Pendidikan Kewarganegaraan di Sekolah

Beberapa waktu lalu seorang kawan curhat panjang lebar ketika sebagai orangtua wali disodori sepucuk surat undangan dari sekolah anaknya untuk menghadiri ikhtiar pengumpulan dana yang akan disumbangkan ke Suriah. Dalam diskusi kami, ada banyak hal yang tidak jelas ketika mencoba memahami secara sederhana saja bagian mana dari wilayah Suriah yang hendak disumbang. Kekacauan politik di kawasan Timur Tengah  ini memang pada tahap menyedihkan, sehingga umat Islam yang jauh di negeri Selatan pun tak kunjung iba melihatnya. Masalah utamanya, siapa yang benar dan salah dalam hal ini menjadi abu-abu, atau lebih tepatnya dibuat abu-abu.

Sebagian ahli politik internasional sudah sejak lama mengingatkan soal ketidakstabilan di Timur tengah ini. Dimulai dari Arab Spring, ledakan yang sama terus menggerogoti lapisan kenyamanan dan keamanan di kawasan sehingga memunculkan laskar Daesh, populer dengan sebutan ISIS, yang –kini kita tahu semua propaganda politiknya diarahkan untuk mengumpani media Barat dan terutama sikap Barat– dan memilih palagan di wilayah Suriah dengan menghantam pemerintahan Bashar Asad. Konon, di balik para pemberontak itu ada Amerika Serikat dan Sekutu (termasuk Inggris yang juga memasok senjata kepada Arab Saudi untuk menyerang Yaman). Sementara itu, Asad juga didukung oleh sekutunya Rusia dan Iran.

Dampak konflik kawasan tadi, karena jauhnya, sepertinya tidak akan mencapai Indonesia. Padahal, nyata-nyata ledakan fitnah dalam skala besar justru terjadi di negara yang memiliki populasi muslim terbesar di dunia. Umat islam terbelah antara yang memilih menahan diri (tetapi karena itu disebut pro Asad), dengan kubu muslim yang berjuang membela para pemberontak. Ironisnya di tengah konflik ini makanan empuk yang paling mudah membuat umat terburai adalah dengan memasukkan konflik sektarian semacam Sunni dan Syiah. Tentu saja, dengan masuknya Rusia, komunisme pun digoreng sedemikian rupa sehingga polarisasi kian menarik. Kalau sebelumnya yang pro Asad (termasuk mereka yang netral juga disatukubukan) disebut Syiah, Anda kini bisa juga disebut komunis. Atau kalau mau dilengkapi sekalian disebut Komunis-Syiah. Jadilah idiom komunis-syiah ini adalah kampanye massif yang digerakkan oleh pasukan tempur siber.

Sekolah anak kawan saya tadi itu barangkali juga ikut terdampak. Tempat ketika seharusnya lembaga pendidikan memberikan pendidikan politik nonpartisan, terbuka, dan mencerahkan, sekarang malah menjadi alat propaganda politik. Sekolah yang semestinya menjadi embrio membidani lahirnya manusia-manusia berakal dan berwawasan terbuka dipaksa menganut ideologi sempit, bahkan tertutup sehingga bukan saja mendukung gerakan separatis di padang pasir nun jauh, bahkan menyebut pemerintahan sendiri sebagai antek komunis-syiah. Yang benar saja!

Karena itu, pekerjaan rumah pemerintah kita ini sungguhlah berat. Respons yang lambat terhadap teknologi media sosial sebagai alat ampuh penyebaran informasi keliru ini memang sudah mulai ditingkatkan. Akan tetapi, opini yang terlanjur dianggap benar sekarang ini barangkali yang mendukung populisme bangkit; anti asing, irasional, antikemajemukan, dan chauvinistik. Dan, agama sudah berkali-kali terbukti sebagai jalan masuk paling mudah untuk menyuntikkan virus populisme ini. Terlebih di tengah perilaku politisi yang kian sering ditangkapi KPK, kepercayaan terhadap elit politik yang sudah berada di titik nadir ini pun menemukan momentumnya. Konon, beginilah bagaimana figur-figur kontroversial seperti Trump, Duterte di Filipina, dan Narendra Modi di India, menemukan artikulasinya. Saya persilakan Anda mengisi sendiri tokohnya di Indonesia.

Sesuram apa pun, saya masih percaya sekolah masih jadi tempat ideal persemaian nasionalisme meskipun harus bekerja lebih giat lagi menanamkan pendidikan kewarganegaraan. Masa depan kita sebagai bangsa ada pada anak-anak yang sekarang batas-batas nasionalismenya menghadapi ancaman bangsa digital yang lebih universal. Teritori kita bukan lagi daratan dan lautan akan tetapi jaringan pita lebar yang kini dikuasai oleh beragam aplikasi global seperti Facebook, Twitter, Instagram dan aplikasi sejenis. Konon, begitulah Mark Zuckerbeg dituduh memenangkan Trump, ketika algoritma Facebook terkecoh oleh berita populer yang disukai masyarakat negara Facebook, padahal nyata-nyata berita yang sama justru hoax. Semoga para guru sudah siap sedia dengan salah satu potensi merusak yang diciptakan teknologi ini.

Salman Faridi adalah CEO Bentang Pustaka. Baru-baru ini mengeluarkan buku 50 Kisah tentang Buku, Cinta, & Cerita-cerita Antara Kita. Kumpulan tulisan tentang seluk beluk dunia penerbitan di Indonesia Beberapa waktu lalu seorang kawan curhat panjang lebar ketika sebagai orangtua wali disodori sepucuk surat undangan dari sekolah anaknya untuk menghadiri ikhtiar pengumpulan dana yang akan disumbangkan ke Suriah. Dalam diskusi kami, ada banyak hal yang tidak jelas ketika mencoba memahami secara sederhana saja bagian mana dari wilayah Suriah yang hendak disumbang. Kekacauan politik di kawasan Timur Tengah  ini memang pada tahap menyedihkan, sehingga umat Islam yang jauh di negeri Selatan pun tak kunjung iba melihatnya. Masalah utamanya, siapa yang benar dan salah dalam hal ini menjadi abu-abu, atau lebih tepatnya dibuat abu-abu.

Sebagian ahli politik internasional sudah sejak lama mengingatkan soal ketidakstabilan di Timur tengah ini. Dimulai dari Arab Spring, ledakan yang sama terus menggerogoti lapisan kenyamanan dan keamanan di kawasan sehingga memunculkan laskar Daesh, populer dengan sebutan ISIS, yang –kini kita tahu semua propaganda politiknya diarahkan untuk mengumpani media Barat dan terutama sikap Barat– dan memilih palagan di wilayah Suriah dengan menghantam pemerintahan Bashar Asad. Konon, di balik para pemberontak itu ada Amerika Serikat dan Sekutu (termasuk Inggris yang juga memasok senjata kepada Arab Saudi untuk menyerang Yaman). Sementara itu, Asad juga didukung oleh sekutunya Rusia dan Iran.

Dampak konflik kawasan tadi, karena jauhnya, sepertinya tidak akan mencapai Indonesia. Padahal, nyata-nyata ledakan fitnah dalam skala besar justru terjadi di negara yang memiliki populasi muslim terbesar di dunia. Umat islam terbelah antara yang memilih menahan diri (tetapi karena itu disebut pro Asad), dengan kubu muslim yang berjuang membela para pemberontak. Ironisnya di tengah konflik ini makanan empuk yang paling mudah membuat umat terburai adalah dengan memasukkan konflik sektarian semacam Sunni dan Syiah. Tentu saja, dengan masuknya Rusia, komunisme pun digoreng sedemikian rupa sehingga polarisasi kian menarik. Kalau sebelumnya yang pro Asad (termasuk mereka yang netral juga disatukubukan) disebut Syiah, Anda kini bisa juga disebut komunis. Atau kalau mau dilengkapi sekalian disebut Komunis-Syiah. Jadilah idiom komunis-syiah ini adalah kampanye massif yang digerakkan oleh pasukan tempur siber.

Sekolah anak kawan saya tadi itu barangkali juga ikut terdampak. Tempat ketika seharusnya lembaga pendidikan memberikan pendidikan politik nonpartisan, terbuka, dan mencerahkan, sekarang malah menjadi alat propaganda politik. Sekolah yang semestinya menjadi embrio membidani lahirnya manusia-manusia berakal dan berwawasan terbuka dipaksa menganut ideologi sempit, bahkan tertutup sehingga bukan saja mendukung gerakan separatis di padang pasir nun jauh, bahkan menyebut pemerintahan sendiri sebagai antek komunis-syiah. Yang benar saja!

Karena itu, pekerjaan rumah pemerintah kita ini sungguhlah berat. Respons yang lambat terhadap teknologi media sosial sebagai alat ampuh penyebaran informasi keliru ini memang sudah mulai ditingkatkan. Akan tetapi, opini yang terlanjur dianggap benar sekarang ini barangkali yang mendukung populisme bangkit; anti asing, irasional, antikemajemukan, dan chauvinistik. Dan, agama sudah berkali-kali terbukti sebagai jalan masuk paling mudah untuk menyuntikkan virus populisme ini. Terlebih di tengah perilaku politisi yang kian sering ditangkapi KPK, kepercayaan terhadap elit politik yang sudah berada di titik nadir ini pun menemukan momentumnya. Konon, beginilah bagaimana figur-figur kontroversial seperti Trump, Duterte di Filipina, dan Narendra Modi di India, menemukan artikulasinya. Saya persilakan Anda mengisi sendiri tokohnya di Indonesia.

Sesuram apa pun, saya masih percaya sekolah masih jadi tempat ideal persemaian nasionalisme meskipun harus bekerja lebih giat lagi menanamkan pendidikan kewarganegaraan. Masa depan kita sebagai bangsa ada pada anak-anak yang sekarang batas-batas nasionalismenya menghadapi ancaman bangsa digital yang lebih universal. Teritori kita bukan lagi daratan dan lautan akan tetapi jaringan pita lebar yang kini dikuasai oleh beragam aplikasi global seperti Facebook, Twitter, Instagram dan aplikasi sejenis. Konon, begitulah Mark Zuckerbeg dituduh memenangkan Trump, ketika algoritma Facebook terkecoh oleh berita populer yang disukai masyarakat negara Facebook, padahal nyata-nyata berita yang sama justru hoax. Semoga para guru sudah siap sedia dengan salah satu potensi merusak yang diciptakan teknologi ini.

Salman Faridi adalah CEO Bentang Pustaka. Baru-baru ini mengeluarkan buku 50 Kisah tentang Buku, Cinta, & Cerita-cerita Antara Kita. Kumpulan tulisan tentang seluk beluk dunia penerbitan di IndonesiaSalman Faridi

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta