berbagai tempat adalah satu bentuk relasi yang mungkin berbeda dengan semua relasi yang ada dalam beberapa segi. Namun, satu hal sederhana yang dapat kita asakan adalah hubungan Cak Nun dan anak-cucu ini bersifat imajinatif, bukan imajiner (dalam pengertian: tidak riil/sekadar dibayangkan).

Hubungan Cak Nun dan Cucunya

Hubungan itu tidak imajiner karena di dalamnya terdapat makna. Keberadaan Simbah atau Cak Nun memiliki “makna” bagi anak-cucu secara intelektual, sosial, termasuk spiritual. Keberadaan Cak Nun bagi mereka bersifat “transformatif”. Banyak di antara mereka yang mendapatkan “pengalaman psikologi agama”. Jangan bayangkan pengalaman psikologi agama yang dimaksud itu gimana-gimana atau serem bentuknya. Pengalaman psikologi agama yang dimaksud cukup sederhana: mereka ingin menjadi orang yang lebih baik dibanding sebelumnya. Namun, tidaklah dorongan atau transformasi seperti itu substantif dalam hidup kita? Setidaknya hidup mereka yang mengalaminya.

Alih-alih bersifat imajiner, relasi ini bersifat imajinatif karena―sekurang-kurangnya diwakili oleh buku ini―ada daya cipta yang tumbuh di dalam relasi tersebut. Daya cipta kreatif. Sebagai contoh, ketika harian Kedaulatan Rakyat meminta Cak Nun mengisi kolom koran ini secara rutin, tiba-tiba muncul nama-nama anak itu. Beruk, Gendhon, dan Pèncèng. Sebuah dunia lalu dibangun Cak Nun di situ. Obrolan berbagai hal muncul dalam suasana Simbah yang memandu dan mengasuh anak-cucunya: menarik, menyodorkan, dan membuka peluang-peluang mereka ikut berpikir mengenai hal-hal yang di luar rutinitas mereka.

Sinau Bareng Cak Nun

Selain itu, daya imajinatif yang sama telah mendorong Cak Nun membuat buku baru agar para anak-cucu menulis di situs web caknun.com pada kolom Menek Blimbing. Kolom ini dikhususkan bagi anak-cucu itu menceritakan pengalaman mendapatkan sesuatu dari Cak Nun sebagai Simbah. Dan, beberapa sesepuh di komunitas Maiyah. Ada yang lain lagi, misalnya, setiap kali Sinau Bareng digelar, secara kreatif Cak Nun selalu menyiapkan daftar pertanyaan untuk para anak-cucu yang hadir. Pertanyaan-pertanyaan ini lazimnya menyangkut tema yang diusung penyelenggara Sinau Bareng dan secara metode, sesi mereka menjawab pertanyaan ini menjadi salah satu cara pembelajaran atau sinau dalam “pengajian” itu. Hal yang dapat dikatakan baru jika dilihat dari tradisi-tradisi pengajian yang selama ini telah ada.

Anak-anak cucu ini kemudian dibagi ke dalam beberapa kelompok dan diberi waktu untuk mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan Cak Nun. Setelah selesai, mereka bertugas mempresentasikan hasil diskusi di depan jamaah dan para narasumber. Setelah itu, para narasumber diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan. Sering kali juga para narasumber ini mengapresiasi dengan menyiapkan hadiah. Tampaknya, metode dan suasana asyik yang tercipta dalam sesi workshop anak-cucu itu tidak lahir jika tidak terbangun relasi Simbah-anak-cucu.

Baca Juga: Proses Kreatif Cak Nun dalam Buku Lockdown 309 Tahun

Aspek Kreatif Lainnya

Berbagai bentuk aspek kreatif lain pada sisi anak-cucu barangkali akan lebih banyak kita jumpai. Kalau kita mampu menyelam lebih dalam: apa saja wujud-wujud kreatif imajinatif yang telah terbentuk pada diri mereka. Cak Nun, sebagai Simbah, telah menunjukkan buah-buah imajinatif itu dalam beberapa contoh yang sudah disebutkan di atas. Tentu saja, telah berwujud dalam esai-esai yang sekarang berada di tangan kita semua.

Begitulah tuturan pengantar dari Helmi Mustofa terkait buku baru dari Emha Ainun Najib ini. Begitu produktif seorang Cak Nun menuangkan buah pikirannya dalam bentuk karya tulis tidak sampai mencapai berbulan-bulan lamanya.

Sahabat Bentang bisa mengintip lebih jauh isi dari buku Apa yang Benar, Bukan Siapa yang Benar dengan mengikuti pra-pesan yang akan segera diluncurkan. Pantau terus kelanjutannya melalui laman mizanstore.com, timeline Instagram dan Twitter @bentangpustaka & @pustakacaknun.

Salam,

Anggit Pamungkas Adiputra

© Copyright - Bentang Pustaka