"Aroma Mistis dari Wukir Mahendra Giri"
"Aroma Mistis dari Wukir Mahendra Giri" <p style="text-align: center;"><em>Di kamarnya, Lambang terduduk lemas. Tempat gaib hanya bisa dibuka dengan kunci gaib. Mengucapkan kalimat itu dalam hati saja sudah menimbulkan penolakan dalam dirinya. Apalagi jika harus mengakuinya kepada yang lain. Ia tak tahu bagaimana memberi tahu rombongannya bahwa peta yang diwarisinya dari Sujadmiko sesungguhnya tiada guna. Berangkat tanpa juru kunci sama saja menutup satu-satunya celah keberhasilan mereka untuk menembus Dwarapala.</em></p>
<p style="text-align: center;">-<em>Aroma Karsa Part 46</em>: 497-</p>
<p style="text-align: justify;">Lambang seketika gusar. Ia tahu, menembus Gunung Lawu tanpa juru kunci sama saja dengan bunuh diri. Bukan, bukan karena mendaki Gunung Lawu merupakan hal yang berbahaya, melainkan karena niat buruk yang dibawa demi &ldquo;merebut paksa&rdquo; si Puspa Karsa. Penggambaran Ibu Suri terkait Gunung Lawu yang menyimpan sejuta kisah mistis memang bukan tanpa alasan. Di luar dongeng <em>Aroma Karsa</em> karya Ibu Suri, Gunung Lawu yang konon dulunya bernama Wukir Mahendra Giri memang dikenal sebagai tempat yang penuh aroma mistis. Berbagai macam cerita penuh misteri diturunkan dari mulut ke mulut, baik dari pendaki ataupun penduduk asli. Dari beberapa cerita yang melegenda terdapat tiga di antaranya yang selalu diperbincangkan yang juga menjadi bagian dari kisah ekspedisi pemburuan Puspa Karsa.</p>
<p style="text-align: center;"><strong>Burung Jalak si Penunjuk Arah</strong></p>
<p style="text-align: center;"><strong><img alt="" src="/sas-content/uploads/files/images/20838811_133152740633367_2614911759231746048_n.jpg" style="width: 480px; height: 480px;" /></strong></p>
<p style="text-align: center;"><b>Credit Foto: Kasih P. Handayani</b></p>
<p style="text-align: justify;">Gunung Lawu dikenal sebagai gunung tertua di Jawa. Konon, gunung ini merupakan tempat pelarian raja Majapahit terakhir, Prabu Bhrawijaya V. Setelah Prabu Bhrawijaya V melakukan moksa dan menghilang, tersisalah dua pengikut setianya, Sunan Gunung Lawu dan Kiai Jalak. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, kedua pengikut setia Prabu Bhrawijaya V ini akhirnya menjadi penjaga Gunung Lawu. Sunan Gunung Lawu menjelma menjadi makhluk gaib, sementara Kiai Lawu menjelma menjadi seekor burung jalak.</p>
<p style="text-align: justify;">Kisah mengenai burung jalak ini masih tetap dipercaya hingga sekarang. Banyak orang meyakini bahwa burung jalak Lawu sering muncul dan memberi petunjuk jalan bagi para pendaki. Uniknya, burung jalak ini akan memberikan tanggapan kepada kedatangan kita sesuai dengan niat yang kita bawa. Bagi pendaki yang memiliki niat baik, burung jalak akan menunjukkan jalan menuju puncak Gunung Lawu. Namun, bagi pendaki yang memiliki niat buruk, dikabarkan ia akan mengalami nasib yang nahas.</p>
<p style="text-align: center;"><strong>Jalur Paling Berbahaya</strong></p>
<p style="text-align: center;"><strong><img alt="" src="/sas-content/uploads/files/images/pendakian-gunung-lawu-dari-candi-cetho.jpg" style="width: 500px; height: 375px;" /></strong></p>
<p style="text-align: center;"><strong>Credit Foto: @aguswibisono</strong></p>
<p style="text-align: justify;">Ketika berbicara mengenai jalur berbahaya menuju Gunung Lawu, secara otomatis akan menyebut jalur Candi Cetho. Jalur ini merupakan jalur yang paling pendek dan cepat menuju puncak Lawu karena perjalanan dimulai dari 1.470 mdpl. Meskipun lebih pendek, jalur Candi Cetho ini termasuk jalur yang paling dihindari. Selain dipercaya sebagai jalur perlintasan alam gaib, jalur ini juga dianggap paling berbahaya jika dibandingkan dengan dua jalur lainnya, yaitu jalur Cemoro Kandang dan jalur Cemoro Sewu. Tanjakan-tanjakan di jalur ini sangat terjal, terdapat banyak jurang curam, terlebih terdapat kabut tebal yang sering turun sehingga &nbsp;membuat jarak pandang pendaki menjadi begitu pendek. Keadaan ini secara otomatis akan memperbesar risiko tersesat.</p>
<p style="text-align: center;"><strong>Pasar Setan di Lereng Gunung Lawu.</strong></p>
<p style="text-align: center;"><strong><img alt="" src="/sas-content/uploads/files/images/hqdefault.jpg" style="width: 480px; height: 360px;" /></strong></p>
<p style="text-align: center;"><strong>Credit Foto: APP</strong></p>
<p style="text-align: justify;">Selain dikenal sebagai jalur berbahaya, jalur pendakian melalui Candi Cetho juga dianggap sebagai jalur gaib. Pada jalur ini, beredar kisah mistis mengenai pasar setan. Konon, pendaki yang melewati jalur ini sering mendengar suara ramai dari pedagang tak kasatmata yang menawarkan dagangannya. Menurut cerita yang banyak beredar, apabila di sana kalian mendengar suara-suara aneh tersebut, kalian harus membuang salah satu barang yang kalian punya, sebagaimana orang yang sedang bertransaksi dengan cara barter.</p>
<p style="text-align: justify;">Nah, jika Sahabat Bentang membaca buku <a href="http://aromakarsa.bentangpustaka.com/"><span style="color:#FF0000;"><em>Aroma Karsa</em></span></a>, kalian akan menemui ketiga cerita di atas menyatu dan berpadu dalam ekspedisi Puspa Karsa. Sebuah ekspedisi yang nyaris dipenuhi dengan niat kesombongan, keserakahan, dan keangkuhan seorang Raras Prayagung. Dengan kemampuan menghanyutkan pembacanya, Ibu Suri berhasil mengajak pembaca untuk menikmati keunikan cerita rakyat khas Nusantara dengan kemasan yang berbeda. Tidak hanya itu, Ibu Suri bahkan mampu menyisipkan nilai-nilai kearifan untuk tetap menjaga dan menyayangi alam semesta layaknya para penduduk Dwarapala.</p>
<p>&nbsp;</p>Aini Syarifah
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!