Ponokawan

Mengenal Lebih Jauh Para Ponokawan

Wayang merupakan salah satu budaya tradisional Indonesia yang harus kita lestarikan bersama. Selain berfungsi sebagai media dakwah, komunikasi, dan hiburan, pewayangan juga dapat digunakan sebagai alat edukasi untuk mempromosikan nilai moral dan filosofis, tak terkecuali wayang ponokawan.

Baca juga: Lupa Endonesa: Satir Penuh Humor

Sujiwo Tejo, yang dikenal dengan sebutan sang dalang edan, menghadirkan wayang dalam tokoh-tokoh di buku-bukunya. Apabila Rahvayana berisi kisah dekonstruktif antara Rahwana dan Sinta, Lupa Endonesa menggandeng ponokawan sebagai tokoh utama. Ponokawan terdiri atas Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Berkenalan lebih jauh dengan mereka, yuk?

Semar: Ayah Gareng, Petruk, dan Bagong

Semar memiliki nama lain Janggan Smarasanta. Sebagai sosok ayah dari tiga ponokawan lainnya, ia dikenal sakti dan bijaksana. Fisiknya dideskripsikan bertubuh pendek, memiliki rambut pendek, berwajah putih, dan memiliki perut buncit. Banyak yang mengatakan bahwa ia adalah simbol penggambaran jagat raya. Kepala dan pandangan Semar yang mendongak dipercayai sebagai representasi kehidupan manusia agar selalu mengingat Tuhan. Kain Semar Parangkusumorojo yang dikenakannya adalah imbauan agar manusia menegakkan keadilan dan kebenaran di bumi.

Gareng: Anak Gandarwa yang Diangkat Semar

Tak hanya Semar, Gareng pun memiliki nama lain, yaitu Pancalpamor. Ia digambarkan sebagai sosok dengan hidung bulat, tubuh pendek, lengan kurus, rambut dikuncir, kaki pincang, tangan ceko, dan mata yang juling. Dibalik kekurangan fisik yang dimiliki Gareng, rupanya ada makna filosofis yang terselip, lho! Kakinya yang pincang menunjukkan bahwa dalam menjalani kehidupan ini, Gareng sangat berhati-hati. Tangannya yang ceko, menunjukkan bahwa ia tidak akan mengambil yang bukan haknya. Matanya yang juling menyimbolkan mata yang bisa menerawang seantero jagat.

Petruk: Si Jangkung yang Gemar Bercanda

Dalam dunia pewayangan, tokoh Petruk juga dikenal dengan nama Dawala. Ia kerap dideskripsikan sebagai sosok jangkung dengan perut buncit dan kulit yang hitam. Petruk adalah anggota ponokawan yang hobi bergurau. Meskipun begitu, ia juga dikenal sebagai pribadi yang selalu membela tuannya dan tidak takut untuk mengakui kesalahannya. Ia memiliki istri yang bernama Dewi Ambarwati.

Bagong: Si Bungsu yang Muncul dari Bayangan

Ketika Sang Hyang Tunggal berkata , “Ketahuilah bahwa temanmu adalah bayanganmu sendiri,” sosok Bagong muncul dari bayangan. Ia adalah anak bungsu Semar yang digambarkan botak, memiliki bibir dower dan perut buncit. Nama lainnya adalah Cepot. Bibirnya yang dower menunjukkan bahwa ia kerap berkata lancang, tapi berisi kejujuran. Bagong juga dikatakan sebagai pribadi yang sering melakukan sesuatu dengan tergesa-gesa.

 

Jika disuruh memilih satu dari keempat ponokawan ini, mana yang akan menjadi favoritmu? Buku Mbah Tejo yang baru terbit ulang bulan Mei lalu, Lupa Endonesa, menceritakan kisah-kisah penuh humor dari para ponokawan yang akan meningkatkan kepedulian kita kepada situasi dan kondisi Indonesia. Walau masa prapesan telah berakhir, bukunya masih bisa kamu temukan di sini.

