Sebenarnya, hidupku berjalan sebagaimana mestinya. Tidak ada rezeki yang hilang. Hidupku dalam kecukupan materi tanpa aku harus mengaisnya di jalan. Punya rumah untuk berteduh, meski itu rumah orang tua, bukan milikku sendiri, punya kendaraan untuk bepergian. Semuanya terasa baik-baik saja, sebenarnya. Akan tetapi, bagaimana jadinya bila hidupku yang sudah cukup ini dianggap kurang oleh orang-orang yang seharusnya menjadi orang pertama yang mendukungku secara morel?
Ya, keluargaku.
[showhide type=”post10″ more_text=”Read More…” less_text=”Show less…”]
Tahun ini usiaku menginjak 30. Belum menikah. Masih bekerja sebagai pekerja honorer di kantor pemerintahan setempat. Rasanya, semua yang aku jalani saat ini adalah salah bagi mereka. Padahal, sejak dulu, jauh sebelum jalan ini sudah terlampau panjang, aku selalu menanyakan pendapat mereka. Apa pandangan mereka. Juga mengutarakan pilihan-pilihanku yang lain. Tak satu pun mimpi-mimpi yang kuceritakan itu bersambut baik. Mereka hanya ingin aku tak bekerja jauh. Kembali ke kampung halaman, tempat mereka berada. Sebuah pilihan yang sebenarnya tidak ada dalam rencanaku.
Akan tetapi, entah bagaimana aku mengambil pilihan itu. Mungkin, karena sejak kecil dulu aku juga tak pernah membuat keputusan. Sekolahku, pilihan bajuku, sepatuku, bahkan membeli handphone pun, semuanya mereka yang memutuskan. Aku tak pernah membuat keputusan besar. Hari ini, tatapan mata mereka terasa bising sekali bagiku. Melihatku seolah tak memiliki harapan dan nilai yang lebih. Aku ingin sekali lepas dari semua ini, tapi perjalananku sudah terlampau jauh. Usiaku sebentar lagi 30, sudah lebih dari 7 tahun sejak aku lulus sarjana. Dan aku sadar, tak punya keahlian apa pun yang menonjol. Bahkan, melamar kerja di tempat lain pun aku takut: takut ditolak.
Aku melihat cermin yang tergantung di kamar mandi. Kunyalakan shower, air mulai membasahi rambutku. Aku menangis di kamar mandi rumah. Biasanya aku hanya sanggup menangis di toilet kantor. Menangis karena lelah menjalani keadaan yang sama setiap harinya, lingkungan yang tak sehat, dan kejenuhan yang membunuh mimpiku.
Aku kemudian berharap, seseorang menikahiku dan membawaku pergi dari rumah ini. Harapan yang justru membuatku jatuh semakin dalam. Karena sampai usiaku menginjak kepala tiga, seseorang itu tak pernah terlihat batang hidungnya. Sementara itu, teman-teman sepermainanku tak lagi ada di kota kecil ini. Dan di lingkungan kantor, tak satu pun menarik perhatianku.
Hidup ini terasa kosong. Entah dengan cara apa lagi aku bisa mengisinya. Mengisinya dengan energi yang begitu melimpah ruah seperti saat aku kuliah dulu, bertemu dengan teman-teman sepermainanku di tanah rantau. Rumah, yang seharusnya menjadi tempat pulang, justru menjadi sesuatu yang membuatku ingin sekali segera pergi.
[/showhide]