Narasi Panjang: Seni Seno Gumira

Narasi merupakan senjata utama sebuah cerita. Dengannya, penulis biasanya menggambarkan peristiwa-peristiwa di dalam cerita. Proses penceritaan melalui narasi terasa seperti dongeng menjelang tidur saat kita kecil dulu. Itulah mengapa banyak penulis yang lebih memilihnya daripada deskripsi. Selain terdengar lebih seperti dongeng, iamemiliki kekuatan pada representasi pembaca. Mereka seakan-akan mengalami peristiwa yang ada di dalam cerita. Salah satu penulis yang memiliki gaya narasi khas adalah Seno Gumira Ajidarma. Seno dikenal sebagai penulis naratif yang sering memanfaatkan kalimat panjang untuk cerita-ceritanya. Dalam Kitab Omong Kosong, novel interpretasinya akan kisah Ramayana, ia banyak memanfaatkan narasi panjang sebagai cara penceritaan.

(baca https://bentangpustaka.com/fakta-kitab-omong-kosong/)

Narasi Panjang yang Tidak Membosankan

Narasi panjang terkadang sangat lelah untuk diikuti. Sebagai pembaca, kita akan sangat terpacu untuk terus membaca sebelum titik. Itulah mengapa hak itu terkadang terasa amat membosankan. Berbeda dengan yang ditulis Seno Gumira. Dengan kalimat yang panjang, ia dapat memicu pembaca untuk terus membaca tanpa merasa kelelahan dan bosan. Uniknya, hal ini menjadi salah satu yang disukai darinya. Banyak novel dan cerita pendeknya yang menggunakan kalimat panjang dan malah terasa semakin memantik penasaran. Dalam Kitab Omong Kosong, kalimat berikut akan membantu kita memahami apa yang disebut narasi panjang yang tidak membosankan.

Setiap kali Hanūmān atau sesuatu yang seperti Hanūmān tiba dan melepaskan kainnya Trijata mengerti betapa sebetulnya ia pun tidak terlalu peduli apakah wanara jantan itu suaminya atau bukan suaminya selain betapa ia telah memberikan sesuatu yang dikehendakinya.

Kalimat di atas hanya salah satu contoh kalimat panjang ala Seno Gumira Ajidarma. Kalimat yang demikian itu akan membuat kita terpacu untuk menyelesaikan cerita dengan seringkas-ringkasnya tanpa merasa kelelahan, apalagi bosan. Strategi narasi yang unik dan menarik ini dapat ditemukan dalam cerita-cerita tentang Maneka dan Satya, sepasang pengelana yang mencari makna kehidupan. Selengkapnya dapat kamu baca di Kitab Omong Kosong.

Dapatkan saduran kisah Ramayana ala Seno Gumira Ajidarma di sini

 

Sejarah Awal Gerakan Feminisme di Indonesia

Desain by pang.png

Gerakan Feminisme di Indonesia berawal dari gerakan perempuan-perempuan Indonesia yang melawan kolonialisme Belanda, munculnya kesadaran nasional, dan pembentukan negara. Sosok pahlawan perempuan seperti R.A. Kartini (1879-1905), Dewi Sartika (1884-1947) dan Rahmah El-Joenesijjah (1900—1969), yang menangkap semangat nasionalisme, dan meletakkan perjumpaan antara feminisme dan Islam sebagai sumber kemajuan dalam konteks kolonialisme lokal.

Emansipasi Batu Loncatan Menuju Kesetaraan Gender

Sementara ide-ide tentang kemajuan dalam Islam dan feminisme di Indonesia tumbuh secara lokal dan menunjukkan perkembangannya pada nasionalisme, mereka secara kompleks berkaitan dengan jaringan umat Islam dan feminisme global.

Sosok R.A Kartini, Dewi Sartika, dan Rahmah El-Joenesijjah merupakan salah satu tokoh perempuan yang mengadvokasi kebutuhan akan perubahan status sosial perempuan melalui pendidikan. Mereka menciptakan preseden bagaimana gerakan perempuan di Indonesia melawan kolonialisme – serta spirit nasionalisme dan reformisme Islam.

R. A. Kartini mencatat bahwa androsentrisme laki-laki tumbuh melalui pengasuhan ibu mereka. Laki-laki kemudian mengontrol anggota perempuan di keluarganya sendiri. Setelah menikah, laki-laki terus memegang otoritas dan kontrol. Akibatnya, para perempuan menderita setiap hari.

