KEUNGGULAN
- Novel sejarah, Segala yang Diisap Langit, ini menceritakan perubahan zaman dari kejayaan para bangsawan Minangkabau yang hidup dari tambang emas menuju kekuasaan gerakan Kaum Padri di Sumatera Barat.
- Penulis menceritakan dengan kajian etnografis yang mendalam.
- Pinto Anugrah, penulisnya, adalah anak muda Minangkabau yang antusias mengajak pembacanya untuk menyelami sejarah masa lalu dengan jernih dan netral.
Tentang Penulis
Pinto Anugrah, menyandang gelar adat Datuk Rajo Pangulu, datuk pucuk, persukuan di Minangkabau. Telah menerbitkan novel Jemput Terbawa, yang terbit pada 2018 dan kumpulan cerita pendek Kumis Penyaring Kopi, yang terbit pada 2019. Pada 2019 menerima Residensi Penulis Indonesia ke Malaka-Malaysia yang diselenggarakan oleh Komite Buku Nasional (KBN) Kemendikbud, untuk menyelesaikan draf novelnya, A Famosa.
Endorsement
“Bila ada pembaca yang berpikiran bahwa segala yang berhubungan dengan budaya tradisional selalu berarti keluhuran belaka, maka bersiap-siaplah untuk kecewa sejadi-jadinya. Novel yang sangat pendek ini justru bercerita tentang pertautan abadi antara kebanggaan dan kepandiran, kepongahan dan ketidaktahuan, serta kehormatan dan kebiadaban.” –Heru Joni Putra, sastrawan
“Dengan bentuk yang belum sepenuhnya sempurna, novel ini seperti hendak mengukuhkan kembali Minangkabau yang lebih murni—katakanlah “Minangkabau pra-Islam”. Ia juga melihat secara kritis eksistensi Gerakan Padri, sebab gerakan puritanisme Islam itu ditegakkan dengan pedang dan api—selain firman Tuhan. Kita beroleh bukan hanya fiksi sejarah, tetapi juga fiksi politik. Sebuah alegori yang menohok untuk Minangkabau hari ini.” –Zen Hae, kritikus sastra
Segala yang Diisap Langit ini adalah salah satu dari sangat sedikit fiksi sejarah berlatarkan Perang Padri. Novel ini berkisah tentang sejarah keluarga ‘bangsawan’ Minangkabau dengan berbagai kurenah, fasilitas adat, warisan kekayaan (ekonomi), serta menjalin kerjasama dengan kolonialis, namun ada anggota keluarganya yang bergabung dengan kaum Padri. Novel ini tidak saja mampu menghadirkan event historis dan tokoh sejarah sebagai latar penceritaannya, tetapi juga berani menggambarkan dunia kaum Adat (Penghulu) yang ‘serbahitam’, termasuk menghadirkan kaum Padri yang mengamalkan ideologi kekerasan. Membaca novel ini, rasanya kita dibawa ke era Perang Padri di masa silam. Di sinilah kekuatan novel ini.–Prof. Gusti Asnan, sejarawan
|