mutawatir ijmak qathi

Ngaji Fikih: Mutawatir, Ijmak, dan Qathi Al-Dalalah

Lazim diketahui bahwa hukum Islam mengandung aspek absolut di satu sisi dan aspek relatif di sisi lain. Keabsolutan syariah Islam biasanya berasal dari konsep mutawatir, ijmak, dan qathi al-dalalah. Diskusi dan perdebatan berhenti seketika saat diketahui bahwa topik yang dibahas merupakan ruang lingkup salah satu dari tiga konsep tersebut. Ketiga konsep ini telah berhasil “menjaga gawang” akidah dan syariah umat Islam selama berabad-abad. Ijtihad dinyatakan tidak berlaku terhadap persoalan yang ternyata didukung oleh salah satu dari ketiga hal tersebut.

Kali ini kita mencoba untuk membuktikan bahwa sebenarnya masih banyak persoalan seputar ketiga konsep di atas. Catatan singkat ini hendak menunjukkan bahwa ketiga konsep itu lahir dari pemahaman ulama dan karenanya mengandung perbedaan pendapat; dan perbedaan pendapat tentu saja berpijak pada sisi relativisme ajaran Islam ketimbang sisi absolutnya. Dengan pendekatan lintas mazhab, satu per satu ketiga konsep tersebut akan di-“bongkar” atau dilakukan dekonstruksi terhadap keabsolutan ketiganya.

Pengertian Mutawatir, Ijmak, dan Qathi Al-Dalalah

mutawatir ijmak qathi

Penjelasan Mutawatir, Qathi Al-Dalalah, dan Ijmak,

Mutawatir

Secara bahasa, mutawatir bermakna ‘banyak, terkenal atau umum’. Istilah mutawatir biasanya digunakan dalam konteks periwayatan. Tidak heran kalau istilah ini paling sering digunakan oleh ulama hadis, khususnya ketika bicara mengenai Hadis Mutawatir.

Hadis Mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang pada semua tingkatan sanad (rentetan periwayat hadis sampai kepada Rasulullah Saw.), yang secara logika dan kebiasaan dapat dipastikan bahwa para periwayat itu mustahil bersepakat untuk berdusta [Lihat Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, “Usul al-Hadis:’ulumuh wa musthalahuh”, h. 301]. Ulama ushul al-fiqh menggunakan istilah mutawatir untuk “khabar yang disampaikan oleh banyak orang yang dengan sendirinya memberi suatu keyakinan/kepastian” [Muhammad Baqir al-Shadr, “Durus fi ‘Ilm al-Usul”, juz 1, h. 197].

Jikalau kita cermati definisi di atas maka kata kuncinya adalah pada kata “banyak orang”. Persoalannya, berapa orang yang bisa dianggap memenuhi kata “banyak” tersebut? Sebagian ulama mengatakan bahwa jumlah minimalnya adalah empat orang dengan meng-qiyas-kan kepada jumlah saksi yang diperlukan dalam satu perkara (misalnya tuduhan zina). Ada pula yang mengatakan jumlah minimalnya adalah sepuluh karena bilangan itu merupakan jumlah minimal jam’ al-kasrah (kelompok yang banyak). Di samping itu, ada pula ulama yang mengatakan bahwa jumlah minimalnya 20 orang, 40 orang, dan 70 orang; bahkan ada yang menetapkan lebih dari itu [Lihat Muhammad Taqi al-Hakim, “al-Usul al-‘Ammah li al-Fiqh al-Muqarin,” h. 195; Mahmud al-Tahhan, “Taysir Mustalah al-Hadis”, h. 19]. Perbedaan ini terjadi karena tidak ada nash yang mengatur soal ini secara tegas.

Persoalan dan Konsekuensi Logis

Konsekuensi logis dari perdebatan ini adalah adanya sebuah hadis yang dinilai mutawatir oleh sebagian ulama―sesuai kriteria yang mereka tetapkan―tetapi boleh jadi dipandang tidak mutawatir oleh ulama lain, yang memiliki kriteria berbeda dalam menentukan mutawatir atau tidaknya suatu riwayat. Contohnya adalah hadis mengenai rukun iman dan rukun Islam yang terdapat dalam Shahih Muslim (Hadis nomor 9), juga diriwayatkan dalam Sunan al-Nasa’i, kitab al-Iman wa Syara`i’ih, HN: 4,904; Sunan Ibn Majah, kitab al-Muqaddimah, HN: 62; Musnad al-Imam Ahmad, kitab Baqi Musnad al-Muksirin, HN: 8,765. Hadis ini diriwayatkan oleh delapan sahabat. Tentu saja bagi yang berpendapat bahwa empat orang saja sudah memenuhi kriteria mutawatir, hadis ini dipandang mutawatir. Namun, tidak demikian halnya dengan yang berpendapat 10, 20, atau bahkan harus 70 orang.

Ada persoalan lain yang juga diperselisihkan para ulama (mukhtalaf fih) yang menambah keyakinan kita bahwa meskipun hadis mutawatir bernilai qat’i al-tsubut, tetapi ternyata tidak “mutawatir” dalam hal kriteria menentukan ke-mutawatir-an suatu riwayat. Persoalan dimaksud adalah apakah periwayat yang banyak itu tidak hanya berasal dari satu kaum atau satu negeri, tetapi dari berbagai kaum atau berbagai negeri? Apakah periwayat yang banyak itu terdiri atas orang Islam yang adil dan dapat diterima kesaksiannya? Para ulama berdebat panjang dalam persoalan-persoalan ini.

Ijmak

Dalam Islam tidak ada keterangan yang menyebutkan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi, vox dei). Yang ada adalah sebuah hadis senada yang menyebutkan bahwa tidak mungkin umatku bersepakat pada kesesatan atau kesalahan (Sunan Ibn Majah, Hadis Nomor 3940). Sepeninggal Nabi Muhammad Saw.―yang dipercaya sebagai tokoh yang ma’shum, tanpa kesalahan―umat Islam hanya bisa mencapai derajat ma’shum lewat kesepakatan total di antara mereka. Inilah yang kemudian melahirkan doktrin Ijmak dalam struktur hukum Islam. Sayangnya, sejarah menunjukkan bahwa umat Islam sendiri memiliki perbedaan pendapat soal kesepakatan ini sampai pada hal yang sangat teknis. Walhasil, tidak dicapai Ijmak (kesepakatan) dalam merumuskan apa itu Ijmak [‘Ali ‘Abd al-Raziq, al-Ijma’ fi al-Syari’ah al-Islamyah, h. 6].

Ijmak―menurut satu definisi―adalah kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad Saw. pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah Saw., terhadap suatu hukum syara’. Definisi ini ditolak oleh ulama lain.

Qathi Al-Dalalah

Al-Qur’an dari sisi altsubut-nya telah disepakati oleh seluruh ulama sebagai qathi. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini; bahkan diyakini bahwa hal ini telah memasuki lapangan teologi, artinya pengingkaran qathi al-tsubut-nya Al-Qur’an akan membawa sejumlah konsekuensi teologis. Namun demikian, dari sisi al-dalalah, ayat Al-Qur’an ada yang qathi dan ada pula yang zanni. Begitu pula halnya dengan hadis, ada yang mengandung muatan qathi al-dalalah dan ada pula yang zanni al-dalalah. Pada bagian qathi al-dalalah inilah uraian di bawah ini terfokus.

Menurut Abdul Wahhab Khallaf, nash Al-Qur’an dan hadis yang bersifat qathi al-dalalah merupakan nash yang menunjuk pada makna tertentu yang tidak mengandung kemungkinan untuk di-ta’wil (dipalingkan dari makna asalnya) dan tidak ada celah atau peluang untuk memahaminya selain makna tersebut. [Abdul Wahhab Khallaf, “Ilm Usul al-Fiqh”, h. 35; bandingkan dengan Wahbah al-Zuhaili, “Usul al-Fiqh al-Islami,” juz 1, h. 441] Contohnya adalah ketentuan jilid seratus kali bagi pezina (QS 24:2). Kata “seratus kali” tidak mengandung kemungkinan ta’wil dan atau pemahaman lain. Dengan demikian, ayat ini bersifat qat’i al-dalalah.

Baca juga: Tiga Buku Gus Nadir tentang Seri Belajar Islam yang Wajib Dibaca

Lalu bagaimana kita memberi batasan atau kriteria suatu nash itu qathi al-dalalah atau sebaliknya, zanni al-dalalah? Ada ulama yang menyusun sepuluh kriteria, yaitu diriwayatkan secara mutawatir, tidak mengandung al-majaz (kiasan), al-isytira’ (mengandung dua makna), al-naql, al-idhmar (samar/tersembunyi), al-taqdim, al-ta’khir, al-nasakh, al-takhshish, dan ta’arud al-aqli [M. Abu Nur Zuhair, “Mudzakarah fi Usul al-Fiqh li Ghair al-Ahnaf”, juz 1, h. 28-29].

Sedikit berbeda dengan kriteria di atas adalah yang dikemukakan oleh al-Syatibi: naql lughat (transfusi bahasa), al-nahw (gramatika) wa ‘adam al-Isytirak, ‘adam al-majaz, naql al-syar’i aw al-‘adi, al-idhmar, al-takhshish li al-‘umum, al-taqyid li al-muthlaq, ‘adam al-nasikh, al-taqdim wa al-ta’khir dan terakhir, al-ma’aridh al-‘aqli. [al-Syatibi, “al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam”, jilid 1, h. 35-36].

Mengenal Lebih Lanjut tentang Qathi Al-Dalalah

Dari keterangan di atas, kriteria qathi al-dalalah itu bisa disederhanakan dengan: pertama, adanya problematika bahasa (susunan kalimat yang diawalkan atau diakhirkan, perbedaan gramatika, kiasan, mengandung makna ganda, dan lainnya); kedua, adanya kondisi tambahan semisal takhshish, taqyid, ataupun nasik-mansukh; dan ketiga, adanya indikasi bertentangan dengan nalar atau akal.

Dari pembahasan di atas, kalau kita mau jujur, tentu amatlah sulit untuk mencari teks atau lafaz Al-Qur’an dan hadis yang mencapai derajat qathi al-dalalah. Sebagai contoh, sering kali umat Islam mengatakan kewajiban shalat lima waktu secara qat’i diraih melalui ayat “aqim al-shalat” yang mengandung lafaz amr (perintah). Padahal, lafaz amr itu tidak semuanya bermakna qat’i; adakalanya amr itu mengandung makna mubah dan sunah. Jadi, dari sisi dalalah dan kriteria di atas, lafaz “aqim al-shalat” tidaklah qathi. [Perdebatan para ulama soal makna dasar amr itu (al-ashlu fi al-amri.) bisa dilihat, salah satunya, dalam Ibn al-Najjar, “Syarh al-Kawkab al-Munir”, khususnya jilid ketiga].

Al-Syatibi memberi solusi terhadap persoalan ini. Kesepuluh premis yang diajukannya juga menghasilkan kesulitan untuk mencapai derajat qathi al-dalalah. Untuk itu beliau mengajukan konsep “mutawatir maknawi”, yakni sekumpulan ayat yang zanni tentang suatu tema (shalat, misalnya) saling membantu dan menguatkan akan kewajiban shalat. Ketika ayat-ayat tentang shalat dikumpulkan, ternyata tidak satu pun yang mengindikasikan ketidakwajiban shalat. Dengan demikian, kewajiban shalat bersifat qathi. Jika hanya mengandalkan satu ayat maka hasilnya adalah zanni, tetapi karena dibantu oleh sekumpulan ayat senada maka ia menjadi semacam “mutawatir maknawi”.

Bahasan serupa di atas dapat kalian temukan di mizanstore.com dan berkenaan dengan program Best Writer Best Deal, setiap pembelian buku berhak mendapatkan diskon 25% berlaku untuk semua buku Gus Nadir.