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

Foto Produk Lupa Endonesa

Lupa Endonesa: Satir Penuh Humor

Foto Produk Lupa Endonesa

Dalam karya Sujiwo Tejo ini, Ponokawan akan membawamu berkelana ke negeri Endonesa yang penuh dengan polemik dan permasalahan internal. Percakapan santai mereka berupa satir yang disampaikan dengan jenaka tentang kacau-balaunya situasi di sana–yang merujuk pada Indonesia.

Baca juga: Menengok Kondisi Bangsa dari Lupa Endonesa

Penasaran isu apa saja yang dibahas Ponokawan tanpa malu-malu dalam Lupa Endonesa? Baca habis artikel ini untuk mendapatkan bocorannya.

Indonesia Membutuhkan Kementerian Pemberdayaan Laki-Laki

Jika perempuan mengalami pelecehan, mereka bisa melaporkannya ke Komnas Perempuan atau lembaga dan organisasi lain yang menaungi dan memberdayakan kaum hawa. Namun, bagaimana dengan laki-laki? Jika laki-laki mengalami hal yang sama, kepada siapa mereka harus melapor? Polisi? Kejaksaan? Begitulah yang disampaikan Bagong dengan berapi-api ketika berbincang dengan saudaranya yang jangkung, Petruk.

Masih banyak orang yang menganggap bahwa pelecehan terhadap laki-laki adalah hal yang tidak seharusnya dilaporkan. Selain kultur maskulin yang enggan menelan ego, pihak yang berwajib kerap meremehkan kasus semacam itu. Itulah salah satu alasan mengapa Bagong bersikeras bahwa Kementerian Pemberdayaan Laki-Laki mutlak kita butuhkan. Bahkan katanya, kalau perlu kantornya di seberang Kementerian Pemberdayaan Perempuan sekalian saja!

Sindiran untuk Sikap Bangsa ketika Aset Negeri Diaku Negara Lain

Dalam bab yang berjudul Anakmu Bukan Anakmu, penulis yang akrab disapa Mbah Tejo ini tidak bertele-tele dalam menyampaikan opininya. Ia mengatakan bahwa Anakmu Bukanlah Anakmu ini sebenarnya kalimat yang dipinjam dari Kahlil Gibran. Intinya, anak kita sebenarnya bukan sepenuhnya milik kita. Mereka memiliki cita-cita sendiri yang tidak bisa kita setir. Mereka adalah anak-anak panah yang memelesat dari busur-busurnya sendiri.

Ponokawan mengaitkan hal itu dengan ibu pertiwi atau Indonesia. Dalam konteks ini, Mbah Tejo merujuk pada bangsa kita yang memiliki anak-anak berupa aset negara seperti pulau, kesenian, kebudayaan, dan lainnya. Dengan tegas, sang dalang mengungkapkan bahwa seorang ibu bukanlah orang yang melahirkan. Seorang ibu adalah orang yang merawat dan membesarkan. Contoh dalam konteksnya bagaimana? Janganlah kita merasa menjadi ibu yang memiliki tari Pendet hanya karena kita melahirkan tarian tradisional itu. Coba tanya pada diri sendiri, apa yang sudah bangsa ini lakukan untuk merawat dan membesarkan tari Pendet?

 

Dua isu tersebut hanyalah bagian kecil dari keseluruhan permasalahan yang diulas dalam Lupa Endonesa. Buku ini akan mengingatkanmu tentang berbagai problem dalam negeri seperti pemimpin yang dianggap tidak memihak rakyat, pejabat yang korup, dan lainnya. Baca kisah seru para Ponokawan dan segera ikuti prapesan Lupa Endonesa di sini. Ada bonus stiker dan kaus bagi kamu yang mengikuti prapesannya, lho!

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

© Copyright - Bentang Pustaka