Yesus Anak Manusia: Sebuah Kisah Tuhan yang Manusiawi

novel, tuhan, yesus, manusiaBanyak novel yang mengangkat fenomena ketuhanan sebagai tema cerita. Sebagaimana sifat-sifat ketuhanan, kebanyakan dari cerita itu selalu mendudukkan Tuhan sebagai sesuatu yang berjarak dengan para makhluk-Nya, termasuk manusia. Tuhan yang Esa, Tuhan yang Maha Segalanya. Pengultusan dan ritus kepada-Nya selalu berada pada sekat antara pencipta dan makhluk, gusti dan hamba, yang menyembah dan yang disembah. Semua perilaku manusia selalu dibatasi akan ketakutan-ketakutan dalam belenggu penghambaan. Uniknya, di dalam Yesus Anak Manusia, semua itu terpatahkan. Mengapa?

Yesus adalah Manusia

Bagi sebagian orang yang menganggapnya utusan, Ia adalah juru selamat. Bagi sebagian lain yang membenci-Nya, sekadar menyukai-Nya, atau malah tak peduli sama sekali dengan-Nya, Ia adalah manusia biasa. Kita, manusia-manusia, tentu akan dengan biasa menganggap-Nya sebagai kawan, tetangga, atau malah orang asing. Anggapan yang beraneka itulah, tak lain tak bukan, lantaran Ia manusia. Dan Ia, layaknya kita, dilahirkan dari rahim perempuan, rahim manusia.

Yesus orang Nazaret dilahirkan dan dibesarkan seperti kita; ibu dan ayah-Nya seperti orang tua kita, dan Ia manusia biasa.

Yesus, Tuhan yang Manusiawi

Kita mestilah membayangkan diri kita sendiri. Dalam melihat Yesus sekalipun. Dianggap baik, dianggap bermanfaat, dianggap tak berguna, merupakan hal yang lumrah disematkan kepada seseorang oleh orang lain. Bukan hanya sebab Ia manusia, tetapi karena Ia juga manusiawi. Manusia yang dapat kecewa dan nelangsa, juga yang mengasihi dan menyayangi sesamanya. Dialah yang tercipta oleh cinta. Seorang manusia yang meski telah penuh kecintaan, tak sedikit pula yang membenci-Nya. Dan, itu semua karena Ia manusiawi.

Mana ada orang yang penurut dan lembut berkata, “Aku-lah kehidupan, dan Aku-lah jalan kebenaran?”

Dalam Yesus Anak Manusia, kita akan melihat Tuhan yang berbicara, mendengarkan, berjalan, duduk, makan, dan minum. Kita akan merasakan Tuhan yang sedih, kecewa, marah, gembira, dan nelangsa. Kita akan menjumpai Tuhan yang dipuja-puja, disanjung, dicintai, diagungkan, ditertawakan, dihinakan, dicaci maki, bahkan dirantai. Dalam buku ini, kita akan membaca riwayat anak manusia.

Sekarang kau akan tahu mengapa beberapa dari kita menyebut-Nya Anak Manusia.

Ia sendiri ingin disebut dengan nama itu karena Ia tahu rasa lapar dan haus manusia, dan Ia memandang manusia mencari diri-Nya yang Agung.

Selengkapnya dalam Yesus Anak Manusia!

 

–Lugas Ikhtiar

seorang perempuan yang merindukan kebebasan

Citra Perempuan dalam Balutan Kekangan Religi

Perihal status dan tingkatan perempuan seolah menjadi topik yang tidak ada habisnya. Perempuan dan lelaki seolah memiliki perbedaan atas keleluasaan, bahkan untuk diri mereka sendiri. Pemahaman dan pemikiran mengenai hal tersebut telah ada dan eksis dalam masyarakat secara umum. Proses awal dan pemulaannya, tidak diketahui pasti tepatnya. Namun, jika ditarik garis dari masa lalu, masa-masa yang dipercaya dalam beberapa kepercayaan, bahwa ada masa-masa ketika perempuan begitu menjadi “objek”. Menjadi sesuatu yang terkontrol penuh dari orang yang dianggap wali atau berhak atas setiap hak-haknya. Seiring berjalannya waktu, pemikiran ini tergerus oleh pemikiran-pemikiran baru, terutama dari mereka yang terkena imbas buruk atas keberadaan pola pikir yang sedemikian rupa.

