Pujian dan Motivasi dalam Mendisiplinkan Anak

Benarkah pujian bisa mendisiplinkan anak?

Cerita Sarah Ockwell-Smith (penulis buku Gentle Discipline) bersama ahli pendidikan John Holt tentang pujian dan motivasi.

Ide bahwa anak-anak tidak akan belajar tanpa hadiah dan penalti dari luar, atau yang dalam jargon para behaviourism disebut sebagai “penguatan positif dan negatif” biasanya menjadi ramalan yang terwujud dengan sendirinya. Jika kita memperlakukan anak-anak dengan cara tertentu untuk waktu yang cukup lama seolah-olah itu benar, mereka akan menjadi percaya bahwa hal tersebut memang benar. Banyak orang yang berkata kepada saya, “Jika kita tidak menyuruh anak-anak melakukan sesuatu, mereka tidak akan melakukan apa pun.” Bahkan, yang lebih parah, mereka mengatakan, “Jika saya tidak disuruh melakukan sesuatu, saya tidak akan melakukan apa pun.” Ini adalah keyakinan seorang budak.

Inti dari diskusi di atas menunjukkan bahwa tidak selamanya hal positif selalu membawa hasil yang positif. Sebagai contoh dalam dunia parenting. Misalnya, kita terlalu banyak menerapkan sistem pujian dan motivasi. Ternyata, kita secara tidak langsung menanamkan pemahaman pada anak untuk fokus pada hal positif semata. Hal ini  bisa jadi berujung pada tidak realistis.

Hmmm, jadi gimana, nih, baiknya menggunakan pujian dan motivasi dengan tepat? Nah, kalau belajar dari buku Gentle Discipline karya Sarah Ockwell-Smith, ada yang namanya konsekuensi positif ketika kita masih tetap bisa memberikan pujian dan motivasi sebagai alat bantu pendisiplinan anak.

Kuncinya adalah konsekuensi positif terjadi ketika anak berperilaku baik dan dihadiahi dengan hasil alami yang tidak kita rencanakan sebelumnya, ya. Contohnya, setelah selesai makan, anak membantu membereskan meja tanpa diminta. Lalu kita bisa memberikan konsekuensi positif dengan mengajak mereka bermain ke taman dan sebagainya. Asalkan konsekuensi positif ini tidak diucapkan dan direncanakan.

Sebab, kalau konsekuensi positif ini kita rencanakan, dia akan berubah menjadi hadiah. Dan, metode pemberian hadiah itu sangat penuh dengan masalah bila terus-terusan kita terapkan.

Sama halnya dengan konsep motivasi yang sering kali salah praktik ketika masuk dalam ranah sekolah. Misalnya, pemberian hadiah-hadiah seperti sertifikat, piala, atau stiker “Kamu bekerja baik” kepada anak berprestasi. Mungkin tidak kelihatan seperti hukuman ya, tetapi dia akan menjadi hukuman untuk anak yang tidak bisa mendapatkannnya, lo.

Kenapa? Karena motivasi seperti ini berdasarkan riset bisa menimbulkan efek negatif pada perilaku anak di masa depan. Mereka yang menerima hadiah tidak akan melakukan kebaikan yang sama untuk kali keduanya bila tidak ada hadiah yang mereka terima. Adapun anak yang tidak bisa mendapatkan hadiah akan mengalami situasi rendah diri. Ia akan merasa buruk karena tidak punya keterampilan untuk mendapatkan hadiah.

Itulah kenapa sekolah di Negara Finlandia tidak menggunakan sistem ranking. Hasilnya? Anak-anak tumbuh dengan memiliki motivasi positif eksternal yang kuat dan menghasilkan perilaku yang baik. Itulah kenapa Finlandia akhirnya juga dinominasikan sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia.

 

Sumber gambar: amazonaws.com

2 replies

Trackbacks & Pingbacks

  1. […] menanamkan nilai moral di tahap preconventional ini ada banyak cara. Obedience dan punishment disebut sebagai salah satu yang efektif. Cara ini menekankan pada kepatuhan anak […]

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta