JAVAS DAN RAHASIANYA: EXTRA PART

Suatu hari, Javas mendatangi Antonio di penjara. Masih ada satu pesan yang dititipkan papanya sebelum meninggal. Pesan yang harus Javas sampaikan kepada Antonio.

          Lewat kaca di ruang visit rumah tahanan, Javas melihat Antonio. Orang yang dulu ia lihat selalu rapi dan berdiri dengan percaya diri, kini tampak menyedihkan. Sepertinya, Antonio benar-benar menyesali perbuatannya.

          “Aku sudah memaafkanmu, Paman. Tapi, ada yang ingin aku tunjukkan padamu,” ujarnya. Kemudian, Javas mengeluarkan ponsel dari sakunya.

          Javas memutar video rekaman peninggalan Papa yang sudah disalin ke ponselnya tersebut. Ada Papa yang sedang duduk sambil berbicara di video itu dengan wajah pucat.

“Aku sudah lama sakit. Jika suatu saat Antonio menusukku dari belakang, sebenarnya aku sudah tahu itu. Mungkin aku sengaja membuat dia benci padaku. Agar saat aku tidak ada, dia bisa menjalani hidupnya tanpa harus merasa bersalah karena aku harus meninggalkan dia dengan cepat.

          “Kau pasti sudah jadi orang sukses, kan, Antonio? Akhirnya, kau menggapai impianmu. Maaf karena aku tidak bisa berada di sisimu saat kau bahagia.

          “Saat kedua orang tuaku tidak ada, dan banyak pertempuran di dalam keluargaku yang hina itu, sudah lama sekali rasanya aku tidak punya tujuan hidup. Memang seharusnya aku sudah tiada sejak lama. Namun, semenjak ada kalian, perasaan itu mulai terkikis. Dan ternyata, saat itu pula aku tahu, batas umurku tidaklah panjang lagi. Begitulah manusia. Justru sekarang aku takut harus kehilangan diriku. Manusia benar-benar makhluk yang menyedihkan, ya, Kawan?

          “Jadi, jika suatu hari aku mati mendadak, itu bukan karena salah siapa pun. Itu karena akulah yang merahasiakannya dari kalian. Aku terkena karma. Aku dulu selalu memimpikan setiap hari untuk tiada. Tapi, setelah ada kalian, aku jadi semakin takut untuk tiada.

          “Ternyata, memang seperti ini akibatnya karena aku tidak pernah bersyukur atas hidupku sendiri. Maaf karena sudah menjadi orang yang pengecut. Kalian pasti membenciku, benar bukan?”

          Dada Antonio sesak setelah menyaksikan video tersebut. Dulu dia pernah bangga berhasil mengambil alih kekayaan keluarga Javas, tetapi sekarang justru dia menyesal.

          “Sejak dulu, aku tidak punya keluarga, aku pernah berpikir bahwa aku tak akan pernah merasakan apa itu sebuah keluarga,” ujar Antonio dengan suara gemetar.

          “Saat itulah papamu datang ke dalam hidupku. Orang yang baik pasti akan dikelilingi dengan orang yang baik juga. Namun, aku tidak sebaik itu,” ujarnya lagi. Javas hanya mendengarkan dalam diam.

          “Aku iri pada papamu. Kenapa ada orang seberuntung dia, sementara aku selalu sial. Tapi, aku lupa kalau aku pun beruntung bertemu dengannya. Aku salah karena melampiaskan amarahku kepada kalian. Aku berpikir, karena kalian orang baik, kalian pasti akan memaafkanku. Dahulu karena kalian yang mengajakku ke dalam lingkungan baik kalian. Aku menganggap kalian pasti akan menjadi bagian dari milikku. Tapi, ternyata karena hal itulah yang membuatku mengkhianati kalian,” lanjutnya lirih. “Maafkan aku. Terima kasih karena sudah memaafkan orang buruk sepertiku.”

          Javas menghela napas. “Jangan pernah berpikir untuk bunuh diri, Paman. Karena aku sudah pernah melakukannya. Aku tidak akan pernah memaafkan Paman kalau Paman melakukannya. Jadi, hukuman untukmu, jangan pernah membuatku dan keluargaku untuk memaafkanmu lagi, Paman,” ujar Javas membuat dada Antonio bertambah sesak.

