Lagi, Sujiwo Tejo Sindir Kebobrokan Tatanan Masyarakat Lewat Buku
“Gathak dan Gathuk kelimpungan. Tanah Air mereka, Giri, telah tumpas diganyang Mataram. Bahkan junjungan mereka pun, Raden Jayengresmi—keturunan Sunan Giri Perapen—pergi entah ke mana. Gathak dan Gathuk galau. Mereka tak tahu harus mulai mencari dari mana. Tiba-tiba, Petruk terbang di atas sekerat tempe dan tahu untuk memberi petunjuk. Mereka harus berjalan ke barat. Perjalanan mereka rupanya penuh warna. Bahkan, sempat-sempatnya diundang masuk studio televisi untuk syuting acara talkshow yang tersohor se-Nusantara. Gara-garanya, seluruh warga ikut termehek-mehek menyaksikan si kembar yang tampak frustrasi mencari tuannya. Untung tak lama kemudian, Raden Jayengresmi ketemu.”
Begitulah gaya satir dan menggelitik Sujiwo Tejo dalam kutipan bakal buku terbarunya, Balada Gathak Gathuk. Setelah sukses dengan Lupa Endonesa tahun 2013 lalu, kini, kembali di bawah naungan Bentang Pustaka, lagi-lagi Sujiwo mengusung buku nonfiksi yang berbicara tentang isu sosial budaya.
“Saya bisa berpuasa makan dan minum. Namun, menghadapi dinamika sosial masa kini, saya tak mau melakoni tapa bisu,” kata Sujiwo. “Dan, demi tatanan masyarakat yang perlahan bobrok akibat korupsi ini, saya akan bicara dengan meminjam Serat Centhini,” bebernya.
Buku yang rencananya terbit akhir April ini pada dasarnya merupakan pengisahan ulang Serat Centhini oleh Sujiwo. Tak habis akal, Sujiwo bercerita menggunakan konteks kekinian dibalur dengan situasi sosial, budaya, serta politik Indonesia yang ada saat ini. Seronok, 296 halaman tulisan Sujiwo pada Balada Gathak Gathuk penuh kritik terhadap morat-maritnya dunia yang disampaikan secara “halus”.
“Jika pinjaman Serat Centhini saja tak cukup, saya menambah pinjaman dari Manuskrip Celestine tentang Sepuluh Wawasan yang ditemukan di pedalaman Peru. Bila masih kurang juga, tentu saja saya menambah pinjaman lidah dari dunia wayang,” kata Sujiwo mantap.
“Gathak dan Gathuk kelimpungan. Tanah Air mereka, Giri, telah tumpas diganyang Mataram. Bahkan junjungan mereka pun, Raden Jayengresmi—keturunan Sunan Giri Perapen—pergi entah ke mana. Gathak dan Gathuk galau. Mereka tak tahu harus mulai mencari dari mana. Tiba-tiba, Petruk terbang di atas sekerat tempe dan tahu untuk memberi petunjuk. Mereka harus berjalan ke barat. Perjalanan mereka rupanya penuh warna. Bahkan, sempat-sempatnya diundang masuk studio televisi untuk syuting acara talkshow yang tersohor se-Nusantara. Gara-garanya, seluruh warga ikut termehek-mehek menyaksikan si kembar yang tampak frustrasi mencari tuannya. Untung tak lama kemudian, Raden Jayengresmi ketemu.”
Begitulah gaya satir dan menggelitik Sujiwo Tejo dalam kutipan bakal buku terbarunya, Balada Gathak Gathuk. Setelah sukses dengan Lupa Endonesa tahun 2013 lalu, kini, kembali di bawah naungan Bentang Pustaka, lagi-lagi Sujiwo mengusung buku nonfiksi yang berbicara tentang isu sosial budaya.
“Saya bisa berpuasa makan dan minum. Namun, menghadapi dinamika sosial masa kini, saya tak mau melakoni tapa bisu,” kata Sujiwo. “Dan, demi tatanan masyarakat yang perlahan bobrok akibat korupsi ini, saya akan bicara dengan meminjam Serat Centhini,” bebernya.
Buku yang rencananya terbit akhir April ini pada dasarnya merupakan pengisahan ulang Serat Centhini oleh Sujiwo. Tak habis akal, Sujiwo bercerita menggunakan konteks kekinian dibalur dengan situasi sosial, budaya, serta politik Indonesia yang ada saat ini. Seronok, 296 halaman tulisan Sujiwo pada Balada Gathak Gathuk penuh kritik terhadap morat-maritnya dunia yang disampaikan secara “halus”.
“Jika pinjaman Serat Centhini saja tak cukup, saya menambah pinjaman dari Manuskrip Celestine tentang Sepuluh Wawasan yang ditemukan di pedalaman Peru. Bila masih kurang juga, tentu saja saya menambah pinjaman lidah dari dunia wayang,” kata Sujiwo mantap.
Fitria Farisabentang
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!