Membongkar Atas Dasar Luka

Dalam Sayap-Sayap Patah, pemahaman ini dibuat sebagai sesuatu antagonis yang sedang diperangi oleh sang tokoh utama yang jelas memiliki posisi sebagai protagonis. Dalam kisah ini, tokoh Aku sekaligus narator menceritakan pasang surut perasaannya pada Selma Karamy. Selma Karamy adalah wanita yang dijelaskan sebagai anak dari latar belakang yang begitu spesial, sebab ayahnya merupakan keluarga Uskup. Latar belakang ini sekaligus menjadi ranjau bagi hubungan tokoh Aku dan Selma. Sebab, tidak mudah bagi Selma Karamy untuk bisa semaunya memilih pasangan. Latar belakang itu mengikatnya, dan merenggut haknya untuk memilih.

Sayap-Sayap patah dipercaya sebagai suatu kisah yang diambil dari kehidupan sang maestro dunia, Kahlil Gibran. Tokoh Selma Karamy disebut-sebut sebagai sosok yang berasal dari masa lalunya, sekaligus cintanya yang pertama. Meski harusnya diterima sebagai fiksi belaka, beberapa orang masih beranggapan bahwa tulisan ini adalah cara Kahlil Gibran mengritik pandangan sosial pada era tersebut.

Dibalut dengan Religi

Meski berusaha  membongkar, Kahlil tidak menghilangkan jati dirinya sebagai seorang penyair yang lihai dalam pemilihan kata. Dipilihnya serangkaian diksi yang indah, sehingga baik impresi pembaca terhadap Selma Karamy, kisah cinta antarkeduanya, bahkan kasus keagamaan yang membungkusnya menjadi begitu padu. Kisah dengan kasus citra perempuan dalam hal hak yang terenggut ini seperti yang akan mengingatkan pembaca pada beberapa kisah sejenis, seperti Romeo dan Juliet. Kisah membawa perempuan-perempuan mereka pada belenggu yang memberi mereka akhir yang begitu mengenaskan. Kisah ini mengantarkan keindahan pada pembaca, membeberkan pandangan Kahlil dengan balutan latar religi yang pas.

Dapatkan bukunya di  https://mizanstore.com/sayap-sayap_patah_republish_70424

Pemaknaan pada Sebuah Perjalanan

Bagi beberapa orang, perjalanan adalah bagian dari pembelajaran kehidupan. Sebuah pasang surut yang terus terjadi adalah sarana orang-orang merefleksikan diri mereka. Dalam karyanya yang satu ini, Kahlil Gibran menuliskan terkait pemahaman dan pemaknaan dalam kehidupan. Perjalanan identik dengan menemukan, penemuan baru, mendapatkan perspektif baru, dan penerimaan. Karya kondang yang berjudul The Prophet telah dialihbahasakan oleh Sapardi Djoko Damono dengan judul Almustafa. Tentu tanpa mengubah isi cerita, hanya lebih menyorot pada sang tokoh Almustafa, sang tokoh utama, melakukan perjalanan panjang yang memberi pemaknaan pada hal-hal yang ditemui dan terjadi di dalam perjalannya tersebut.  Almustafa membungkus refleksi dan konsumsi rohani dengan kalimat-kalimat puitis dan diksi yang indah.

Refleksi untuk Kualitas Diri

Sejatinya setiap hal yang terjadi dalam kehidupan adalah perjalanan itu sendiri. Buku-buku yang mengantarkan pada satu permasalahan ke permasalahan lainnya, atau perjalanan ke perjalanan lainnya membawa pembaca dalam interpretasi yang begitu luas. Seolah mendayung melampaui dua pulau, Almustafa mampu berperan sebagai perjalanan dalam sebuah buku, sekaligus buku yang mengusung penafsiran tentang perjalanan kehidupan. Sebuah paket kombo untuk self-help bagi mereka yang ingin meningkatkan kualitas diri dari buku yang mengusung topik konflik kehidupan. Kahlil Gibran dengan khas yang tidak menghakimi dan terlalu menggurui para pembacanya. Almustafa sebagai perpanjangan tangan untuk menyampaikan nilai moral pada kisah-kisah yang diusungnya. Segala penemuan dan perspektif yang bertolak belakang, dihadirkan sebagai media refleksi dan cermin untuk berkaca pada yang telah lalu.

The Prophet telah mengantarkan pembaca pada sebuah pemahaman tentang kehidupan dengan lebih menyenangkan. Almustafa tidak menempatkan dirinya sebagai mahatahu yang menyebalkan. Kahlil Gibran menjadikan tokoh utamanya ini sebagai figur yang membumi dan penuh pengertian. Sebab itulah, karya yang nyaris berusia seratus tahun ini telah menarik perhatian para pembaca dari seluruh dunia dan terus memberi nilai kehidupan dengan diksi-diksi yang indah. Almustafa bisa menjadi rekomendasi bacaan pada krisis-krisis kedirian, juga sebagai pembaruan refleksi diri yang sederhana tetapi berdampak besar.

Dapatkan buku Almustafa: di https://mizanstore.com/al_mustafa_republish_70454

 

sebuah buku tua yang memancarkan manfaat seperti karya Kahlil Gibran

Karya Kahlil Gibran Satu Abad yang Tetap Terkini

Kahlil Gibran dikenal oleh khalayak umum sebagai sastrawan dunia dengan karya-karya yang berdiksi indah. Padanan kata yang dirangkai menjadi satu kesatuan yang memiliki karakteristik khas seorang Kahlil Gibran. Tidak hanya dikenal dengan keindahannya semata, karya-karya Kahlil Gibran juga dikenal dengan kritik sosial yang terjadi pada masanya. Konflik-konflik yang berada di lingkungannya diadaptasi menjadi suatu karya tulis yang menarik. Tidak hanya demikian, tulisan-tulisan beliau seolah menjadi rujukan para penyair “berguru”. Daya tarik lainnya sebab karya ini juga dipercaya sebagai adaptasi kisah cinta dari sang maestro sendiri

Satu Abad yang Tak Kunjung Padam

Salah satu karya yang lahir dari tangan piawai Kahlil Gibran adalah Sayap-Sayap Patah. Karya ini perdana terbit dengan judul The Broken Wings, terbit sebagai poetic-novel yang dituliskan pertama kali dalam Bahasa Arab. Terbitan pertama kali pada tahun 1912. Terhitung pada tahun ini, karya sastra dunia ini telah hadir di dunia literasi sejak 109 tahun yang lalu. Satu abad lebih! Karya tersebut terus-menerus dikonsumsi oleh para pembaca—bahkan dari seluruh dunia, dan telah diterjemahkan dalam banyak bahasa. Sayap-Sayap Patah yang merupakan kisah cinta dengan diksi indah dan romantis, menambah daya tarik karya satu ini. Seolah menjadi satu paket yang utuh, kisah cinta dengan diksi yang indah ditawarkan lewat karya sastra dunia yang satu ini.

