Rich result on Google's SERP when searching for 'masalah hidup'

Masalah Hidup Tak Kunjung Usai? Buku Ini akan Menyelamatkanmu

Masalah hidup memang tiada habisnya. Terlebih di situasi pandemi yang sangat menguji kewarasan kita. Mulai dari mobilitas yang terbatas, penghasilan yang kian menipis, hingga perasaan was-was yang berlangsung setiap saat. Segala sesuatu yang tadinya normal seketika bergejolak. Jika tidak berhati-hati, kita akan didera perasaan cemas yang berkepanjangan.

Ketidakpastian akan masa depan sungguh membayang. Tak heran jika ada banyak orang yang kesulitan beradaptasi lalu berujung depresi. Kampanye yang muncul belakangan ini membuka mata kita bahwa depresi maupun perasaan cemas yang berlebihan tak boleh disepelekan. Kesehatan mental adalah kunci utama bagi kebahagiaan hidup. Untuk mengatasi masalah hidup yang semakin membebani ini, kita perlu segera mencari pertolongan. Cara yang paling tepat adalah dengan menghubungi para ahli maupun terapis. Namun sebagai langkah awal, mencari referensi buku yang tepat untuk menenangkan jiwa juga bisa menjadi solusi.

 

Mengurai Masalah Hidup Lewat Filsafat Kuno

Jules Evans, pengelola Well-Being Project di Centre for the History of the Emotions di Queen Mary, University of London, pernah mendapati dirinya hidup dalam rasa cemas, depresi, serta stres pasca-trauma selama bertahun-tahun.

Melalui risetnya, Jules mengetahui bahwa gangguan-gangguan emosional ini nyatanya dapat ditangani dengan CBT (Cognitive Behavioural Therapy atau Terapi Perilaku Kognitif). Sebulan setelah menjalani terapi itu, ia tidak lagi terkena serangan panik. Kepercayaan dirinya kembali muncul, bahkan mampu mencerna emosi yang meluap secara tiba-tiba. Menariknya, ide dan teknik-teknik dalam CBT ternyata tak asing—mengingatkannya pada pengetahuan seputar filsafat Yunani Kuno.

Salah satunya adalah ajaran Socrates. Socrates menyatakan tanggung jawab kita sendirilah untuk “merawat jiwa”, dan inilah yang diajarkan filsafat kepada kita—seni psikoterapi, yang berasal dari bahasa Yunani dengan makna “merawat jiwa”. Kitalah yang harus menguji jiwa sendiri dan memilih prinsip serta nilai-nilai mana yang masuk akal dan mana yang membahayakan. Dalam konteks ini, filsafat merupakan suatu bentuk pengobatan yang dapat kita lakukan sendiri.

“Riset yang dilakukan oleh Jules Evans ini kemudian dituangkan ke dalam buku berjudul Philosophy for Life: And other dangerous situasions. Mengingat isi buku ini sangat ampuh untuk menyelamatkan kita dari kondisi tertekan akibat berbagai masalah hidup, kami pun memutuskan untuk menerbitkan edisi Bahasa Indonesianya: Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya. Tak perlu memiliki basis filsafat untuk membacanya. Pembahasan buku ini sangat ringan hingga bisa dibaca oleh siapapun,” ujar Nurjannah Intan, editor Nonfiksi di Bentang Pustaka.

Menyelesaikan Masalah Hidup dengan Berguru pada Filsadat Kuno

 Baca juga: Luka Batin Tak Kunjung Reda, Terapkan Cara Berikut untuk Menyembuhkannya!

 

Terapi Jiwa, Sebuah Solusi

Henry Manampiring, influencer sekaligus penulis Filosofi Teras, mengemukakan bahwa karya Jules Evans ini bisa berfungsi sebagai terapi jiwa. “Jika kamu masih menganggap filsafat sebagai topik yang mengawang-awang dan tak berguna, buku ini akan mengubah pandanganmu. Dengan bahasa yang lugas dan penuh cerita menarik, Evans menunjukkan bahwa filsafat justru bisa menjadi ‘terapi jiwa’ dan pilihan laku hidup (way of life). Kita bisa belajar dari kaum Stoa bagaimana tangguh menghadapi kesulitan hidup, dari kaum Epicurean menemukan kenikmatan hidup sejati, dari Phytagoras soal mendisiplinkan mental, dari kaum Skeptis cara untuk tidak mudah dibohongi, dan lain-lain. Kamu bisa belajar menjadi lebih bijak dalam menjalani hidup dengan ide dan pemikiran yang sudah bertahan ribuan tahun di dalam buku ini. Buku ini juga menjadi salah satu inspirasi saya menulis Filosofi Teras.