Sumber:

Buku Ngaji Fikih

Bagaimana Memahami Konsep Mutawatir, Ijma’ dan Qat’i Al-Dalalah

Bagaimana Buku Ngaji Fikih Diciptakan?

Bagi pembaca setia buku Nadirsyah Hosen (Gus Nadir), pasti tak asing dengan buku-buku beliau sebelumnya seperti Tafsir Al-Quran di Medsos dan Saring Sebelum Sharing. Tak lama lagi, buku ketiga beliau akan terbit, yakni Ngaji Fikih, merupakan representasi dari kajian fikih yang selama ini Gus Nadir pelajari dari sang abah, Prof. K.H. Ibrahim Hosen, L.M.L. Abah Ibrahim Hosen merupakan seorang ahli fikih ternama di Indonesia, bahkan kepiawaiannya dalam menentukan hukum fikih membawa beliau menjadi salah seorang pengurus Komisi Bidang Fatwa di Majelis Ulama Indonesia pada 1980 hingga 2000. Sementara itu, Gus Nadir sendiri merupakan Rais Syuriah PCI Nadhlatul Ulama Australia dan New Zealand, serta dosen tetap di Monash Law School di Monash University, Australia. Duet bapak-anak dalam bidang fikih ini dinilai cukup penting karena selain menjadi tonggak dalam sepak terjang kepenulisan hukum seputar fikih di Indonesia, juga memetik sebuah hikmah―bagaimana sebuah ilmu (khususnya ilmu agama) dapat diwariskan dari orang tua kepada anaknya. Sungguh betapa mulianya hakikat mencari ilmu tersebut.

Gus Nadir yang merupakan lulusan santri pondok, banyak menerjemahkan berbagai kitab-kitab yang diciptakan oleh para perawi, tabi’in, hingga ulama, kemudian mengemasnya ke dalam bentuk bacaan yang disesuaikan oleh pembaca zaman sekarang, khususnya para pengguna medsos, yang cenderung lebih tertarik pada hal-hal yang ringkas serta mudah diaplikasikan.

Selain itu, Gus Nadir juga memiliki misi mulia dalam menerbitkan buku Ngaji Fikih ini. Buku yang diharapkan dapat menjadi pelengkap dari dua karya besar beliau sebelumnya dalam mewarnai khazanah Islam yang rahmatan lil ‘alamin, khususnya di Indonesia. Jika buku Tafsir Al-Quran di Medsos merupakan bentuk kajian Al-Quran yang dibahas secara mendalam dengan konteks kekinian, lalu buku Saring Sebelum Sharing sebagai bentuk kajian beberapa hadis sahih maka buku Ngaji Fikih menjadi pelengkap atas kajian ilmu fikih yang tentu tak bisa dilepaskan dari penerapan hukum-hukum Islam itu sendiri.

Ushul Fiqh atau ilmu fikih adalah cabang hukum Islam yang mempelajari teori serta sumber Islam dalam rangka menghasilkan hukum-hukum agama yang sejalan dengan prinsipnya, serta baik bagi kemaslahatan umat. Jika hukum-hukum yang berasal dari Al-Quran dan hadis disebut syariat maka hukum-hukum yang berasal dari ijmak, qiyas, serta sumber lainnya disebut fikih. Dan ilmu fikih inilah yang justru melibatkan banyak pendapat para ulama dari masing-masing mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali), sebelum kemudian diputuskan menjadi sebuah ketetapan hukum.

Proses perumusan hukum fikih yang melalui diskursus panjang, juga memuat berbagai hikmah, salah satunya adalah bagaimana sikap tawaduk senantiasa dimiliki para sahabat serta ulama dalam mengkaji, berpendapat, hingga memutuskan satu perkara yang melibatkan kepentingan khalayak tersebut.

Maka, melalui buku ini, Gus Nadir tak hanya menyajikan prinsip hukum fikih dan cara memutuskan perkara yang benar, tetapi juga mengulas sejarah hukum fikih, bagaimana ilmu fikih bekerja, hingga pertanyaan-pertanyaan hukum Islam yang diajukan warganet pada era Milenial ini, yang tentu disusun secara tekstual agar dapat dipraktikkan secara kontekstual.

Semuanya dijawab secara tuntas oleh Gus Nadir, bahkan disampaikan secara santai tanpa mengurangi nilai serta hakikat mencari ilmu agama yang selama ini menjadi modal berkembangnya Islam di dunia. Ini menjadi penting karena jarang sekali ulama fikih yang membahas hukum-hukum melalui teknik pendekatan khususnya kepada para Milenial.

Apalagi ilmu fikih yang disampaikan oleh Gus Nadir ini juga berasal dari sumber kitab-kitab fikih yang justru belum banyak diketahui orang sebelumnya sehingga menjadi nilai tambah, sekaligus kemudahan bagi pembaca dalam memahami konteks dan isinya.

Gus Nadir yang juga seorang akademisi berharap besar melalui buku ini agar para pembaca dapat memilih “guru ngaji” yang tepat pada era media sosial ini. Juga pembaca tak sampai tersesat dalam memahami hukum fikih dan hukum syariat yang sebenarnya karena sejatinya Islam adalah agama yang memudahkan.

Menebar kebaikan

Meneladani Nabi Muhammad : Menjadi Cahaya Tanpa Menghakimi

Salah satu tujuan diutusnya nabi Muhammad adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia. Sebagaimana yang tercantum dalam salah satu hadis shahih dalam kitab Shahih Bukhari.
Selain itu, nabi Muhammad juga diperintahkan untuk menebar rahmat bagi manusia yang lain. Hal ini tercantum dalam Surah Al-Anbiya ayat 107 yang artinya “Dan tidaklah kami (Allah) mengutus engaku(Muhammad), kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta.

Menjankan Perintah

Dalam rangka menjalankan kedua tugas utama tersebut, Rasulullah sering memberikan peringatan-peringatan kepada manusia. Nabi diutus kepada seluruh umat manusia membawa tugas pokok ini: mubasyiran (memberi kabar gembira) dan nadziran (membawa peringatan).

Kabar gembira yang dibawa mengenai hal-hal yang baik berupa kebajikan untuk kebahagiaan manusia, termasuk didalamnya mengenai surga yang dijanjikan. Sedangkan hal-hal yang disampaikan sebagai peringatan adalah hal-hal buruk yang harus dijauhi, yang bisa merusak tatanan kehidupan manusia, termasuk didalamnya konsekuensi di akherat kelak berupa siksa neraka. Kedua tema ini disampaikan secara seimbang dalam dakwah Nabi Muhammad Saw.

Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.(Saba’ : 28)

Menghakimi dan menghitung-hitung kemungkinan seseorang akan masuk neraka atau surga bukan termasuk tugas Nabi, karena hal tersesbut telah menjadi hak perogratif bagi Allah. Bahkan ditegaskan pula Nabi Muhammad tidak akan dimintai pertanggungjawaban akan mereka yang menolak peringatan darinya. Tugas beliau Saw hanya berdakwah.

Itu sebabnya Nabi Muhammad Saw dikatakan bukan orang yang berkuasa atas mereka. Nabi tidak bisa memaksakan kehendaknya atas keyakinan mereka. Sekali lagi, al-Quran menegaskan bahwa tugas Nabi memberi peringatan (mudzakkir).

 

Jangan Menghakimi

Maka berilah peringatan. karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka. (Al-Ghasyiyah. 21-22)
Dengan kata lain, ayat di atas memberitahu kepada Nabi:
Hai Muhammad, berilah manusia peringatan dengan apa yang engkau diutus kepada mereka untuk menyampaikannya. Tapi tidak perlu memaksa mereka mengikutimu karena engkau tidak berkuasa atas apa yang ada dalam hati mereka. Mereka mengikuti ajaran Islam atau tidak, bukan urusanmu, tapi semata faktor hidayah dan rahmat dari Allah.

Jika nabi Muhammad yang diutus langsung oleh Allah sebagai pengingat, pun, tidak diperkenankan untuk menjadi penentu bagai seseorang apalagi kita yang berposisi sebagai umat yang mengikutinya.

Mestinya, kebaikan-kebaikan seperti pembawa kabar gembira dan penebar rahmat kita ikuti sesuai kapasitas kita, tanpa perlu melebihkan wewenang kita untuk memberikan label pada manusia lain.

Bermadzhab dalam beribadah

Bekenalan dengan Madzhab

Apa yang pertama kali kita pikirkan ketika mendengan kata madzhab? Mungkin sebagaina besar akan menjawab aliran atau jawaban sejenis. Padalah secara bahasa madzhab artinya metode atau pendapat dan sama sekali bukan aliran yang tidak boleh dipersandingkan seperti persepsi kebanyakan dari kita.

Bermadzhab dalam beribadah

Dengan demikian kata-kata “apakah setiap orang harus bermazhab” harus dibaca “apakah setiap orang harus memili

ki pendapat dan/atau metode dalam Islam?” Tentu saja tidak harus! Orang awam tidak harus bermazhab. Orang awam bebas memilih pendapat mana saja yang ia sukai. Kaidah mengatakan al-aami la mazhaba lahu (orang awam itu tidak bermazhab).

 

Bolehkah Mencampur Madzhab?

Persoalan atau perdebatan yang muncul berikutnya adalah “apakah mencampr madzahab” itu diperbolehkan?
Dalam hal campur mencampur madzhab ini setidaknya ada tiga konsep yang harus kita pahami yaitu:

1. melakukan tarjih terhadap pendapat ulama
2.beribadah dengan mencampur berbagai mazhab (talfiq)
3. pindah mazhab secara total

Apa itu tarjih? Tarjih adalah memperkuat pendapat ulama dengan menggunakan “review” dari ulama lainnya atas pendapatnya tersebut. Hal ini tidak dapat dilakukan secara sembarangan karena pada satu madzhab yang sama, pun, akan mudah ditemui pendapat ulama yang berbeda-beda. Maka tarjih ini perlu mempertimbangakn konteks, preferensi serta kapabilitas para ulama yang kita gunakan ebagai “riview” atas pendapat ulama yang lain.

Kalau Talfiq itu berpindah-pindah madzhab secara pasrial. Berbeda dengan tarjih yang harus dilakukan oleh ulama ahli tarjih, talfiq ini lebih mudah dan dapat dilakukan oleh siapapun termasuk orang awam.

Sehingga muncullah perdebatan dan labelling sebagai plin-plan, tidak konsisten dan mempermainkan syariat. Ulama sendiri memang memiliki pendapat yang berbeda-beda mengenai praktik talfiq ini. Ada yang tidak memperbolehkan sama sekali, ada yang memperbolehkan secara mutlak ada pula ulama yang menyatakan perlu dilihat dahulu seperti apa konteksnya pencampuran tersebut.

Contoh dalam Keseharian

Misalnya pada kasus wudhu, jika kita berwudhu menggunakan madzhab Syafi’i yang berarti tidak perlu mengusap keseluruhan rambut. Maka persepsi kita tentang batalnya wudhu juga harus mengikuti Imam Syafi’i yaitu batal jika menyentuh lawan jenis yang bukan termasuk mahram.

Namun apabila kita mengikuti tata cara wudhu menurut Madzhab Hanbali yang mewajibkan membasuh keseluruahn rambut, maka persepsi kita mengenai batalnya wudhu juga ikut Hanbali yaitu tidak batal bersentuhan dengan lawan jenis bila tanpa disertai syahwat.

ilmu fikih untuk kemanusiaan

Mengenal Fikih demi Agama yang Lebih Humanis

Mengenal fikih dan memahaminya secara utuh, terkadang lupa untuk dilakukan. Pengenalan dan pemahaman secara utuh, tidak terlepas dari belajar tentang sejarah kemunculan agama.

Ada beberapa agama yang oleh sejarawan digolongkan sebagai agama samawi atau agama langit, satu di antaranya yaitu Islam. Hal ini akan berpengaruh kepada konstruksi pemikiran kita dalam memahami agama Islam. Kita mengenalnya sebagai kumpulan aturan dan norma yang turun dari “atas” dan kita di bawah tinggal mengikutinya.
Tidak ada ulama yang mempertentangkan gagasan dasar tersebut, gagasan bahwa sumber ajaran agama Islam tidak berkompromi dengan manusia.

Perdebatan yang dimulai, adalah pilihan antara apakah kitab suci bersifat qadim (terdahulu) atau hadis (baru). Para ulama bersepakat bahwa dalam menentukan hukum atas suatu perkara yang khusus, yang belum ditemukan pembahasannya secara tekstual, maka diperlukan intepretasi. Hasil interpretasi inilah yang melahirkan cabang ilmu baru bernama fikih. Maka kita perlu mengenal fikih secara khusus dan memahaminya.

 

Bagaimana Cara Memahami Fikih?

Para ulama ahli fikih mendasarkan pengambilan hukum pada berbagai kaidah yang disepakati. Semuanya bertujuan untuk menghidupkan maqashid syariah (landasan aksiologis) atau nilai yang menjadi tujuan dalam beragama. Maqashid syariah ini, pun, mengalamai perbedaan pendapat.

Ada yang mengatakan lima poin dan ada ulama yang mengatakan enam poin. Poin-poin tersebut antara lain adalah hifd–ad-din (menjaga agama), hifd–an–nafs (menjaga jiwa), hifd–al–mal (menjaga harta benda), hifd–al–aql (menjaga akal), hifd-an-nasab (menjaga keturunan).

Dari pemahaman teks klasik, tafsir, interpretasi, analogi serta berbagai dukungan ilmu lain yang dapat mengkorelasikan kondisi yang terjadi saat ini dengan sumber hukum utama yaitu Al-Quran dan Hadis makan terwujudlah fikih yang kita kenal saat ini.

Seperti apa wujudnya? Hukum meninggalkan puasa ramadan, hukum menyentuh anjing, cara bersuci, zakat, dan lain-lain yang lebih bersifat praktis dibanding filosofis. Hal ini menjadi wajar, karena fikih merupakan turunan dari berbagai nila yang menajadi bahan pertimbangan.

 

Apakah Fikih Adalah Ilmu yang Kaku?

Tidak. Ilmu fikih adalah ilmu praktis, bukan ilmu kaku. Pengambilan hukum (istinbath) dalam fikih dilakukan dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemanusiaan dan juga diberlakukan dengan tujuan kemanusiaan.

Oleh karenanya, berdampingan dengan fikih, lahirlah ilmu bernama ushul fikih. Ilmu ini mempelajari bagaimana cara pengambilan hukum terhadap peristiwa tertentu. Metodologi apa yang harus digunakan serta memahami cara mengaplikasikan pendapat sahabat hingga ulama dalam mendasari suatu hukum.

Dari sini, kita dapat menyadari mengapa dalam melakukan praktik ibadah dan praktik muamalah dalam kehidupan keseharian tidak bisa seragam. Fikih ada bukan untuk menyeragamkan umat, tetapi untuk memberi pijakan dalam melakukan sesuatu. Sehingga apabila terjadi perbedaan pendapat, perbedaan sikap ulama maupun suatu kelompok kita tidak perlu menghujat dan terburu-buru mempermasalahkan selama hal tersebut dalam rangka bersama-sama mewujudkan maqashid syariah agama Islam.

Kita harus tetap berpegang teguh bahwa satu-satunya Al-Hakim adalah Allah, jadi kita tidak perlu menjadi hakim untuk praktik keberagaan orang lain. Kita perlu menngingat bahwa fikih yang sedang kita jalankan adalah upaya untuk mencapai nilai keimanan dan ketakwaan, bukan upaya pembenaran tindakan kita kepada manusia yang lain.

© Copyright - Bentang Pustaka