Mbah Nun Bertutur: Ungkapan Emha tentang Jati Diri Bangsa yang Terkikis

Emha Ainun Nadjib dalam karya terbarunya yang berjudul Mbah Nun Bertutur mengungkapkan bahwa tanpa disadari, kita telah kehilangan jati diri bangsa. Jati diri bangsa Indonesia sudah dikikis total oleh sekularisme negara yang kita jalankan.

Baca juga: Kata Mbah Nun tentang Bangsa Indonesia

Salah satu penyebabnya adalah rakyat manut saja karena tidak pernah diberi tahu beda kasus antara sekularisme dan sekularisasi. Banyaknya konflik kepentingan yang beradu dalam menjalankan negara juga menjadi faktor yang memperparah keadaan.

Bangsa Indonesia Tidak Punya Pemimpin

Indonesia adalah bangsa yang tidak pernah punya pemimpin di negaranya, begitu tutur Mbah Nun dalam bukunya yang terbit April 2021 lalu. Tidak pernah ada kepemimpinan dengan kematangan nilai-nilai kehidupan, kearifan dalam kebersamaan, kecanggihan dalam kedamaian, komprehensif-dialektis dalam menangani keragaman. Bahkan, sekadar profesional di bidangnya pun tidak. Mbah Nun beropini bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang bermain-main ketika memilih pemimpin, bahkan dengan berani memain-mainkan nilai-nilai kehidupan, meremehkan ketergantungan dan kebutuhan manusia terhadap harmoni.

Implementasi Pancasila yang Gagal

Sila pertama dalam Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” pun dianggap tidak benar-benar diterapkan dalam praktik kehidupan bernegara. Tak ada kesungguhan dari pemerintah, kaum ilmuwan, para negarawan, dan kelas menengah untuk mengelaborasi sila pertama menjadi aplikasi dan implementasi dalam bidang sosial, politik, hukum, dan budaya. Sejak memproklamasikan kemerdekaan pada 1945 hingga sekarang, Mbah Nun menilai bahwa setiap orang, tokoh, dan kelompok, memfokuskan langkahnya demi pelampiasan kepentingan golongannya sendiri.

Mayoritas Bangsa Indonesia Muslim, Seharusnya…

Jika mayoritas penduduk Nusantara beragama Islam, seharusnya kehidupan bangsa Indonesia ini penuh keteduhan budaya, kelembutan perilaku, kedamaian sosial, keseimbangan berpikir, keutuhan kepribadian, kematangan manajemen, ketertataan bermasyarakat dan negara. Apabila sebuah negara mayoritas warganya beragama Islam, mestinya kebaikan, kebenaran, dan keindahan menguasai wilayah-wilayahnya. Sementara keburukan, kebrutalan, pencurian, korupsi, dan segala macam yang munkar tersingkir dan terpinggirkan. Namun, mengapa bukan pemandangan seperti itu yang kita jumpai di Indonesia? Bahkan, ada kecenderungan sebaliknya?

 

Bangsa Indonesia menggembor-gemborkan Pancasila sebagai dasar negara, tapi semua perilaku kenegaraan dan langkah-langkah pemerintah adalah copy-paste sekularisme global. Tidak ada konteks martabat sebagai bangsa dan manusia. Dalam wacana pemerintahan dan kenegaraan Indonesia, tidak ada urusan dengan harga diri bangsa.

Jika, kalau, bila, dan andaikan… Harus berapa pengandaian lagi yang disebutkan untuk menggambarkan Indonesia? Kapan bangsa kita akan sampai pada titik kata-kata pengandaian itu tak lagi diperlukan?

Baca selengkapnya tulisan terbaru Emha Ainun Nadjib dan opininya terhadap Indonesia dalam Mbah Nun Bertutur. Dapatkan segera bukunya di sini. Ikuti informasi terbaru tentang buku-buku Emha dari Instagram Pustaka Cak Nun.

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

Kata Mbah Nun tentang Bangsa Indonesia

Kata Mbah Nun tentang Bangsa Indonesia

Kata Mbah Nun tentang Bangsa Indonesia

Apakah kamu termasuk salah satu orang yang kerap memikirkan kondisi negeri? Sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang besar, terwujudnya persatuan dan kesatuan adalah hal yang kita impikan bersama. Namun, tentu saja itu tidak mudah dicapai.

Baca juga: Menuturkan Indonesia dari Fenomena Emha

Kerja sama yang baik antara pemerintah dan rakyat merupakan satu dari sekian syarat agar Indonesia bisa menjadi negara demokratis yang utuh. Emha Ainun Nadjib, dalam karya terbarunya Mbah Nun Bertutur, mengemukakan opininya terhadap kondisi Indonesia dengan gamblang.

Indonesia Gagal Mengelola Perbedaan

Mbah Nun dengan berani menyatakan bahwa Indonesia di era modern adalah negara yang gagal mengelola perbedaan, kecuali mengatasinya dengan otoritarianisme radikal, pembubaran, pembunuhan, atau de-eksistensi konstitusional. Menurut sang penulis, bahasa yang digunakan akhir-akhir ini untuk mengalamatkan hal itu sangatlah radikal. Makar, sempalan, ekstremis, teroris, dan anti adalah beberapa di antaranya.

Tak hanya itu, Indonesia kini diperkokoh oleh aktivis-aktivis Islam yang berpikir datar dan linier, sama radikal dan otoriternya. Hampir semua yang tidak sejalan dengan mazhab yang dipercaya oleh golongan mereka dituding haram, bidah, syirik, tagut, atau kafir. Perbedaan dan diversitas dipandang sebelah mata. Oleh beberapa pihak, justru dianggap sebagai pedang pemecah belah. Toleransi? Sepertinya bangsa kita memerlukan pemaknaan baru untuk itu.

Semboyan Indonesia: Bhinneka Gagal Ika?

Mbah Nun melihat bahwa mayoritas rakyat Indonesia tidak mengerti nasib mereka, tidak memahami apa yang sedang menimpa mereka, apalagi yang akan menimpa mereka pada masa depan. Rakyat sama sekali tidak mendapat peluang pendidikan politik dan kenegaraan pada pratik nyatanya. Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan umumnya hanya berfokus pada menghafal Undang-Undang Dasar (UUD), Pancasila, dan sederet pasal. Namun, pemaknaannya nihil.

Mengutip dalam Mbah Nun Bertutur, bangsa Indonesia melahirkan buzzer-buzzer perusak kehidupan, pengkhianat sejarah, dan pembunuh nilai-nilai dasar kemanusiaan. Bagi Emha, Indonesia adalah bangsa yang pemerintahnya selalu sombong dan omong besar tentang persatuan serta kesatuan, padahal tidak punya ilmu dan wibawa untuk mempersatukan. Selalu omong kosong tentang Bhinneka Tunggal Ika, padahal praktiknya selalu Bhinneka Gagal Ika.

 

Mbah Nun Bertutur memang berisi banyak tentang cerita kehidupan Emha muda, tetapi kritik dan opini terhadap situasi negara yang tak pernah luput dituangkannya dalam setiap karyanya menjadikan buku ini bacaan yang reflektif dan kontemplatif. Meskipun periode prapesan telah berakhir, Mbah Nun Bertutur masih dapat ditemukan dalam katalog Bentang Pustaka di sini.

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

Menuturkan Indonesia dari Fenomena Emha

Membincang fenomena Emha (meminjam istilah Halim HD) memang tak pernah ada habisnya. Pemikirannya selalu menembus batas-batas demarkasi intelektual, dimensi spiritual, bahkan standar moral di tengah-tengah masyarakat. Gerakan sosialnya pun menarik karena naluri aktivismenya yang selalu memposisikan diri di luar arus dan pagar mainstream. Energi hibrida agamawan-budayawan-aktivis-penulis-oratornya membuatnya tak pernah absen dari upaya memadukan aneka rupa senyawa estetika, religiusitas, sosial, politik, dan kultural kedalam sebuah bejana kehidupan yang tidak hanya harmonis, tetapi juga puitis dan terkadang magis.

Sebagai mahluk multidimensi yang langka, tidak mengherankan jika ia sering disalahpahami oleh banyak kalangan. Tak jarang frekuensi kepentingan orang-orang di kursi kuasa, di pucuk kharisma, dan di hulu-hilir niaga terganggu oleh dentingan Saron dan Bonang serta lautan tinta kritisisme seorang Emha. Tak sedikit pula dari mereka yang pernah aktif di lingkaran utama towaf dan jalur sa’i sosial-budaya sang ‘Kiai Mbeling’ ini datang dengan puja dan cinta namun pergi dengan iri dan dengki semata karena salah menilai Emha.

Kesalahpahaman itu mungkin wajar terjadi. Pertama karena memang ada kecenderungan kronis di masyarakat kita, ketika memandang sebuah fenomena budaya, sosial, bahkan politik dengan kacamata kuda. Kedua karena Emha ini memang tipe manusia ruang yang mampu menampung, bukan perabot yang selalu membutuhkan tempat bernaung. Trajektori hidupnya bukan sekolah-kuliah-harta melimpah-hidup mewah, tetapi nyantri-berpuisi-berdramaturgi-jalan sunyi. Ini membuat upaya untuk memahaminya harus dilakukan dengan dua pendekatan sekaligus. Dari sudut pandang etic yang selama ini sudah banyak dilakukan oleh para kritikus dan khalayak. Juga dari sisi emic yang mencoba menggali relung-relung terdalamnya yang selama ini tersembunyi.

Mbah Nun Bertutur, buku terbaru Emha yang diterbitkan Bentang Pustaka April 2021 ini menawarkan narasi emic yang sedikit berbeda tentang fenomena Emha. Buku ini bisa juga disebut autoethnography atau otoetgrafis karena seluruh isinya merupakan hasil self-reflection atas pemikiran dan pengalaman Emha sendiri sejak kecilnya hingga tiga perempat abad perjalanan hidupnya. Dari judulnya saja, ada dua nuansa utama yang tersirat. Pertama Mbah, sebuah panggilan dalam khazanah budaya Jawa yang mengisyaratkan hubungan lintas generasi, tetapi juga mengandung nilai ‘keramat’, penghormatan, tetapi juga kasih-sayang terutama dari para cucunya. Kedua bertutur, ini juga idiom Jawa yang sudah diadopsi ke dalam bahasa Indonesia dan memiliki makna amelioratif dari sekedar bercerita atau bercakap-cakap. Ada Nuansa reflektif si Mbah yang amat merindukan cucu-cucunya, dan sebaliknya, saling bertutur di gardu tengah desa menjelang senja.

Dan nampaknya, momentum pandemi Covid-19 yang sudah berlangusng lebih dari setahun ini memberikan ruang kontemplatif yang begitu tenang dan dalam bagi Emha. Berbagai macam untold stories yang selama ini tertimbun oleh padatnya jadwal keliling dan seluruh aktivitas publik yang ia jalani tanpa henti terselip di buku ini. Sejak masa kecil di Jombang, nyantri di Gontor, masa muda di Jogja yang begitu transformatif, hingga pergumulan di hampir semua arena teater sosial Indonesia di semua cita-rasa presiden yang memimpinnya, bahkan ‘penggelandangan’ pribadi dan pentas-pentasnya bersama Kiaikanjeng di seluruh benua, hampir semua tertutur singkat di sini. Ada banyak anekdot, pemaknaan baru, bahkan pengakuan faktual di sana-sini yang membuat pembaca buku ini lebih ngeh, sambil sesekali menganggukkan kepala seraya bergumam “oh…ternyata…”

Kekhasan buku-buku Emha selama ini memang seperti jembatan. Isinya kumpulan essai yang dirangkai menjadi satu buku tematis yang dalam beberapa kesempatan ia sebut berposisi diantara puisi dan artikel. Dan format ini memungkinkan jangkauan pembaca yang lebih inklusif. Namun demikian, keberpihakannya kepada wong cilik nampak tetap sangat jelas dari hampir semua judul yang diangkat di banyak bukunya, termasuk di buku ini. Sehingga kaum elit yang meskipun secara sembunyi-sembunyi ikut menikmati subliman pesan-pesan mendasar dari beragam tulisan Emha, mereka akan enggan mengonfirmasinya ke publik bahwa inspirasinya dinukil dari sana.

Etos utama bertuturunya masih sangat kentara, yaitu dengan dua nafas utama. Pertama, dekonstruksi atas doktrin agama, nilai budaya, pakem sosial, formula politik, maupun, collective believe yang berlaku di masyarakat. Kedua, kecenderungan ‘menggugat’ seluruh bentuk institusionalisasi dan formalisasi dari semua dialektika tersebut, yang dalam banyak aspek memang mengkerdirkan logika dasar kemanusiaan, persaudaraaan, dan saling menghargai sesama.

Yang menarik, berbeda dengan banyak sekali buku-buku Emha sebelumnya, buku ini lebih ‘literatif’ menggunakan rujukan tekstual agama dari Alquran maupun hadist. Ini penting untuk dicatat. Banyak intelektual Muslim berangkat dari teks agama di masa mudanya, kemudian baru menemukan pemahaman mendasar dan konteksnya di masa tua. Tetapi Emha, ia menyelami berjuta konteks untuk memahami nilai-nilai substansial agama sejak masa muda, baru kemudian merangkai simpul-simpul justifikasi teksnya di usia senja.

Dan ini mungkin yang membuat narasi bertuturnya lebih mengena, karena basis empiris di kehidupan nyatanya begitu luasnya. Dan ini pula yang barangkali membawanya ke berbagai permakluman dan permaafan kepada kedunguan siapa saja yang mendiskreditkannya, mencatut namanya, dan mengkapitalisasi ide dan kreativitasnya. Perlu diingat, ‘karir’ intelektualnya memang bukan dibangun dari kepiawaiannya menelan teori dan formula, tetapi dari meneliti setiap kata. Buku pertamanya bukan karya akademis yang jelas jarak antara penulis dan yang ditulisnya, tetapi kumpulan puisi tentang frustasi hidupnya. Judulnya saja “M” Frustasi (1975) yang mengisyaratkan betapa “Frustasi”-nya seorang e”M”ha dengan dunia seisinya.

Meskipun ada juga ekspresi-ekspresi kejengkelan atas ulah para milenial manja, atas ketidakseriusan para pemangku hajat anak bangsa, dan atas kesembronoan para cerdik pandai memilih diam seribu bahasa, Emha yang sudah menjadi ‘Mbah’ masih terus menaruh harapan besar kepada para cucunya. Mulai dari mereka yang masih setia bertani di desa-desa, yang terpaksa pergi ke kota demi nafkah keluarga, hingga para kaum papa di jalanan dan di trotoar peradaban dunia maya. Frustrasi itu sebuah energi, yang jika dituturkan akan ada kemungkinan untuk ditransformasikan. Dan energi tak pernah bisa dimusnahkan, karena ia juga tak bisa diciptakan.

Akhirnya, dengan segala analogi, imajinasi, dan empatinya, sangkan paran buku Mbah Nun Bertutur ini sebenarnya bukan tentang Emha yang menuturkan dirinya. Ini buku tentang anak bangsa yang menuturkan masa depan Indonesia.

 

Ulasan buku Mbah Nun Bertutur oleh Ahmad Karim

(Mahasiswa program doktoral Departemen Antropologi Universitas Amsterdam Belanda)

Memaknai Kehidupan dengan Mbah Nun Bertutur

Bukan Emha Ainun Nadjib namanya jika tulisan-tulisannya tidak membuat para pembaca berefleksi. Karya terbarunya, Mbah Nun Bertutur, bukan hanya sebuah memoar yang menceritakan masa muda Emha ketika bertemu dengan berbagai sosok penting dalam hidupnya.

Baca juga: Karya Baru Emha Ainun Nadjib: Mbah Nun Bertutur, Akan Menemanimu pada Bulan Ramadhan!

 

Buku ini tidak hanya berisi catatan ingatan Mbah Nun mengenai bagaimana benih sebuah komunitas dituai dan ditumbuhkan. Mbah Nun Bertutur mengajak kita untuk memaknai kehidupan yang selama ini kita jalani.

Hidup Tidak Sekadar Dijalani

Menurut Habib Anis Sholeh Ba’asyin, penggagas Suluk Maleman dan salah satu pembaca pertama Mbah Nun Bertutur, hidup pada dasarnya merupakan perihal makna. Hidup adalah tentang bagaimana kita memaknai, menafsiri, dan memberi nilai pada setiap peristiwa yang kita alami sehari-hari. Namun, makna bukan sesuatu yang bisa kita petik segera setelah sebuah peristiwa kita alami atau selepas diberikan cobaan.

Dalam bukunya, Mbah Nun mengatakan bahwa banyak hal yang semasa usia muda kita perjuangkan, tetapi baru kita sadari esensi maknanya ketika tua. Reflektif. Buku ini mendorong para pembaca untuk kembali membuka kisah pada lembaran-lembaran lama dan merenungkan runtutan peristiwa kehidupan.

Makna Kehidupan Bersifat Personal

Pemaknaan sifatnya sangatlah personal. Contohnya, bahkan jika ada dua orang mengalami kejadian yang sama persis, bagaimana mereka memaknai insiden tersebut jelas akan berbeda. Mungkin, satu orang merasa bersyukur dan seorang lagi menganggapnya sebagai hukuman yang tak adil. Bagaimana kita memaknai peristiwa lampau, akan memengaruhi bagaimana kita bertindak pada masa depan.

Melalui buku ini, selain bisa mengupas cerita Emha semasa muda hingga sekarang ini, kita juga bisa belajar bagaimana cara Mbah Nun memandang peristiwa lampau di kehidupannya, menyerapnya untuk kemudian menemukan nilai-nilai yang membentuk sebuah makna.

“Apa yang kita petik hari ini adalah yang kita tanam kemarin. Apa yang kita miliki atau tak kita miliki sekarang adalah hasil dari yang kita semaikan sebelumnya.”

Mbah Nun Bertutur masih dalam periode prapesan. Kamu bisa memilih dua paket prapesan yang ditawarkan. Jika memilih paket 1, kamu akan mendapatkan buku bertanda tangan digital Emha Ainun Nadjib. Apabila menjatuhkan pilihan pada paket 2, kamu bisa memiliki buku bertanda tangan dan kaus eksklusif. Ikuti prapesannya di sini sampai tanggal 18 April 2021! Pantau terus Instagram Pustaka Cak Nun untuk info terbaru karya-karya Mbah Nun!

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

Emha Mbah Nun Bertutur

Karya Baru Emha Ainun Nadjib: Mbah Nun Bertutur

Jika kamu bertanya-tanya buku apa yang cocok, karya terbaru Emha Ainun Nadjib adalah jawabannya, berjudul Mbah Nun Bertutur. Penulis yang akrab dipanggil Mbah Nun ini selalu aktif menuangkan buah pikirnya dalam bentuk kolom, artikel, dan esai. Kira-kira, Mbah Nun Bertutur akan membahas tentang apa?

Lanjutan Indonesia Bagian dari Desa Saya?

Ada pertanyaan menarik di sini. Beberapa telah berasumsi bahwa Mbah Nun Bertutur merupakan “sekuel” Indonesia Bagian dari Desa Saya? Tidak, Mbah Nun Bertutur dan Indonesia Bagian dari Desa Saya bukan merupakan buku serial. Namun, karya terbaru ini akan sangat “nyambung” apabila dibaca setelah Indonesia Bagian dari Desa Saya yang terbit tahun lalu.

Bahasan lebih lanjut mengenai modernisme dalam Indonesia Bagian dari Desa Saya, akan kamu temukan dalam Mbah Nun Bertutur yang menuliskan bahwa modernitas adalah anak sulung dari sekularisme. Melalui buku ini, para pembaca juga akan diperkenalkan dengan karya kesenian, “musik-puisi” yang menghiasi jagat budaya Yogyakarta pada akhir 1970 sampai awal 1980-an.

Musik-Puisi, Keseimbangan yang Ciptakan Harmoni

Jangan salah sangka, ini bukan musikalisasi puisi, puitisasi musik, puisi-musikal, atau pun musik-puitis. Mbah Nun memilih idiom musik-puisi sebab kadar dan peran keduanya dikelola untuk tetap seimbang dan komplementer. Ini bukan bunyi musik yang diaransemen sehingga menjadi puitis. Bukan pula puisi yang dinyanyikan jadi penampilan musikal. Bukan juga pembacaan puisi yang diiringi musik ilustratif. Dan bukan musik yang memimpin. sedangkan puisi jadi pelengkap penderita.

Bahkan, kalau kita menyebutnya “puisi-musik” pun tidak masalah karena keduanya seimbang. Mereka sama-sama berperan, menjadi dasar pertimbangan, dan sumber inspirasi kreatif, musik dan puisi menghiasi satu sama lain hingga menghasilkan harmoni. Penyatuan, keseluruhan, dan keseimbangan. Itu adalah makna dari karya musik-puisi menurut Mbah Nun.

Emha Mbah Nun BertuturMbah Nun Bertutur karya Emha Ainun Nadjib Sudah Hadir

Masih dengan gaya tulisnya yang sama, dicampur dengan istilah bahasa Jawa, disisipkan pengetahuan tentang Islam, dan diselipkan kebudayaan Indonesia, Mbah Nun Bertutur akan menjadi sebuah karya yang membekas di hati para pembaca. Dapatkan bukunya di sini.

 

Nur Aisyiah Az-Zahra

© Copyright - Bentang Pustaka