Baca juga https://www.arabnews.com/node/1613941/lifestyle

Karya yang direkomendasikan

The Broken Wings terus hadir menjadi karya yang dirujuk untuk proses kreatif. Begitupun dalam Bahasa Indonesia, telah diterjemahkan dengan judul Sayap-Sayap Patah. Di tahun 2021 ini, Bentang Pustaka menghadirkan karya ini kembali dalam edisi bahasa Indonesia. Bentang Pustaka menghadirkan penerjemah yang mampu menerjemahkan karya Kahlil Gibran menjadi relevan di Indonesia, Sapardi Djoko Damono. Edisi Sayap-Sayap Patah kali ini seolah tetap menjaga karya ini terus menarik perhatian, tanpa menghilangkan orisinalitas, sekaligus menyesuaikan dengan pembahasaan di Indonesia. 109 bukan tahun yang sebentar, tapi relevansi karya ini masih begitu kentara dan direkomendasikan untuk para pembaca di seluruh dunia.

 

 

 

dalam perjalanan, manusia menemukan pemaknaan dan kebijaksanaan

Kebijaksanaan dalam Sebuah Perjalanan Panjang

Banyak sekali makna kebijaksanaan. Dalam setiap hidup manusia, mereka menemukan pembentukan kebijaksanaannya sendiri. Beberapa lahir dari hasil kepasrahan, beberapa lainnya hadir karena suatu badai dalam hidup mereka. sisanya mungkin menemukan tanpa interpretasi apa-apa, alias muncul begitu saja. Tidak sedikit pula yang seolah memilikinya sejak kemunculan mereka di bumi. Dan menebarkannya pada sesama. Seperti yang dilakukan “Nabi” dalam buku ini. Seorang manusia yang digambarkan dengan kebijakan seutuhnya. Seorang tokoh ini, dilahirkan oleh Kahlil dengan komponen yang dibutuhkan oleh manusia kebanyakan: hidup yang penuh dengan rasa lapang.

Dari kelapangan, manusia mempersembahkan kebijaksanaan untuk hidupnya sendiri. Almustafa menebar banyak petuah bijak. Menebarkannya sebagai suatu media refleksi, dan sebuah kaca pada diri sendiri. Tidak mudah menjadi seseorang yang mempertanyakan banyak hal pada hidup, dan menjawabnya dengan pikiran yang positif dan penuh ketenangan. Di samping mampu menjawab segala tanda tanya yang dihadirkan oleh kehidupan, Kahlil Gibran masih dapat merangkai dan membungkus jawabannya dengan keindahan kata.

Sebuah Bacaan Penuh Ketenangan

Barangkali memang kehidupan tidak pernah memberikan ketenangan seterusnya. Silih berganti rasa kalut dan ketidakstabilan menampakkan diri dalam kehidupan manusia. Segala rasa marah tidak jarang menjadi suatu pegangan saat segalanya tidak berjalan baik. Namun, sudah pasti bukan itu tujuan dari kehidupan. Hidup seperti bahtera, seperti yang dihadirkan Kahlil Gibran dalam tulisannya yang mendunia ini. Pada sebuah perjalanan panjang dengan kapan di laut yang begitu luas, Kahlil Gibran memperumpakaan hidup dengan segala pasang surutnya. Di dalamnya, dimunculkan banyak tanda tanya yang bisa jadi tebesit dalam pikiran manusia yang sedang kebingungan dengan arah kehidupan.

Kahlil Gibran membungkus kehidupan dalam bentuk tulisan yang penuh keindahan. Sastrawan asal Lebanon ini menuliskan petuah tanpa menjadikannya menjadi tulisan yang menggurui dan membosankan. Kahlil Gibran tidak sedang menempatkan dirinya sebagai Sang Maha Tau. Meletakkan tokoh Almustafa dalam bukunya ini, ia sedang membangun cermin diri bagi para pembacanya. Sebuah media refleksi, dalam sebuah petualangan panjang Almustafa menemui pasang dan surut.

Baca juga https://www.bbc.com/news/magazine-17997163

Jadilah Salah Satu Pembaca

Almustafa karya Kahlil Gibran ini dapat disebut sebagai sebuah buku penuh rasa aman dan tenang. Pada bulan April ini akan terbit kembali, dengan rasa yang tidak berubah. Tanpa mengurangi esensi yang berusaha dihadirkan Kahlil Gibran dalam setiap perjalanan dan makna-makna kehidupan yang ditemukannya, bacaan ini mampu menjadi inspirasi.

kekalutan cinta sayap patah

Kekalutan Cinta Sayap-Sayap Patah

kekalutan cinta sayap patah

Kekalutan cinta di Sayap-Sayap Patah selalu memiliki daya tarik tersendiri bagi para pembaca di seluruh dunia. Pada beberapa hal, motif dari cerita romance selalu berulang dan sering kali membentuk “pasar” pembacanya sendiri. Dengan motif yang nyaris selalu sama tersebut. tidak sedikit karya-karya sastra yang menghadirkan kisah cinta dengan balutan konsep yang lebih “meyakinkan”, tidak melulu perkara patah hati dan berporos pada cinta. Misalnya, yang dilakukan oleh Kahlil Gibran pada tulisannya yang berjudul Sayap-Sayap Patah ini. Kahlil seolah memberikan suatu pembuktian bahwa kisahnya ditulis melampaui persoalan cinta, meski memang genre yang diusungnya dalam balutan romance. Ada yang berusaha disampaikannya, dan itu tersirat dengan begitu rapi di dalam karyanya ini.

Kekalutan Cinta Sayap-Sayap Patah

Sayap-Sayap Patah terbit pertama kali pada tahun 1922 dengan judul Broken Wings dan ditulis dengan Bahasa Inggris. Beberapa orang mempercayai bahwa kisah yang satu ini disadur dari kisah kekalutan cinta Sayap-Sayap Patah milik Kahlil Gibran sendiri. Nuansa romance yang dihadirkan begitu nyata, jelas menimbulkan spekulasi bagi para pembacanya pertanyaan yang hingga kini hadir: apakah kekalutan ini benar dirasakan oleh Gibran pada masa itu, sehingga terasa begitu dekat dan nyata? Tidak pernah ada jawaban yang memvalidasi pertanyaan itu. Satu-satunya yang pasti adalah Kahlil Gibran menuliskan karyanya dengan diksi yang begitu indah. Serta, rasa sakit yang dihadirkan terbalut dalam konflik sosial.

(Baca juga Memaknai Cinta dalam Sayap-Sayap Patah)

Rasa dari Bahasa ala Kahlil dan Sapardi

Melampaui unsur romance di dalamnya, Kahlil Gibran dengan berani dan secara terang-terangan menghadirkan berbagai masalah yang berkaitan dengan nasib perempuan, penindasan, ketidakadilan, dan korupsi yang terjadi di Lebanon. Dan, dalam kisah ini semua itu bersumber pada penguasa agama, yakni Uskup.

Karya fenomenal ini kembali hadir. Peminat Kahlil Gibran bisa mulai bersua dengan alur cerita yang membawa pembacanya dalam kekalutan rasa. Dengan alihbahasawan Sapardi Djoko Damono, rasa yang dituliskan oleh Kahlil Gibran ditransformasi dengan begitu baik dengan memberikan sentuhan puitis dan metaforanya. Hal ini menjadi tidak teragukan lagi, mengingat sang penerjemah juga merupakan seorang penyair. Buku ini menjadi “medan” yang menemukan orang yang tepat untuk menggambarkan rasa yang berusaha disampaikah Kahlil Gibran, sesuai dengan segmentasi pembaca di Indonesia. Sayap-Sayap Patah yang hadir untuk masyarakat ini bak Kahlil Gibran yang dibalut oleh Sapardi, dengan kekalutan rasa yang sama.