Dari sini R. A. Kartini berpendapat bahwa perempuan memiliki kebebasan berkehendak tetapi dikuasai oleh adat. Pada saat itu pendidikan perempuan diklaim berisiko merusak tatanan moral masyarakat. Selain itu, kaum tua khawatir bahwa pendidikan perempuan dapat mengganggu peran perempuan itu sendiri ketika menjadi istri.

Sedangkan Dewi Sartika berpendapat orang tua hanya menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Oleh karena itu, Dewi Sartika berusaha meyakinkan orang tua untuk menyekolahkan anaknya agar terdidik. Perempuan yang terdidik akan menjadi ibu dan menjadi kunci penyebaran pengetahuan bagi anak-anaknya kelak.

Ia juga menyuarakan kesetaraan laki-laki dan perempuan dari berbagai aspek karena menurutnya kemajuan perempuan sebagai syarat kemajuan negara.

                              Baca Juga ulasan singkat Buku Feminisme Islam, disini!

Sementara Rahmah El-Joenesijjah mewakili sosok reformis baru dari golongan perempuan Muslim. Ia tumbuh dari golongan reformisme Islam di Minangkabau, Sumatra Barat. Ia mewujudkan mimpinya dengan mendirikan sekolah Dinijjiah Sekolah Poetri yang didukung oleh saudara laki-lakinya.

Dinijjiah Sekolah Poetri bertujuan mendidik anak-anak bangsa dengan pendidikan lengkap; fisik dan moral. Sekolah tersebut memberi pendidikan Agama Islam karena masih banyak perempuan yang belum mengetahui ajaran Islam.

Konteks Perjuangan Emansipasi

Dari sini kita tahu bahwa para tokoh perempuan Indonesia telah meletakkan dasar bagi perubahan kondisi sosial dan politik di lingkungan mereka, yaitu melalui gerakan-gerakan feminisme yang berjalan beriringan dengan gerakan nasionalis di Indonesia.

Nah, kalian dapat membaca lebih lanjut penelitian tentang feminisme Islam di Indonesia karya Etin Anwar yang dikemas dengan sangat apik dan dengan bahasa yang mudah dipahami. Dapatkan bukunya disini!

Kisah Romansa Rama dan Sinta

Romansa Rama-Sinta. Ada Apa di Baliknya?

Romansa Rama dan Sinta merupakan kisah utama dalam Ramayana. Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma menceritakan kembali kisah Ramayana. Novel ini tidak sekadar meceritakan apa adanya kisah Ramayana, tetapi juga menghadirkan tokoh lain di dalam cerita. Tokoh lain tersebut adalah Maneka dan Satya. Keduanya menjadi tokoh sentral dalam Kitab Omong Kosong. Kisah ini agak berjarak dari kisah romansa Rama dan Sinta sebab buku ini adalah tentang mereka berdua: Maneka dan Satya.

Bukan Sekadar Tokoh Biasa

Maneka dan Satya bukanlah tokoh biasa. Mereka berdua merupakan tokoh yang lahir dari keterasingan, keterpojokan, keterpurukan, dan kesedihan-kesedihan lainnya. Maneka merupakan seorang pelacur dengan luka batin luar biasa. Sedangkan Satya, seorang pertapa dan penyair yang kesepian. Latar belakang mereka menjadikan kisah mereka penuh dinamika dan romansa dalam menjalani kehidupan. Merekalah manusia sejati, manusia yang penuh teka-teki dan ketidakpastian.

baca juga https://bentangpustaka.com/kitab-omong-kosong-bukan-sekadar-omong-kosong/

Romansa di Balik Romansa

Romansa yang terjadi antara Rama dan Sinta telah banyak kita dengar. Kisah ini menjadi terlalu sering diceritakan, juga terlalu sering kita dengar. Namun, romansa orang pinggiran seperti Maneka dan Satya tentu akan sangat menarik untuk disimak, bukan? Sebuah kisah perjalanan spiritual sepasang pengembara yang berusaha mengikuti garis takdir yang amat getir. Kemudian, novel ini menghadirkannya melalui penceritaan berbabak-babak tentang perjalanan panjang Maneka dan Satya menempuh kehidupan.

Bagaimana? Penasaran, bukan? Tentu, kisah tentang Maneka dan Satya ini amat layak disimak. Sebuah kisah spiritual yang akan membuat pembaca berpikir dan merasakan berulang kali. Lalu, bagaimanakah kisahnya?

Kitab Omong Kosong, masih bisa kamu dapatkan di linktr.ee/Bentang atau di toko-toko buku kesayanganmu.

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta