Cita-Cita Mengalahkan Segalanya

Manusia, mana mungkin dapat berteman dengan kengerian. Mana mungkin tidak menghadapi ketakutan. Dan mana mungkin luput dari hidup dianggap beban. Apalagi beban pendidikan. Namun fakta tak berucap demikian. Membela—karena pintar bukan peniiaian lewat satu sisi. Bukan kenamaan yang terlihat lewat sekelebat. Sisi lain perlu dikaji.

***

Kisah ini tentang manusia dan lingkaran ilmu pasti, bernama matematika. Hantu di ruang kelas pendidikan yang menawarkan kengerian bagi beberapa orang tak suka. Formula-formula yang menakutkan bisa jadi muncul lebih dari satu kali dalam hitungan saban minggu. Ini tampaknya  cukup menggambarkan kisah-kisah dalam buku Guru Aini ini. Kisah-kisah lintas generasi dengan menyuguhkan seputar ilmu matematika lewat cerita menggelitik.

Ciri khas yang selalu disuguhkan oleh Andrea Hirata adalah kisah-kisah jenaka dan sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Kisah sederhana dan penyampaian fakta-fakta menyentuh pada setiap kehidupan apalagi para murid yang masih duduk di bangku sekolah. Belum lagi diksi-diksi yang cukup menarik menjadikan pembaca seolah mendapat hiburan (cukup berkomedi).

Kisah di novel ini dimulai dari anak yang bercita-cita mulia menjadi guru matematika. Terinspirasi dari guru matematikanya saat SMA. Maka, ia pun melanjutkan studinya di program guru matematika. Tidak hanya itu, alasannya menjadi guru matematika salah satunya adalah melihat kelangkaan guru matematika di Indonesia.

Desi Istiqomah, istiqomah sesuai dengan idealismenya. Sejak cita-cita itu muncul dan kuliah di sebuah perguruan tinggi, maka nantinya ia harus bersedia ditempatkan dimanapun bahkan pelosok negeri yang menjadi prioritas akibat kelangkaan guru matematika.

Setelah lulus dari perguruan tinggi beserta ilmunya yang tidak dapat diragukan lagi. Tibalah dimana Desi harus menerima kenyataan ditempatkan di sebuah daerah bahkan namanya saja tidak dapat ditemui di dalam peta. Namun semua itu tidak  menyurutkan langkahnya akan cita-cita menjadi guru matematika. Penggambaran perjalanan Desi cukup berhasil membuat pembaca yakin bahwa sulit meraih daerah paling pelosok itu.

Tidak berhenti di situ, tantangan hidupnya seolah telah terdaftar rapi setelah ia sampai dan mengajar salah satu sekolah di Kampung Ketumbi. Misinya adalah menemukan siswa jenius matematika. Nantinya ia akan mengajari, mendidik bahkan mengikutkannya dalam sebuah lomba. Pada akhirnya, Ibu Desi menemukan siswa dalam misinya walaupun tak memberikan akhir kebahagiaan. Debut Awaludin, siswa jenius matematika. Diikuti Rombongan sembilan yang bertolak belakang membuang matematika.

Pada kisah ini pula, Bu Desi seolah diuji nurani keguruannya. Debut menolak untuk dididiknya. Menolak untuk menjadi kian lebih pintar. Dan memutuskan untuk tidak melanjutkan. Itu semua berhasil memuncakkan kekecewaan Bu Desi. Setelah kejadian yang tidak mengenakkan ini, bukan malah surut idealismenya. Tapi semakin mantap untuk kian mencari, lebih-lebih atas keyakinan dirinya ini.

Dalam kurun waktu yang lama itu, ia malah menjadi guru yang sangat disegani karena kegalakannya dan yang paling diingat murid-murid di Kampung Ketumbi. Di saat kegalakannya kepada murid semakin banyak dikenal, bukan menemui siswa jenius matematika. Tapi didatangi bencana intelektualitas yang lebih menguji lagi hidupnya sebagai guru.

Nuraini datang dengan beban terberat: tidak menyukai matematika. Namun Aini seolah otomatis melangkah demi Ayahnya yang sakit keras. Dengan menjadi dokter untuk menyembuhkan ayahnya maka  ia harus pintar matematika dengan belajar langsung kepada pakarnya. Pilihan berat jatuh kepada Bu Desi yang bahkan saat pertama masuk ke sekolah, Aini doakan tolak bala’ agar tidak mengajar matematika dikelasnya. Dan itulah Aini menganalogikan dirinya saat itu.

Ketidaksukaan Aini kepada matematika telah dengan sempurna dikalahkan oleh cita-cita. Langkahnya secara yakin mengarahkan dirinya kepada Bu Desi. Walau harus dengan tertatih belajar. Dan selama itu masih sering muncul keputusasaan. Bahkan ketika berbagai cara telah Bu Desi jejali untuk menjauhkan Aini dari kegelapan akan matematika. Akankah Aini mampu keluar dari kegelapan itu? Dan untuk para pembaca, novel Pak Cik Andrea Hirata senantiasa menanti kalian.

 

 

Fatmawati, anggota ekskul KIR-literasi “Sabha Pena” dan kru Majalah Pendidikan “Al-Mashalih” MAN Bondowoso

*Pernah dipublikasikan di koran Bharata edisi 26 Juli 2020

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta