the prophet

The Prophet: Sebuah Perjalanan yang Begitu Dicintai

The Prophet atau Sang Nabi merupakan karya dari sang sastrawan dunia, Kahlil Gibran yang terbit perdana pada tahun 1923. Setelah hampir 100 tahun terbit, karya ini telah dinikmati oleh banyak sekali pembaca dari seluruh dunia. Kahlil Gibran menuliskannya dengan tokoh utama yang begitu dikenal oleh dunia, yakni Sang Nabi. Seperti dalam judulnya. karya ini ditokohutamai oleh Sang Nabi, yang kemudian dikenal dengan Almustafa. Pada bukunya ini, Kahlil Gibran menuangkan banyak sekali masalah-masalah yang akan kerap ditemui oleh para manusia di bumi. Perihal cinta, rasa, hidup dan hal-hal yang menyertainya, bahkan perihal antarmanusia, orang tua kepada anak misalnya.

The Prophet yang Dicintai Semua Kalangan

Pembaca dunia merespons karya ini sebagai suatu karya yang sangat membangun. Hal ini bisa terlihat dari lalu lalang manusia yang ditemui oleh Sang Nabi agung di seluruh dunia. Digambarkan tanpa kecenderungan keyakinan apa pun membuat kisah ini bisa diterima oleh semua kalangan, terlebih kisahnya yang begitu inspiratif. Sebab, kehidupan sendiri menawarkan dan menyediakan banyak sekali pesan dan amanat dari setiap masalah, buku ini seolah merangkumnya menjadi satu kesatuan yang siap dikaji bersama. Kahlil Gibran melalui tokoh inspiratifnya ini, seolah-olah merangkum keseluruhan masalah yang ada dalam bait-bait indah yang dihasilkan oleh tangannya yang lihai. Sebuah karya yang dicintai dan dinikmati oleh banyak manusia, entah sebagai penghiburan atau sebagai sebenar-benarnya buku yang dipelajari.

Perjalanan yang dilakukan Sang Nabi membawa pembaca dalam satu pemahaman dan pemahaman lainnya. Beberapa hanya membaca dan menyimak. Atau bahkan lebih dari itu, pembaca senantiasa menelaah betul isi dalam buku tersebut. tidak hanya demikian, beberapa pihak telah mewujudkan buku bijak satu ini ke dalam bentuk yang lain, yakni film. Alih wahana buku prosa-puisi Kahlil Gibran ini membuktikan adanya ketertarikan dari masyarakat luas kepada karya sastra ini. suatu karya yang menjadi besar karena keindahan, kebijaksanaan yang ditawarkan dalam setiap pertemuan Sang Nabi.

The Prophet karya Kahlil Gibran telah hadir di dalam bahasa Indonesia dengan judul Almustafa. Dialihbahasakan oleh maestro dalam negeri, Sapardi Djoko Damono, yang telah mengenal betul seluk beluk sastra dan keindahan di dalamnya.

Dapatkan buku Almustafa di sini.

Cover Lupa Endonesa

Menengok Kondisi Bangsa dari Lupa Endonesa

Cover Lupa Endonesa

“Tak malu korupsi? Tak malu berperilaku buruk? Tak malu mencederai bangsa sendiri? Atau mungkin malu tak lagi menjadi tren?” – Sujiwo Tejo

 

Jika kamu sedang mencari bacaan yang mengkritisi keadaan bangsa ini, Lupa Endonesa karya Sujiwo Tejo adalah salah satu buku yang harus kamu miliki. Dengan gaya khas sang Dalang Edan—personifikasi tokoh wayang—buku ini akan mengajakmu untuk menengok kembali persoalan sosial dan politik bangsa Indonesia yang telah melupakan jati dirinya bersama geng Ponokawan.

Personifikasi Ponokawan sebagai Penutur Cerita

Di dalam buku ini, pembaca dipertemukan Mbah Tejo dengan keempat tokoh utama yakni Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong yang akan berdialog serta mendiskusikan situasi sebuah negara bernama Endonesa. Endonesa, bukan Indonesia. Meskipun itu merupakan sebuah negara buatan sang dalang, situasi, kondisi, dan konflik Endonesa hampir sama dengan yang terjadi di Indonesia. Singkatnya, Endonesa adalah perumpamaan fiktif untuk Indonesia.

Kritik terhadap Negeri yang Disampaikan dengan Humor

Cerita-cerita yang bisa pembaca jumpai di buku ini tidaklah seperti esai yang menjenuhkan. Di setiap artikel banyak mengandung filosofi Jawa yang dapat dipetik nilai-nilainya. Cara keempat tokoh menghadirkan isu pun dikemas dengan humor yang menohok, nyeleneh, tapi tak dipungkiri, ada benarnya. Banyak dialog jenaka para tokoh yang akan membuat pembaca terpingkal. Walaupun begitu, kisah yang disuguhkan begitu kontemplatif, mengasah otak untuk berpikir kritis terhadap kondisi negeri kita.

Lupa Endonesa Akan Terbit Ulang!

Tertarik untuk membacanya? Kabar baik untukmu! Karya Mbah Tejo ini akan segera diterbitkan ulang bulan Mei 2021. Terbit ulang kali ini sekaligus merayakan ulang tahun ke-9 Lupa Endonesa sejak pertama kali dicetak pada September 2012. Cetakan terbaru ini akan hadir dengan kover baru yang dihadiahkan oleh salah satu jancukers, Luci Kurniawan, kepada Mbah Tejo.

 

Di kover terbaru buku ini, pembaca bisa menemukan gambar serabi. Semasa kecil, tiap kali berulang tahun, oleh sang ibu, Mbah Tejo selalu dibuatkan among-among, yang salah satu isinya adalah serabi. Dalam perayaan ulang tahun yang ke-9 ini, Bentang Pustaka dan Mbah Tejo ingin membagikan serabi kepada para pembaca melalui kover baru buku ini. Ikuti prapesan Lupa Endonesa dari 3—21 Mei 2021 di sini. Pantau selalu Instagram Bentang Pustaka untuk info terbaru.

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

Rich result on Google's SERP when searching for 'masalah hidup'

Masalah Hidup Tak Kunjung Usai? Buku Ini akan Menyelamatkanmu

Masalah hidup memang tiada habisnya. Terlebih di situasi pandemi yang sangat menguji kewarasan kita. Mulai dari mobilitas yang terbatas, penghasilan yang kian menipis, hingga perasaan was-was yang berlangsung setiap saat. Segala sesuatu yang tadinya normal seketika bergejolak. Jika tidak berhati-hati, kita akan didera perasaan cemas yang berkepanjangan.

Ketidakpastian akan masa depan sungguh membayang. Tak heran jika ada banyak orang yang kesulitan beradaptasi lalu berujung depresi. Kampanye yang muncul belakangan ini membuka mata kita bahwa depresi maupun perasaan cemas yang berlebihan tak boleh disepelekan. Kesehatan mental adalah kunci utama bagi kebahagiaan hidup. Untuk mengatasi masalah hidup yang semakin membebani ini, kita perlu segera mencari pertolongan. Cara yang paling tepat adalah dengan menghubungi para ahli maupun terapis. Namun sebagai langkah awal, mencari referensi buku yang tepat untuk menenangkan jiwa juga bisa menjadi solusi.

 

Mengurai Masalah Hidup Lewat Filsafat Kuno

Jules Evans, pengelola Well-Being Project di Centre for the History of the Emotions di Queen Mary, University of London, pernah mendapati dirinya hidup dalam rasa cemas, depresi, serta stres pasca-trauma selama bertahun-tahun.

Melalui risetnya, Jules mengetahui bahwa gangguan-gangguan emosional ini nyatanya dapat ditangani dengan CBT (Cognitive Behavioural Therapy atau Terapi Perilaku Kognitif). Sebulan setelah menjalani terapi itu, ia tidak lagi terkena serangan panik. Kepercayaan dirinya kembali muncul, bahkan mampu mencerna emosi yang meluap secara tiba-tiba. Menariknya, ide dan teknik-teknik dalam CBT ternyata tak asing—mengingatkannya pada pengetahuan seputar filsafat Yunani Kuno.

Salah satunya adalah ajaran Socrates. Socrates menyatakan tanggung jawab kita sendirilah untuk “merawat jiwa”, dan inilah yang diajarkan filsafat kepada kita—seni psikoterapi, yang berasal dari bahasa Yunani dengan makna “merawat jiwa”. Kitalah yang harus menguji jiwa sendiri dan memilih prinsip serta nilai-nilai mana yang masuk akal dan mana yang membahayakan. Dalam konteks ini, filsafat merupakan suatu bentuk pengobatan yang dapat kita lakukan sendiri.

“Riset yang dilakukan oleh Jules Evans ini kemudian dituangkan ke dalam buku berjudul Philosophy for Life: And other dangerous situasions. Mengingat isi buku ini sangat ampuh untuk menyelamatkan kita dari kondisi tertekan akibat berbagai masalah hidup, kami pun memutuskan untuk menerbitkan edisi Bahasa Indonesianya: Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya. Tak perlu memiliki basis filsafat untuk membacanya. Pembahasan buku ini sangat ringan hingga bisa dibaca oleh siapapun,” ujar Nurjannah Intan, editor Nonfiksi di Bentang Pustaka.

Menyelesaikan Masalah Hidup dengan Berguru pada Filsadat Kuno

 Baca juga: Luka Batin Tak Kunjung Reda, Terapkan Cara Berikut untuk Menyembuhkannya!

 

Terapi Jiwa, Sebuah Solusi

Henry Manampiring, influencer sekaligus penulis Filosofi Teras, mengemukakan bahwa karya Jules Evans ini bisa berfungsi sebagai terapi jiwa. “Jika kamu masih menganggap filsafat sebagai topik yang mengawang-awang dan tak berguna, buku ini akan mengubah pandanganmu. Dengan bahasa yang lugas dan penuh cerita menarik, Evans menunjukkan bahwa filsafat justru bisa menjadi ‘terapi jiwa’ dan pilihan laku hidup (way of life). Kita bisa belajar dari kaum Stoa bagaimana tangguh menghadapi kesulitan hidup, dari kaum Epicurean menemukan kenikmatan hidup sejati, dari Phytagoras soal mendisiplinkan mental, dari kaum Skeptis cara untuk tidak mudah dibohongi, dan lain-lain. Kamu bisa belajar menjadi lebih bijak dalam menjalani hidup dengan ide dan pemikiran yang sudah bertahan ribuan tahun di dalam buku ini. Buku ini juga menjadi salah satu inspirasi saya menulis Filosofi Teras.

 

Masa pre-order Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya akan segera berlangsung pada 1—11 Oktober 2020 di laman bentangpustaka.com

4 Tips Produktif Menulis ala Emha Ainun Nadjib

 

Hingga saat ini, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) telah menghasilkan puluhan judul buku. Dan, dua puluh tiga di antaranya telah diterbitkan oleh Bentang Pustaka. Dalam setahun, Cak Nun bisa menerbitkan 3 hingga 5 judul buku sekaligus. Tak hanya mencengangkan dari sisi kuantitas, kualitas tulisan Cak Nun pun tak main-main. Genre yang dilakoninya pun beragam, mulai dari esai, syair, puisi, novel, hingga skenario teater. Tentu banyak yang bertanya-tanya, bagaimana kiat Cak Nun bisa sedemikian produktifnya dalam menghasilkan karya? Berikut ini empat tips produktif menulis yang bisa kita pelajari dari Cak Nun.

 

Peka Mengamati Fenomena Terkini

Pada 2020 ini, tercatat Cak Nun telah menerbitkan 2 buku baru, Lockdown 309 Tahun (Juni) dan Apa yang Benar Bukan Siapa yang Benar (Agustus). Memiliki pengalaman sebagai penulis esai dan jurnalis, Cak Nun rupanya begitu mengikuti informasi terkini. Tulisan-tulisan Cak Nun dalam Lockdown 309 Tahun merupakan refleksi atas merebaknya virus Covid di dunia. Buku ini bahkan bisa disebut sebagai buku pertama di Indonesia yang merespons langsung kegelisahan masyarakat ketika Pembatasan Sosial Berskala Besar diterapkan pada Maret lalu.

 

Terbuka pada Berbagai Macam Pandangan

Sudut pandang yang sempit terbukti menjadi salah satu penghalang dalam upaya untuk produktif menulis. Hal tersebut dikarenakan persepsi yang dimiliki terbatas. Maka, karya yang dihasilkan pun hanya akan berputar-putar pada satu tema. Penulis pun akan kesulitan untuk melihat fenomena baru.

Tulisan-tulisan Cak Nun menunjukkan keluasan berpikirnya terhadap berbagai macam pandangan. Dalam buku Apa yang Benar Bukan Siapa yang Benar, Cak Nun mengkritisi fenomena fanatisme sempit dan penolakan untuk menerima pendapat yang berlainan. Supaya mudah dipahami pembaca, Cak Nun kerap menggunakan tokoh-tokoh imajiner dalam menanggapi suatu peristiwa. Dan, tokoh yang paling terkenal di antara mereka adalah Markesot. Tak jarang dialog yang ada dalam kisah tersebut menunjukkan adanya perbedaan pemahaman yang saling bertentangan. Namun, para tokoh itu selalu menemukan jalan untuk tidak berpedoman pada kebenaran versi tunggal, tetapi kebenaran yang bisa diterima oleh semua orang.

 

Tuliskan Semua yang Ada di Pikiran

Ada beragam teknik menulis yang bisa kita coba. Mulai dari menentukan judul terlebih dahulu, merencanakan outline dengan detail, atau membiarkan semua yang ada di pikiran mengalir deras. Cak Nun rupanya menggunakan metode yang terakhir. Orang-orang terdekatnya mengatakan bahwa ketika menulis, Cak Nun akan sangat fokus. Beliau bahkan tak pernah memencet tombol delete sekalipun. Hal ini menunjukkan kematangan konsep tulisan yang sudah dirancang di dalam pemikirannya.

 

Kreatif dalam Menentukan Judul

Judul yang unik dan ritmis bisa memicu penulis untuk semakin produktif menulis. Ada aura kebahagiaan yang terpancar dari tiap paragraf yang dituangkan. Dan, Cak Nun selalu mampu menemukan judul-judul menarik yang tak lekang waktu. Misalnya, ketika mengamati fenomena pengharaman musik di kalangan umat Islam, Cak Nun menulis esai dengan judul Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai. Esai ini menceritakan seorang kiai yang sangat getol melarang musik diputar di pesantrennya. Namun, suatu ketika terdengar bunyi musik lamat-lamat dari desa seberang, kaki Pak Kiai tak sengaja bergerak secara ritmis.

 

Nah, itu tadi empat tips produktif menulis yang bisa kita pelajari dari Cak Nun. Selamat mencoba!

Sinau Bareng: Rendah Hati dalam Mencari Kebenaran

 

Pada masa pandemi ini, salah satu hal yang tentunya sangat dirindukan oleh Jamaah Maiyah adalah Sinau Bareng. Setiap orang dari berbagai latar belakang berkumpul bersama. Cak Nun, bersama beberapa narasumber yang beliau undang, akan membahas suatu isu. Dan, setiap orang yang datang berkesempatan untuk bertanya atau mengemukakan gagasannya.

Sinau Bareng jika diterjemahkan secara harfiah berarti Belajar Bersama. Pemaknaan belajar di sini adalah menggali falsafah-falsafah kehidupan. Memberdayakan akal, pikiran, dan hati sehingga mampu bersikap kritis dalam melihat suatu fenomena. Kita tentu tidak tahu kapan forum Sinau Bareng yang biasa dihadiri oleh ratusan hingga ribuan orang itu akan hadir kembali. Kita tentu sudah sangat rindu untuk bersilaturahmi dan melantunkan shalawat bersama-sama.

Untuk mengobati kerinduan tersebut, Bentang Pustaka bekerja sama dengan Progress (Manajemen Cak Nun dan Kiai Kanjeng), menggelar Sinau Bareng daring yang ditayangkan di YouTube. Sinau Bareng kali ini membahas buku terbaru Cak Nun yang terbit pada Agustus, Apa yang Benar Bukan Siapa yang Benar. Dimoderatori oleh Helmi Mustofa, narasumber yang turut hadir dalam acara ini yaitu Iqbal Aji Daryono (esais dan pengamat media) serta Iman Budhi Santosa (Budayawan).

 

Andhap Asor (Rendah Hati) dalam Belajar

Buku terbaru Cak Nun ini menguliti fenomena pencarian kebenaran pada diri setiap insan. Menurut Iqbal, orang-orang yang datang ke Sinau Bareng pasti memiliki bekal perasaan andhap asor. Karena, jika mereka berangkat dengan kesombongan dan perasaan pasti benar, tidak mungkin menuju atmosfer belajar bersama. “Sama halnya dengan para calon mahasiswa yang datang ke Yogyakarta. Banyak orang dari luar daerah ke Yogya untuk belajar. Berarti ada niatan untuk belajar. Iklim Sinau Bareng banyak muncul di buku Mbah Nun. Simbah tidak terus memosisikan diri sebagai pihak otoriter, beliau menganggap anak cucunya juga sebagai sumber kebenaran, sebuah insight yang penuh kewaskitaan.”

Perihal rendah hati dalam mencari ilmu juga dicontohkan oleh Iqbal melalui pengalaman pribadinya. Suatu waktu, ketika masih bermukim di Melbourne, Iqbal mengajak putrinya untuk mengunjungi museum. Ketika melewati patung dinosaurus, putrinya kemudian berkata, “Pak ini bentuk dinosaurus, but it can be right, it can be wrong.” Iqbal yang tertarik dengan pernyataan itu pun bertanya lebih jauh mengapa bentuk dinosaurus itu hanya mengira-ngira. Jawabannya sungguh menarik: karena sudah tidak ada. Scientist hanya menduga-duga dari sedikit yang dia tahu lalu menyimpulkan.

Bagi Iqbal, itulah contoh paling konkret dari spirit pendidikan yang andhap anshor.  Keyakinan tak perlu dipegang terlalu erat karena pada prosesnya bisa benar atau salah.

 

Berhati-hati dalam Melangkah

Jika Iqbal menekankan pencarian kebenaran pada prinsip rendah hati dalam berilmu, Romo Iman memberi contoh lain melalui filosofi di balik pesan “hati-hati di jalan”. Pesan tersebut sesungguhnya tidak berarti berhati-hati terhadap segala hambatan di jalan. Namun, ada makna yang jauh lebih dalam. Dalam falsafah Jawa, dikenal peribahasa “Kesandhung ing rata, kebentus ing tawang, dalane orang mung siji” [Tersandung di jalan yang rata, terbentur langit, (maka ingatlah) tidak hanya ada satu jalan]. Segala sesuatu yang serba mulus dan lancar terkadang menyimpan jebakan di baliknya. Jalan yang rata tetap bisa membuat kita terjatuh karena tersandung oleh kaki sendiri.

“Maka, carilah yang pener [sesuai], bukan sekadar benar,” nasihat Romo Iman. Sikap penuh hati-hati dalam mencari kebenaran juga merupakan prinsip dalam forum Sinau Bareng. Para Jamaah Maiyah diajak untuk berhati-hati dalam mengungkapkan pendapatnya. Begitu pula ketika mendengarkan pendapat orang lain. Karena bisa jadi, kebenaran itu bukanlah apa yang terbaik untuk kita, melainkan justru yang terbaik untuk sesama.

Cak Nun dan Penelusuran akan Nilai Kesadaran

 

Cak Nun memang pantas menyandang gelar “penulis yang selalu mampu melecut kesadaran pembaca”. Misalnya saja fenomena bias informasi yang marak belakangan ini. Begitu banyaknya informasi yang berseliweran saat ini tak bisa dimungkiri memang kerap membuat kita bingung. Ada begitu banyak pendapat yang saling bertentangan. Ditambah lagi kemunculan pihak-pihak yang mengeklaim keyakinannyalah yang paling benar. Lalu, bagaimana cara kita memilah informasi dan menentukan apa yang paling benar? Nilai semacam apa yang harus kita jadikan pegangan?

 

Mengenal Patrap

Cak Nun secara khusus mencermati fenomena tersebut dalam buku terbarunya, Apa yang Benar Bukan Siapa yang Benar. Beliau mengajak kita untuk belajar pada filosofi hidup masyarakat Yogyakarta, yaitu patrap.

Salah satu yang semakin hilang dari manusia, masyarakat, dan bangsa kita adalah kesadaran tentang patrapGemah ripah loh jinawi hanya bisa dicapai kalau proses memperjuangkannya diletakkan dan setia pada patrap-nya. Manusia Indonesia dan Yogya modern saat ini sudah sangat melimpah pengetahuannya tentang kebenaran, kebaikan, dan keindahan, tetapi belum disertai oleh pengelolaan patrap.

Kita sudah berproses 71 tahun menjalani pem-beradab-an bangsa. Kita sudah menanam dan membangun ilmu-ilmu, demokrasi, republik, supremasi hukum, sampai ada variabel-variabel yang mbumboni [membumbui] keadaan ini secara sangat riuh rendah. Sejak sosialisme dan kapitalisme, politik kanan dan kiri, kebudayaan timur dan barat, hingga racikan-racikan yang bikin kita kepedesen: liberalisme dan ultranya, radikalisme, fundamentalisme, ekstremisme, anarkisme, agama garis lurus, mazhab garis lengkung, politik lipatan dan strategi tikungan, serta bermacam-macam lagi.

Semua itu soal patrap. Ada yang memang memilih benere dhewe [kebenaran versinya sendiri], ada yang mengeklaim atau memanipulasi benere wong akeh [kebenaran versi banyak orang], ada yang tersingkir karena mencari bener kang sejati [kebenaran yang sejati]. Ada yang memang benar-benar bener, tapi susah banget untuk pener [sesuai] tatkala diterapkan. Karena seluruh konstruksi nilai zaman ini memang sudah semakin kehilangan patrap.

(Bab Patrap dan Atlas Nilai Yogyakarta, hal. 4)

Patrap bisa diartikan sebagai perilaku yang terukur, atau dengan kata lain perilaku yang berkesadaran. Bagi Cak Nun, masyarakat modern belakangan ini kesulitan untuk “benar-benar sadar” pada setiap tindakan maupun ucapannya. Banyak yang sekadar ikut-ikutan dan manut [menurut] tanpa mencermati kembali apakah hal tersebut sesuai bagi dirinya atau tidak. Untuk itulah kita tidak boleh berhenti mencari kebenaran dengan berpatokan pada kesadaran kita sendiri. Kesadaran bahwa kita bisa menjadi manusia yang lebih baik bagi sesama.

 

Mata yang Melihat Kebenaran

Romo Iman Budhi Santoso, budayawan, dalam “Sinau Bareng Simbah” memberikan ilustrasi menarik tentang pencarian akan nilai kesadaran ini.  “Dalam buku ini, diceritakan bahwa Simbah mengajak tiga anak masa depan ini ke lereng merapi. Mereka diminta untuk melihat secara luas dan memunculkan ide-ide yang bisa dijadikan pedoman untuk menentukan patrap. Ketiga murid ini kebingungan karena dalam kerangka sudut pandangnya belum bisa memahami apa yang disampaikan oleh Simbah,” ujarnya.

Romo Iman kemudian meminta kita semua untuk membayangkan alasan Tuhan menciptakan sepasang mata pada manusia. Ketika kita ingin melihat sesuatu secara lurus, salah satu mata harus dipicingkan. Namun, ketika dua mata sama-sama terbuka, meski tidak bisa terlihat selurus tadi, kita bisa melihat dengan lebih lebar. Artinya, setiap manusia memiliki pilihan-pilihan dalam hidupnya.

Jika kita ingin melihat persoalan dengan lebih luas, bukalah cakrawala berpikir seluas-luasnya. Terbukalah pada semua pandangan dan pahami alasan di baliknya. Sebaliknya, jika kita ingin memilih tindakan apa yang tepat bagi kita, “picingkan salah satu mata”. Pilah mana jalur yang sesuai untuk kita lalui. Dan, dengan patrap itulah, kita akan terhindarkan pada jalan yang berkelok. []

Cak Nun: Tuhan Tidak Pernah Menciptakan Sampah

 

Pernahkah sedetik saja terlintas di pikiran kita, apa sebenarnya guna kecoa, tikus, atau lalat? Jika hewan-hewan tersebut sangat mengganggu kehidupan kita, untuk apa mereka diciptakan? Pertanyaan menggelitik mengenai misteri ciptaan Tuhan ini disinggung dengan sangat apik oleh Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam buku terbarunya, Apa yang Benar Bukan Siapa yang Benar.

Buku yang terbit pada Agustus 2020 ini mengisahkan perbincangan mendalam antara Simbah dan ketiga cucunya: Gendhon, Péncéng, dan Beruk. Salah satu pokok bahasan yang ramai mereka diskusikan adalah filosofi di balik minuman wedang uwuh.

Wedah uwuh merupakan minuman khas Imogiri, Yogyakarta. Dalam bahasa Jawa, wedang berarti ‘minuman’ dan uwuh adalah ‘sampah’. Kalau begitu, wedang uwuh sama saja dengan minuman sampah, dong? Lalu, untuk apa kita meminum sampah? Menurut para penjual minuman ini, disebut uwuh karena isi minumannya penuh rempah dan daun sehingga dari luar menyerupai tumpukan sampah.

Akan tetapi Cak Nun, yang selama ini kita kenal sebagai sosok yang mampu menguliti lapisan terdalam dari sebuah fenomena, memiliki pandangan khusus mengenai penamaan wedang uwuh ini. Berikut ini beberapa makna tersirat yang dibahas di dalam buku.

 

Jangan Sekadar Melihat Materi, Lihatlah Nilai di Baliknya

“Masyarakat kita selama beberapa puluh tahun terakhir ini lebih terlatih untuk melihat materi, memandang benda-benda, tanpa terlalu peduli terhadap nilai-nilai di belakang benda-benda itu.”

“Misalnya, Mbah …?” Gendhon bertanya.

“Misalnya, tuliskan bahwa wedang uwuh itu diramu dari macam-macam bahan. Katakanlah jahe, cengkih, bunga cengkih, batang cengkih, daun cengkih, kayu secang, pala, daun pala, kayu manis, daun kayu manis, akar serai, daun serai, gula batu, dan kapulaga ….”

 

Menyimpan Data Sejarah

Wedang uwuh bukan hanya segelas minuman. Ia juga sejarah. Karena rempah-rempah itulah, VOC datang dan kemudian menyandera bangsa Nusantara 3,5 abad. Rempah-rempah adalah harga diri kebudayaan bangsa, kreativitas nenek moyang, hasil ijtihad, atau proses eksperimentasi ….”

Kalimat Pèncèng dipotong dan diteruskan oleh Gendhon. “Dari wedang uwuh kita, kan, bisa becermin dan menemukan kesalahan-kesalahan bangsa kita ini sehingga kacau balau seperti sekarang, kehilangan kedaulatan, tidak percaya diri, mendewakan Barat, Arab, Tiongkok, dan semua yang dari luar. Segala sesuatu yang dari manca, kita dewakan. Segala sesuatu yang milik kita sendiri, yang diri sejati kita sendiri, kita remehkan.”

 

Kontemplasi atas Ciptaan Tuhan

Sebenarnya yang tampak paling mletik adalah Pèncèng. Beruk agak pendiam. Namun, sebenarnya sifat agak pendiam itu menandakan dia lebih mendalam. Lebih kontemplatif.

“Misalnya, bahwa Tuhan tidak pernah menciptakan sampah. Semua yang terbuang dan terpendam oleh Tuhan dijadikan bahan untuk minyak, batu mulia, akik, serta bahan-bahan tambang lainnya. Semua dibikin Tuhan dalam pola dauriyah. Daur ulang. Tidak ada yang mubazir.”

 

Kutipan-kutipan dari tulisan Cak Nun di atas sungguh menyentak kesadaran kita. Penyebutan “sampah” untuk minuman yang lezat dan berkhasiat seakan mengingatkan kita untuk terus-menerus melakukan refleksi diri. Termasuk pula tidak mudah gegabah dan marah kepada Tuhan ketika mendapat cobaan.

 

© Copyright - Bentang Pustaka