 

Sastra Kahlil Gibran

Dari Kahlil Gibran: Sastra Sang Nabi Untuk Dunia

The Prophet (Sang Nabi/Almustafa) menjadi salah satu sastra besar di dunia, mengikuti ketenaran yang telah melekat pada sosok Kahlil Gibran. Kahlil Gibran dikenal sebagai maestro yang menghasilkan serangkaian karya yang romantis dan melankolis. Menyadur dari kehidupan dan kisah cintanya, beliau melahirkan karya yang tragis, dan memberi banyak hal inspiratif. Kahlil Gibran menghembuskan karsanya yang kemudian terkemas dalam satu judul: The Prophet. Kahlil Gibran menghidupkan tokoh bernama Al-Mustofa dalam bukunya ini. The Prophet menjadi karya Kahlil Gibran pendobrak—barangkali pula sebagai penguat dari stereotip tersebut. Melalui konflik yang ada pada kehidupannya, penulis merefleksikannya menjadi petuah sekaligus media meditasi spiritual.  Terbit pertama kali pada tahun 1923 tidak mengurangi eksistensi karya ini di mata para pembaca di seluruh dunia.

Sastra Kahlil Gibran

Buku The Prophet telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 40 bahasa. Selain itu pula menjadi karya ranah public, dan beberapa di antaranya telah memiliki penyesuaian dan interpretasi baru, meski tidak mengubah isi cerita sesuai yang telah dituliskan Kahlil Gibran. Dengan interpretasi-interpretasi tersebut, masyarakat umum mampu meleburkan –pemaknaan buku tersebut sesuai dengan pemahaman mereka masing-masing. Salah satunya adalah Al-Mustafa, terbitan Bentang yang akan hadir kembali dalam bentuk cover baru pada bulan Maret 2021. Mengubah judul menjadi suatu usaha untuk menghadirkan pendekatan masyarakat Indonesia dengan isi buku. Usaha untuk memberi interpretasi baru tanpa mengubah substansi karya.

Spiritualitas dalam Sastra Kahlil Gibran

Kahlil Gibran menembus batas perihal bahwa sastra sekadar mengandung nilai estetika. Pada tulisannya kali ini, sastrawan Lebanon ini menghadirkan lebih dari estetika, nilai-nilai sosial dan inspiratif. Menghadirukan tokoh nabi dalah kisah ini menjadi sesuatu ikon dan tanda bagi nilai-nilai moral yang disampaikan kepada pembacanya. Identitas tokoh Al-Mustafa sebagai seorang nabi mampu menghadirukan sesuatu yang lebih valid untuk menggambarkan nilai-nilai spiritual dalam setiap potongan-potongan perjalannya.

Baca juga: Almustafa: Kisah Kenabian Penuh Manfaat

Seseorang yang dikisahkan telah mendiami sebuah kota yakni Orphalese dalam waktu hingga 12 tahun dan hendak menaiki kapal yang akan membawanya pulang. Dalam perjalanannya tersebut Al-Mustafa banyak memberikan dan menerangkan petuah. Petuah tersebut menjadikan buku tersebut digolongkan menjadi bab-bab yang berhubungan dengan persoalan cinta, pernikahan, anak-anak, pemberian atau hadiah, makan minum, pekerjaan, suka dan duka, perumahan-perumahan, pakaian-pakaian, jual beli, kriminalitas atau kejahatan beserta ganjarannya, peraturan-peraturan, keterusterangan, akal budi, hasrat atau keinginan besar, rasa penderitaan, pengenalan akan diri sendiri, kegiatan pembelajaran dan pengajaran, jalinan pertemanan, perbuatan baik dan buruk, persembahyangan, kepelesiran atau kesenangan, keindahan, agama dan kematian. Menghadirkan hal-hal yang lekat pada kehidupan sehari-hari dengan bungkus diksi yang sarat akan nilai estetika tetap menjadi karya yang khas ala Kahlil Gibran. Al-Mustafa mampu menjadi opsi sebagai bacaan pembangkit kembali kebutuhan moralitas dan inspirasi dalam diri.

© Copyright - Bentang Pustaka