 

Masa pre-order Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya akan segera berlangsung pada 1—11 Oktober 2020 di laman bentangpustaka.com

pengertian mindfulness

3 Elemen Mindfulness: Cara Mudah Memahami Pengertian Mindfulness

Dalam bahasa Indonesia, mindfulness bisa diterjemahkan menjadi kesadaran diri atau kesadaran batin. Sekilas, kesadaran pikiran seakan adalah sebuah keadaan di mana kita sadar, yaitu tidak dalam posisi tidur atau pingsan. Tapi, pengertian mindfulness lebih dari sekadar posisi “sadar” atau “bangun.” Ada elemen mindfulness yang membentuk pengertian mindfulness secara mendalam.

Ada banyak cara untuk menjelaskan pengertian mindfulness. Menurut kamus Oxford, mindfulness adalah “sebuah keadaan mental yang dicapai dengan memusatkan kesadaran pada momen saat ini, sambil mengakui dan menerima perasaan, pikiran dan sensasi tubuh, digunakan sebagai teknik terapi.” Sementara itu, Christopher Willard, seorang praktisi mindfulness dan pengajar Harvard Medical School lebih menyukai definisi mindfulness sebagai “memberi perhatian kepada momen saat ini dengan penerimaan dan tanpa penilaian.”

Walaupun ada banyak pengertian dari berbagai sumber, mindfulness memiliki 3 elemen utama. Christoper Willard menuliskan ketiga elemen mindfulness dalam bukunya yang berjudul Growing Up Mindful. Elemen tersebut tersebut merupakan fondasi penting yang bisa dijadikan pedoman untuk menerapkan mindfulness.

  1. Memberi Perhatian

Memberi perhatian atau memperhatikan merupakan tugas yang cukup berat bagi kebanyakan orang. Kita sering meminta atau diminta seseorang untuk memperhatikan. Tapi, semua orang hanya meminta perhatian tanpa pernah mengajarkan cara untuk memperhatikan. Jadi, jangan heran jika kita kesulitan untuk memberi perhatian.

Padahal, memberi perhatian adalah elemen penting dalam menerapkan kesadaran diri. Memperhatikan tidak hanya dilakukan saat mendengarkan penjelasan guru atau nasihat orang tua. Memperhatikan bisa dilakukan di setiap momen. Christoper Willard memberi tips untuk mengubah kata “memperhatikan” dengan kata “melihat.”

  1. Kontak dengan Momen Saat Ini

Selain kesulitan untuk memberi perhatian, kita juga sulit untuk melakukan kontak dengan momen saat ini. Kontak tersebut dapat berupa merasakan apa yang terjadi saat ini, bukan memikirkan masa depan atau masa lalu. Kita tidak terbiasa kontak dengan saat ini karena menganggap saat ini tidaklah penting atau hanya sekadar angin lalu. Kita terlalu fokus merancang masa depan dan memikirkan kejadian di masa lalu.

Menurut Lao-Tzu, Bapak Taoisme, depresi adalah keadaan di mana kita terpaku pada masa lalu, sementara kecemasan adalah terperangkap di masa depan. Depresi dan kecemasan merupakan keadaan mental yang tidak sehat dan penghalang kebahagiaan. Inilah sebabnya kontak dengan saat ini sangatlah penting. Dengan merasakan momen saat ini, kita dapat menemukan ketenangan yang memicu kesehatan mental dan kebahagiaan.

  1. Penerimaan Tanpa Penilaian

Ketika merasakan saat ini, kita tidak perlu menilai baik dan buruknya apa yang terjadi atau melawan fakta. Kita cukup merasakan dan menerimanya. Dengan merasakan dan menerima momen saat ini, di situlah saat kita dapat mendapat ketenangan dan perspektif lain. Rasa tenang tersebut muncul karena kita dapat berhenti mengkritisi keadaan dan diri sendiri, sekalipun orang lain meneriakkan kekurangan kita.

“Saat kita hidup dan terbuka dengan pengalaman pada momen saat ini, daripada masa depan atau masa lalu, kita menemukan bahwa momen saat ini lumayan juga, atau bahkan menarik.” – Christopher Willard, Growing Up Mindful

Ketiga elemen tersebut wajib dipraktikkan supaya dapat menerapkan mindfulness dengan tepat. Memang dalam praktiknya, mindfulness tidak semudah yang dibayangkan, namun sekarang sudah banyak latihan mindfulness yang ditujukan untuk pemula, bahkan anak-anak. Buku Growing Up Mindful, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, merupakan panduan tepat untuk melatih mindfulness bagi pemula karena ditujukan untuk anak dan keluarga.

 

Baca juga: Manfaat Mindfulness untuk Kesehatan Mental dan Fisik

Manfaat Mindfulness

Manfaat Mindfulness untuk Kesehatan Mental dan Fisik

Banyak orang enggan menerapkan mindfulness atau kesadaran pikiran dengan alasan sulit. Menerapkan mindfulness memang tidak semudah membalik telapak tangan. Namun, dengan sedikit ketelatenan dan cara yang tepat, kita sudah dapat merasakan manfaat mindfulness.

Mindfulness atau kesadaran pikiran adalah memberikan perhatian kepada momen saat ini tanpa menilai. Artinya, kita murni merasakan dan mengamati apa yang terjadi tepat pada momen saat ini di dalam diri kita maupun lingkungan sekitar. Mindfulness sendiri dianggap cukup sulit dilakukan karena kita sulit untuk berkonsentrasi tanpa memikirkan masa depan atau masa lampau.

Padahal, praktik mindfulness memiliki manfaat yang beragam untuk kesehatan. Christopher Willard dalam buku Growing Up Mindful menjelaskan bahwa mindfulness memberi manfaat terhadap mental, fisik, perilaku, akademis hingga otak manusia. Untuk mendapatkan manfaat dari mindfulness, kita tidak harus sering bermeditasi atau yoga. Kabar baiknya, buku Growing Up Mindful juga menjelaskan cara-cara dan latihan mindfulness dalam kegiatan sehari-hari. Berikut beberapa manfaat mindfulness untuk kesehatan mental dan fisik. Manfaat positif untuk aspek lainnya dapat dibaca lebih dalam di buku Growing Up Mindful.

  1. Manfaat Mindfulness untuk Kesehatan Mental

Mindfulness sangat memengaruhi otak manusia dengan mengubahnya ke arah yang lebih positif. Perubahan otak ini berpengaruh terhadap kesehatan mental kita. Penelitian di Harvard Medical School menunjukkan bahwa mindfulness dapat merangsang perkembangan korteks prefontal, bagian otak yang dapat menekan rangsangan sehingga kita tidak langsung bereaksi terhadap sebuah emosi. Berikut efek positif dari perkembangan koteks prefontal terhadap kesehatan mental:

  • Memperbaiki suasana hati
  • Mengatasi depresi, kecemasan, perilaku obsesif kompulsif, kecemasan sosial, post-traumatic stress disorder (PTSD), dan borderline personality disorder (BPD)
  • Meningkatkan self-esteem (perasaan terhadap harga diri), self-love (rasa cinta terhadap diri sendiri), kepercayaan diri, hingga rasa sayang kepada orang lain.
  1. Manfaat untuk Kesehatan Fisik

Orang yang berkesadaran pikiran lebih peduli terhadap kesejahteraan dirinya. Hal ini dikarenakan mereka cenderung lebih bahagia, menyadari harga dirinya dan mencintai diri sendiri. Karenanya, orang yang dengan kesadaran pikiran memiliki gaya hidup yang lebih baik.

Selain itu, mindfulness juga dapat membangunkan energi positif dalam tubuh. Bahkan, sudah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa energi positif tersebut membantu pemulihan penderita kanker. Berikut beberapa manfaat mindfulness untuk kesehatan fisik:

  • Meningkatkan kekebalan tubuh
  • Membantu tidur
  • Memperbaiki kesehatan makan
  • Membantu asma, inflamasi, dan pemulihan pascaoperasi.
  • Mengurangi stres karena hormon
  • Mengurangi sakit kronis.

Manfaat mindfulness dapat dirasakan sesuai dengan seberapa dalam kita melakukan praktik kesadaran pikiran. Semakin terlatih kesadaran pikiran kita, semakin besar pula manfaat yang kita rasakan. Jadi, alangkah baiknya jika kita mempraktikkan mindfulness sejak dini, bahkan sejak anak-anak. Supaya anak bisa melatih mindfulness dengan mudah, orang tua bisa mengikuti latihan dan praktik dari buku Growing Up Mindful.

 

Baca juga: Mengenali Gejala Stres Pada Anak dan Cara Menghadapinya

Perkembangan emosi sosial anak

Tahap Perkembangan Emosi Sosial Anak

Walaupun tidak dapat dilihat secara kasat mata, emosi sosial anak merupakan faktor penting dalam menunjang perkembangannya. Sayangnya, saat ini kesadaran mengenai pentingnya emosi sosial anak masih kurang. Padahal, memahami emosi sosial dapat membantu orang tua mengerti kebutuhan dan perilaku anak.

Emosi adalah perasaan seseorang yang muncul atas respons terhadap suatu hal. Sementara itu, emosi sosial merupakan perasaan yang dirasakan oleh seseorang akibat keadaan sosial seperti perilaku orang lain. Contohnya, anak dapat memiliki perasaan percaya, kepercayaan diri, rasa menyayangi, dan pertemanan.

Perkembangan emosi sosial anak perlu diperhatikan oleh orang tua karena akan berpengaruh terhadap perilaku anak.  Ketika anak memiliki kemampuan emosi sosial yang baik, anak dapat mengerti perasaan orang lain dan mengontrol perasaan dan perilakunya sendiri. Berikut tahap-tahap perkembangan emosi sosial anak.

  1. Emosi Sosial Tahap I: Usia bayi – 2 tahun

Tahap ini merupakan tahap harapan.  Di tahap ini, bayi akan belajar mengenal harapan dan belajar memahami reaksi orang-orang di sekitarnya mengenai harapan bayi. Tahap ini juga disebut tahap learning trust vs mistrust.

Ketika harapan bayi diberi tanggapan positif oleh orang lain, bayi akan merasa aman dan percaya terhadap orang di sekelilingnya. Tapi, jika harapannya ditolak, bayi akan merasa tidak aman dan sulit untuk percaya orang. Contohnya, jika orang tua memeluk bayi ketika dia menangis, bayi akan merasa aman berada di dekat orang tua. Namun, ketika orang tua mengabaikan tangisannya, bayi akan kesulitan untuk percaya kepada orang tua.

  1. Emosi Sosial Tahap II: 18 bulan – 4 tahun

Tahap ini merupakan fase ketika anak akan belajar kemandirian dan rasa malu melalui rasa ingin tahu mereka yang alami. Respons orang di sekililingnya akan memengaruhi perilaku anak. Jika orang tua selalu melarang dan menganggap apa yang anak lakukan keliru, anak akan dihantui rasa malu, tidak mandiri, dan perasaan selalu bersalah. Mereka akan ragu untuk melakukan sesuatu. Namun, jika orang tua mendukung proses belajar mereka, anak akan lebih mandiri dan percaya diri.

  1. Tahap III: Usia 3 – 6 tahun

Di tahap ini, anak belajar menerima penolakan maupun penerimaan. Di usia 3 hingga 6 tahun, anak sedang aktif bermain. Ketika anak berinisiatif untuk bermain, dia akan melihat tanggapan orang di sekitarnya. Apakah orang lain memberi tanggapan positif atau negative? Jika lingkungan sekitar memberi tanggapan positif, anak akan mengembangkan kemampuan berimajinasi dan kerja sama.

  1.  Tahap IV: Usia 5,5 – 12 tahun

Usia 5,5 hingga 12 tahun merupakan waktunya anak belajar berkompetensi dalam sebuah kelompok. Ada 3 kemampuan yang anak kembangkan yaitu mematuhi aturan, bermain dengan struktur tertentu, dan menguasai materi pelajaran sekolah. Kemampuan tersebut yang akan menentukan tinggi rendahnya kemampuan kompetensi anak.

Karena orang tua merupakan aktor penting dalam menunjang perkembangan anak, orang tua perlu mempelajari cara yang tepat menanggapi perkembangan emosi sosial anak. Selain itu, orang tua juga harus peka terhadap cara anak menunjukkan perkembangan emosi sosialnya. Cara anak menunjukkan emosi sosialnya bisa jadi berbeda dengan anak lain walaupun mereka ada di tahap yang sama. Untuk memahaminya, orang tua dapat mempelajari psychological parenting. Saat ini, sudah banyak buku parenting yang membantu orang tua sadar akan perkembangan emosi anak, misalnya buku Gentle Discipline yang diterbitkan Bentang Pustaka.

 

Baca juga: Menangani Kemarahan kepada Anak hingga Akarnya

Tantangan Mendidik Anak Generasi Internet

Tantangan Mendidik Anak Generasi Internet

Beda generasi beda pula karakteristiknya. Untuk mengimbangi karakteristik anak pada setiap zaman, pola asuh anak pun harus menyesuaikan karakteristik anak pada zaman tersebut. Mengasuh anak yang karakteristik generasinya sangat berbeda dengan generasi orang tua merupakan sebuah tantangan mendidik anak Generasi Internet. Generasi internet merupakan Generasi Z dan Generasi Alpha.

Generasi Z merupakan generasi yang lahir setelah 1997 hingga 2010. Sementara itu, Generasi Alpha lahir setelah 2010. Dua generasi tersebut sering disebut sebagai Generasi Internet karena mereka lahir saat internet sudah mulai berkembang. Terlebih lagi, Generasi Alpha lahir saat internet sudah berkembang pesat. Bahkan, mereka sudah mengenal gadget sejak mereka masih bayi. Oleh karena itu, tidak heran jika kedua generasi tersebut memiliki karakteristik yang sangat berbeda dari generasi lainnya.

Mendidik anak Generasi Internet membutuhkan kemampuan dan energi ekstra. Perbedaan zaman membuat orang tua harus bisa beradaptasi dengan teknologi internet dan mengerti pola pikir anak yang berbeda dengan kita. Berikut beberapa tantangan mendidik anak Generasi Internet.

  1. Anak lebih pintar dari orang tua

Generasi Alpha dianggap sebagai generasi yang paling pintar. Tidak ada yang salah jika anak lebih pintar daripada kita. Namun, kita perlu memiliki pengetahuan yang luas untuk mengimbangi pengetahuan dan rasa penasaran anak. Hal ini dikarenakan anak Generasi Internet memiliki rasa penasaran yang tinggi. Menambah pengetahuan akan membantu kita untuk menjawab pertanyaan yang belum bisa mereka jawab sendiri. Dengan begitu, kepercayaan anak kepada orang tua bahwa orang tua dapat membimbing mereka pun akan bertambah.

Keuntungan lainnya, ketika kita bisa mengimbangi pengetahuan anak, kita dapat satu frekuensi saat mengobrol dengan anak. Sebuah langkah baik untuk meningkatkan kedekatan anak dengan orang tua. Namun ingat, kita perlu menyesuaikan pengetahuan sesuai dengan zamannya.

  1. Kesehatan mental yang rentan

Kesehatan mental anak Generasi Internet rentan terganggu karena banyaknya tantangan sosial yang anak hadapi, terutama di sosial media. Akses networking yang semakin mudah di internet membuat mudahnya anak menerima cyber bullying. Di internet, orang-orang bisa mengutarakan pendapatnya tanpa aturan yang jelas. Oleh karena itu, mudah bagi orang-orang untuk mengomentari kehidupan orang lain di internet. Mereka tidak merasa segan memberikan komentar negatif baik kepada orang yang asing maupun orang yang mereka kenal. Bahkan, bullying dalam kehidupan nyata secara langsung juga semakin mudah terjadi. Hal ini dikarenakan kebiasaan cyber bullying yang terbawa hingga di kehidupan nyata.

  1. Anak kecanduan gadget

Kecanduan gadget merupakan hal yang cukup sulit untuk dicegah bagi anak Generasi Internet. Oleh karena itu, kontrol orang tua terhadap penggunaan gadget perlu diperhatikan. Sayangnya, mengontrol penggunaan gadget anak tidaklah mudah.

Saat ini, sebagian besar kehidupan mereka dilakukan di internet dan dengan gadget, mulai dari kehidupan sosial hingga akademik. Orang tua harus pintar memberi batasan kapan anak bisa menggunakan gadget dan kapan mereka perlu istirahat dari gadget sejenak.

  1. Akses informasi yang tidak terbatas

Kemudahan akses informasi merupakan hal positif bagi anak dan juga orang tua. Dengan begitu, kita bisa mengembangkan pengetahuan kita dan tetap up to date terhadap isu yang sedang berkembang. Namun, kemudahan akses informasi juga memudahkan anak mengakses hal negatif atau informasi yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan anak. Mencegah anak untuk mengakses informasi yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan anak memang cukup sulit. Hal ini bisa dibantu dengan pengaturan parental controls di gadget anak.

Tantangan mendidik anak Generasi Internet memang bukan tantangan yang mudah. Namun, perhatian dan relasi yang baik dengan anak dapat membantu orang tua mengatasi tantangan tersebut. Terlebih lagi, bila anak dan orang tua saling percaya dan terbuka, orang tua tidak perlu terlalu khawatir terhadap kesejahteraan anak. Selain itu, orang tua bisa mencari informasi dari sumber tepercaya seperti buku parenting, situs web tepercaya, maupun psikolog untuk mengatasi tantangan tersebut.

gejala stres anak

Mengenali Gejala Stres Pada Anak dan Cara Menghadapinya

Apa saja gejala stres anak? Tidak hanya orang dewasa, ternyata anak-anak juga bisa mengalami stres. Sayangnya, stres pada anak jarang dibahas, bahkan dianggap mitos belaka. Pasalnya, sosok anak-anak selalu identik dengan kesan polos dan ceria. Sementara itu, di sisi lain anak-anak juga memiliki tuntutan untuk berproses dan belajar. Selain itu, anak-anak belum memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup untuk menghadapi suatu masalah.

Beban tugas sekolah, tuntutan orang tua, dan faktor lingkungan sering kali  menjadi pemicu stres pada anak. Sebetulnya stres wajar terjadi. Stres merupakan salah satu bentuk respons alami manusia terhadap ketakutan. Namun, jika stres pada anak tidak dikelola dengan baik, ia akan semakin sulit ditangani saat  besar nanti.

gejala stres anak

source: Caleb Woods from Unsplash

Gejala Stres Anak

Stres pada anak bisa kita kenali melalui perubahan perilaku yang terjadi pada mereka. Hal ini didasarkan pada respons paling mendasar manusia terhadap tekanan, yaitu lawan atau lari (fight or flight). Respons lawan atau menyerang, akan muncul sebagai konflik. Misal, anak menjadi rewel, mudah marah atau membantah. Sementara itu, respons lari atau menghindar akan muncul sebagai kecemasan. Contohnya, anak terlihat murung atau menarik diri, tidak mau makan ataupun diajak pergi bersama.

Jika gejala-gejala tersebut dibiarkan terlalu lama, bisa memengaruhi suasana hati dan kemampuan anak untuk berpikir jernih. Fungsi imunitas anak juga bisa terganggu, hingga anak menjadi gampang sakit. Selain itu, otak anak akan terprogram untuk reaktif sehingga mereka akan sulit berpikir jernih.

Menghadapi Anak yang Mengalami Stres

Hal pertama yang bisa kita lakukan sebagai orang tua adalah menjadi pendengar yang baik. Dekati anak dan coba biarkan mereka membuka diri. Anak-anak mungkin belum bisa memahami permasalahan yang dialaminya sendiri sehingga kita perlu mendengarkan dulu sampai tuntas apa yang mereka rasakan dan apa yang mereka alami. Biarkan mereka membuka diri dan pastikan kita juga menyambut mereka dengan tangan terbuka. Tanyakan apa yang kira-kira bisa membuat mereka merasa lebih baik? Kemudian, tawarkan solusi yang sekiranya bisa membantu tanpa penekanan apa pun.

Kita juga perlu melatih anak untuk memahami dan menghadapi rasa stres yang dialaminya. Salah satunya adalah dengan mengenalkannya pada kesadaran diri (mindfulness). Latihan kesadaran diri yang meliputi latihan pernapasan dan relaksasi pikiran sangat bermanfaat bagi tubuh, sistem kardiovaskular, dan kinerja otak. Latihan ini bisa dilakukan bersama-sama di rumah. Referensi latihan kesadaran diri untuk anak bisa ditemukan dalam buku Growing Up Mindful yang ditulis oleh Christopher Willard, seorang profesor dalam bidang psikoterapi anak. Buku tersebut akan segera diterbitkan oleh Bentang Pustaka dan Anda bisa segera mendapatkannya di Mizanstore. Jangan sampai ketinggalan!

© Copyright - Bentang Pustaka