Mendisiplinkan Anak

Yes or No, Mendisiplinkan Anak dengan Hukuman?

Cerita Ibu Mona ….

Sejak punya dua toddler di rumah, Mona mulai jadi waswas tentang hari esok. Dia mulai merasa kesulitan untuk mendisiplinkan anak yang makin lama makin susah diprediksi kemauannya. Alhasil, Mona pun mulai menerapkan sistem hukuman dan ancaman demi bisa membentuk perilaku anak yang lebih baik.

Namun, apa iya, sistem hukuman dan ancaman benar ampuh untuk mendisiplinkan anak?

Menurut psikolog parenting Sarah Ockwell-Smith, ancaman dan hukuman itu bukan jawaban yang tepat untuk mendisiplinkan anak. Ketika kita sibuk memberikan hukuman dan ancaman, apa yang kita lakukan itu sebenarnya hanya untuk mengendalikan perilaku anak pada saat itu saja, lo. Hal tersebut tidak memberikan efek jangka panjang.

Kenapa? Ya, karena kita menggunakan jalan pintas.
Menggunakan hukuman, tandanya kita membuat perasaan anak-anak terputus dari kita akibat bentakan atau sebuah pukulan yang mungkin saja kita layangkan. Cara ini nyatanya cuma meningkatkan potensi timbulnya perilaku yang tidak diinginkan dan membuat anak merasa lebih buruk, lo.

Adapun dengan memberikan ancaman seperti, “Kalau nangis terus nanti Mama nggak belikan es krim, ya,” ternyata juga sama aja, nih. Penggunaan es krim mungkin bisa mengendalikan anak untuk sementara waktu, tetapi tidak bisa meningkatkan motivasi intrinsik bagi anak untuk berperilaku seperti yang kita harapkan, ya.

Jadi, bisa diambil kesimpulan, nih, kalau sistem hukuman dan ancaman sudah nggak ampuh lagi, ya, untuk mendisiplinkan anak. Terus, apa dong yang ampuh?

Sebagai orang tua dari empat anak, Sarah Ockwell-Smith paham betul, nih, betapa beratnya harus bekerja bersama anak-anak, terutama ketika mereka sedang menguji kesabaran. Oleh karena itu, dirinya merumuskan sebuah jurus jitu yang dikenal sebagai Gentle Discipline!

Gentle Discipline ini adalah metode modern yang berfokus mendisiplinkan anak dengan memadukan praktik belajar-mengajar ketimbang menghukum. Nah, kita sebagai orang tua, diajak untuk membiasakan adanya keseimbangan kuasa, ya. Caranya dengan bersikap positif dan memahami penyebab perilaku buruk anak sebagai titik awal untuk mengetahui cara memperbaikinya.

Ada lima langkah yang dia jelaskan untuk menuju disiplin yang lembut, tetapi juga efektif. Apa saja kelima langkah tersebut?

Yuk, cari tahu dalam buku Gentle Discipline karya Sarah Ockwell-Smith.

Sudah tersedia di seluruh toko buku Indonesia!

 

Implementasi Teori Multiple Intelligences (Kecerdasan Majemuk) pada Montessori

Teori multiple intelligences atau kecerdasan majemuk kali pertama diperkenalkan oleh Dr. Howard Gardner, seorang psikolog sekaligus profesor pendidikan dari Harvard University pada 1983. Ia adalah seorang tokoh populer yang menentang gagasan bahwa IQ merupakan ukuran inteligensi yang terbaik. Menurutnya, indikator kecerdasan tidak hanya seputar persoalan matematika dan bahasa seperti yang ada pada tes IQ pada umumnya.

Menurut penelitian yang ia lakukan yang dikutip dalam buku You Are Smarter Than You Think, oleh Thomas Armstrong, Ph.D., setiap anak memiliki setidaknya delapan jenis kecerdasan. Kemajemukan kecerdasan yang dimiliki manusia itulah yang kemudian memunculkan istilah kecerdasan majemuk. Delapan jenis tersebut adalah Kecerdasan Bahasa, Kecerdasan Logika-Matematika, Kecerdasan Visual-Spasial, Kecerdasan Kinestetik, Kecerdasan Intrapersonal, Kecerdasan Interpersonal, Kecerdasan Naturalis, dan Kecerdasan Musikal.

Filosofi dalam Montessori ternyata juga memiliki nilai-nilai yang dipahami sama dengan teori kecerdasan majemuk. Itulah mengapa output sistem pendidikan Montessori dianggap berbeda dari yang lain. Kebanyakan sistem pendidikan, khususnya di Indonesia, menitikberatkan pada kecerdasan intelektual saja. Lain halnya dengan Montessori yang dapat membentuk karakter anak dan mengasah keterampilan praktis yang bermanfaat untuk kehidupannya, seperti kedisiplinan, keteraturan, toleransi, hingga menumbuhkan kecintaan pada proses belajar itu sendiri.