***

Hari itu, Javas, Janna, Aidan, Erika, keluarga Janna, dan keluarga Javas menikmati piknik di bawah pohon sakura yang sedang berguguran di musim semi. Suasana penuh warna dengan kelopak bunga yang jatuh seperti hujan lembut di sekeliling mereka. Mereka duduk di atas selimut besar, dikelilingi oleh makanan lezat dan tawa yang hangat.

          Sambil menikmati makanan dan bercengkerama dengan orang-orang di sekelilingnya, Javas merasa hatinya terasa lebih ringan dari sebelumnya. Ia memandang ke sekeliling, melihat betapa bahagianya semua orang—Janna yang tersenyum cerah, keluarga Janna yang ramah, serta keluarganya yang tampak menikmati suasana.

           Javas merenung sejenak, dan dalam hatinya ia berpikir tentang perjalanan hidupnya. Dia tahu bahwa dari awal, dia memang selalu sulit untuk memercayai orang lain. Kekecewaan dan pengkhianatan masa lalu membuatnya membangun tembok tinggi di sekitar dirinya, melindungi dirinya dari rasa sakit lebih lanjut.

          Akan tetapi, saat ini, di bawah pohon sakura yang penuh keindahan ini, Javas mulai menyadari sesuatu yang penting. Dia berpikir, Percaya orang lain itu memang sangat sulit. Kita sering kali takut dikhianati atau disakiti lagi. Tapi, jika kita coba sedikit-sedikit, itu akan membuat hidup jauh lebih berwarna.

          Javas menatap wajah-wajah yang ada di sekelilingnya. Dia melihat Janna—yang tampak begitu bahagia—dan merasakan bagaimana keberadaan Janna dan keluarganya memberikan warna baru dalam hidupnya. Dia mengingat kembali semua momen ketika Janna dan keluarganya membantunya, mendukungnya, dan menunjukkan kepadanya arti sebenarnya dari kepercayaan dan persahabatan.

           Javas mengambil napas dalam-dalam dan kemudian mengeluarkan sebuah pernyataan yang tulus. “Kalian pasti bertanya-tanya kenapa aku bisa percaya kepada mereka, kan? Mungkin karena ….” Dia memandang keluarganya dengan senyum yang tak hilang dari wajahnya. “Kehadiran merekalah yang membuat diriku percaya.”

***

Setelah piknik berakhir, semua orang pulang, hanya tersisa Javas dan Janna yang masih duduk di bawah pohon sakura yang mulai kehilangan kelopaknya. Mereka menikmati es krim sambil bersantai di bawah naungan pohon yang indah, dengan kelopak bunga sakura yang terus-menerus berguguran di sekitar mereka.

           Janna menyendok es krimnya lambat-lambat, matanya tertuju pada kelopak bunga yang turun. Dia merasa nyaman dengan kehadiran Javas, tetapi rasa ingin tahunya memuncak. Dengan nada malu-malu, dia akhirnya bertanya, “Kalau boleh aku tahu, ummm … aku sebenernya penasaran. Kenapa kamu bisa suka sama aku, Javas?”

          Javas berhenti menikmati es krimnya sejenak, berpikir dengan serius. Dia tatap Janna dengan penuh perhatian, mencoba merumuskan jawaban yang jujur.

          “Hmm … kalau aku pikir-pikir, salah satu alasan aku bisa suka sama kamu mungkin karena kita sama-sama anak pertama. Kita sama-sama bisa paham betapa beratnya tanggung jawab yang kita hadapi dibanding orang lain. Kamu selalu berusaha keras buat bikin keluarga kamu bahagia,” jelas Javas membuat Janna tersipu. Semburat merah merekah di pipi gadis itu.

          “Nenek juga sering bercerita tentang kamu. Setelah kejadian itu, kamu dan adik-adikmu jadi selalu ngunjungin Nenek. Nenek memiliki anak perempuan sendiri, tapi dia menganggap kamu seperti anaknya. Dari situ, aku mulai sadar kalau kamu beda dari yang aku bayangkan selama ini. Kamu tulus dan lebih dewasa dari yang aku kira.”

          Saat melanjutkan makan es krim, Javas dan Janna sama-sama menatap pemandangan indah di hadapan mereka. Kelopak bunga sakura yang jatuh satu per satu berkumpul di atas sebuah kotak yang tergeletak di bawah pohon.

          Kotak yang terlihat seperti kotak cincin yang belum dibuka.