Salah satu prinsip dalam Montessori yang selaras dengan teori kecerdasan majemuk adalah bahwa Montessori memandang setiap anak itu unik. Sebelum orang tua menerapkan pendidikan Montessori untuk anak, orang tua harus terlebih dahulu mengubah konsep berpikirnya. Teori kecerdasan majemuk meyakini bahwa potensi dan kadar optimal kecerdasan seseorang dengan yang lain dapat berbeda-beda, terlebih ada delapan jenis kecerdasan pada manusia. Hal ini selaras dengan prinsip Montessori yang meyakini bahwa setiap anak adalah unik dan memiliki kebutuhan dalam mengembangkan potensinya dengan cara yang berbeda-beda.

Yang kedua adalah bahwa Montessori merupakan pendidikan yang melibatkan semua indra, gerakan tubuh melalui penggunaan self-corrected didactic materials. Sebagaimana diyakini bahwa usia 0-6 tahun merupakan periode sensitif anak, maka ia memerlukan berbagai stimulus sehingga Montessori menggunakan seluruh indra dan gerakan tubuh untuk mengikuti kebutuhan anak tersebut. Berbagai rangsangan yang diterima anak secara tidak langsung akan mengasah potensi kecerdasan majemuk yang ia miliki dan menyeimbangkan kemampuan pada seluruh aspek yang ada.

Ada banyak hal lain yang dapat dibahas mengenai prinsip-prinsip dan metode Montessori yang mendukung pengembangan kecerdasan majemuk anak. Topik ini akan dikupas secara mendalam dalam buku yang akan terbit dari Bentang Pustaka berjudul Montessori for Multiple Intelligences yang ditulis oleh Ivy Maya Savitri. Nantikan informasi selengkapnya di Instagram @bentangkids!

Upaya Mencari Solusi Tingginya Biaya Prasekolah

Sebelum Montessori terkenal di dunia Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Indonesia, hanya sedikit orang yang menekuni spesialisasi tersebut. Berkembangnya implementasi Montessori pada lembaga-lembaga PAUD di Indonesia tidak lepas dari kontribusi mereka yang lebih dahulu mempelajari Montessori dan memiliki semangat untuk menyebarkannya. Hingga akhirnya, kini Montessori sudah lebih dikenal masyarakat luas dan diyakini sebagai salah satu metode terbaik di bidang PAUD.

Ivy Maya Savitri adalah salah satu praktisi Montessori yang juga selama bertahun-tahun berupaya untuk memperkenalkan Montessori kepada para pendidik prasekolah untuk anak usia dini. Ia merasa prihatin terhadap tingginya biaya prasekolah berkualitas di Indonesia yang umumnya hanya dapat dinikmati segelintir kelompok masyarakat tertentu saja.

Ivy, begitu panggilan akrabnya, memiliki pengalaman di dunia PAUD sejak 2000 dan perkenalan awalnya dengan metode Montessori terjadi pada akhir 2001. Ivy kemudian kerap menjadi pembicara di berbagai seminar parenting dan Montessori. Ia juga menjadi konsultan dan trainer di beberapa prasekolah dalam penerapan & pelaksanaan metode Montessori (pelatihan pengembangan potensi guru, penerapan metode Montessori untuk keseluruhan sistem, maupun penggabungan dengan sistem lain), serta telah melatih banyak sekali guru dan orang tua dalam event-event pelatihan di berbagai kota di seluruh Indonesia.

Pada 2010, Ivy mendirikan Rumah Montessori untuk berbagi pengetahuan dan pengalamannya kepada sesama pendidik sekaligus sebagai upaya untuk mengatasi mahalnya biaya prasekolah berkualitas di Indonesia, khususnya yang mengaplikasikan metode Montessori. Rumah Montessori menyediakan berbagai program pelatihan yang dapat diikuti oleh siapa saja yang memiliki minat pada dunia pendidikan anak usia dini, khususnya sistem pendidikan Montessori.

Ivy mengantongi berbagai sertifikat atas keahliannya dalam bidang ini. Di antaranya Certificate of Completion of the 90-hour introductory teaching program (Culture, Math, Geometry, and Language) Montessori for Elementary 6–9 dan Certificate of Completion a 24-hour in BRAIN GYM 101, Educational Kinesiology Foundation, Fundi Montessori 2014. Ia juga tersertifikasi sebagai tenaga pendidik pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan khusus (ABK), CAE College of Allied Educators Jakarta 2015.

Bersama Bentang Pustaka, Ivy akan membagikan pengetahuannya mengenai sisi lain Montessori yang sering kali diabaikan, tetapi sejatinya merupakan kunci keberhasilan dari metode ini.

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta