Musafir

Kemasi bantal dan selimut,
lalu pergilah melihat dunia
~ Andrei Gogol

Kutipan menarik dari Gogol ini sesungguhnya saya dapatkan melalui sebuah film yang diangkat dari buku dengan judul yang sama NameSake karya Jumpa Lahiri. Baris kutipan ini, terlepas dari konteks film yang melatarinya, tentang seorang tokoh protagonis yang dinamai seturut nama penulis besar Rusia, Andrei Gogol, sesungguhnya bicara lebih banyak tentang pentingnya sebuah perjalanan. Dalam banyak peristiwa sejarah, peristiwa-peristiwa besar selalu dituliskan dengan memuat kisah perjalanan yang mendampinginya. Tengoklah bagaimana Alexander The Great dari Macedonia yang memburu lawan hingga ke tempat matahari terbit, atau penguasa besar Spanyol-Islam, Abdurrahman Ad-Dakhil yang muncul dari puing-puing dinasti Umayah di Damaskus.

Melalui para pelancong pula berbagai kisah eksotik, keunikan budaya, dan bahkan impian menaklukkan sebuah daerah yang jauh dan membangun koloni tercipta. Columbus berbekal peta buatan ahli peta dari China, menurut sejarahwan kontrovesial Gavin Menzies, berjalan menembus luasnya lautan mencari emas di negeri India, meskipun ternyata salah mendarat di Amerika. Kisah ini mengawali konflik pendatang kulit putih dan bangsa asli berkulit merah (juga secara salah disebut Indian) yang lebih dekat dengan dunia masa kecil saya lewat tulisan Karl May, seorang Jerman, yang menulis kisah di “Dunia Baru” melulu dari perpustakaan dan meja kerjanya. Salah satu legenda perjalanan yang sampai di pulau Jawa misalnya, seorang laksamana bernama Zheng He, pada tahun 1405 singgah bersama 28.000 kru kapal dalam lawatan panjang mengunjungi Asia, semenanjung Arab dan Afrika.

Aspek sejarah lainnya yang diilhami oleh perjalanan adalah kisah Muhammad Saw. Yang dalam upayanya menyebarkan misi Islam, meninggalkan Makkah yang sudah menyusuinya puluhan tahun, untuk hijrah ke sebuah tempat bernama kuno Yatsrib, dan kelak dikenal dengan kota sang nabi, Madinah. Peristiwa hijrah ini menandai awal kalender islam yang dikenal dengan Hijriah (yang berarti dimulai setelah hijrah) dan dihitung berdasarkan lama rotasi bulan mengelilingi bumi. Barangkali memang, jika perjalanan ini teramat penting, seluruh siklus kehidupan manusia akan sangat bergantung pada pola-pola migrasi yang tetap, entah untuk mempertahankan hidup dengan cara menemukan pasangan di lain tempat, menghindari cuaca ekstrem, atau alasan lainnya yang bermanfaat.

Tampaknya, tidak keliru, jika dalam fase modern ini, siklus perjalanan, bahasa indonesia menemukan kata pelancongan untuk menandai episode migrasi temporer manusia dengan memanfaatkan masa liburan, bertahan sebagai salah satu moda pencarian kesenangan bahkan penemuan diri. Dari yang semata materialistik-hedon menuju pencerahan spiritual. Dan di sinilah saya terdampar pada masa 2009 yang gemilang oleh banyaknya peluncuran maskapai-maskapai berbiaya murah serta berjamurnya penginapan yang menyewakan selembar kasur privat, sementara fasilitas lainnya dibagai setara di antara sesama penyewa. Penduduk kelas menengah jakarta menyebut mereka Bule Kere, yang berkeliaran di jalan Jaksa, sementara kami, para pejalan, menyebut diri dengan backpackers. Persaudaraan dalam perjalanan.

Para pelancong, pada umumnya, sama-sama mengimani bahwa traveling ke berbagai tempat, pelosok maupun perkotaan adalah penjelajahan penting yang mewujud dalam cara baru melihat dunia yang bulat ini. Bahwa manusia saling terhubung, dan semua keajaiban semesta itu akan hilang keajaibannya tanpa kita, manusia, yang mengapresiasinya. Keindahan bertebaran di muka bumi, di semua penjuru mata angin, yang perlu kita lakukan adalah melangkah. Mungkin, sedikit ongkos dan bekal akan berguna selama perjalanan.

Visi perjalanan seperti yang saya ceritakan sebelumnya bukanlah milik saya. Secara umum, beginilah weltanschaung mereka dalam melihat semesta ini. Para pelancong adalah visioner yang meninggalkan zona nyamannya untuk kemudian diganti dengan pengalaman baru yang revolusioner. Menggugah, membangkitkan, dan menginspirasi. Dari penulis manapun kita membacanya, dunia seakan tengah terbuka di hadapan mata ketika titik-titik koordinat bumi ini dijelajahi satu per satu. Seorang penulis yang tak kenal lelah mendaratkan kakinya di banyak tempat adalah Trinity, penulis buku laris The Naked Traveler.

Berita menariknya …, meskipun puluhan negara telah dijejakinya tempat terbaik tetaplah Indonesia. Jika saya dulu pernah dikritik mengapa mendahulukan pelesir ke luar negeri dibandingkan kota-kota di Indonesia, percayalah bahwa semakin jauh melangkah semakin kita rindu pulang. Rumah bagi mayoritas kita adalah tanah dan air Beta. Tanah tumpah darah. Silakan dicek, di antara diaspora lainnya, yang terbanyak kemungkinan dari Tiongkok, warga negara Indonesia terhitung sangat sedikit yang meninggalkan negaranya untuk menjadi warga negara lain. Kalau bisa, meskipun telah resmi diakui menjadi warga negara di lain tempat, sedapat mungkin tetap bertahan dengan paspor hijau berlambang garuda yang legendaris itu.

Sejarah memang mencatat peristiwa besar di balik kisah-kisah perjalanan. Kisah Anda adalah milik Anda seorang. Sebuah perjalanan atau mungkin beberapa kali pelancongan akan secara drastis mengubah jalan hidup seseorang. Seperti yang dialami oleh John Wood, salah seorang direktur eksekutif Microsoft di Asia, yang kemudian menekuni jalan nirlaba untuk menyediakan sebanyak mungkin buku bagi anak-anak di Asia melalui yayasan Room to Read. Anda tak perlu berubah sedrastis itu. Milikilah pemikiran yang terbuka dan rangkullah sesama. Ini adalah salah satu berkah perjalanan. Jika sudah sampai tahap ini, barangkali ada baiknya untuk melangkah lebih jauh ke kedalaman. Sebuah petualangan baru menanti Anda di sana! Kemasi bantal dan selimut,
lalu pergilah melihat dunia
~ Andrei Gogol

Kutipan menarik dari Gogol ini sesungguhnya saya dapatkan melalui sebuah film yang diangkat dari buku dengan judul yang sama NameSake karya Jumpa Lahiri. Baris kutipan ini, terlepas dari konteks film yang melatarinya, tentang seorang tokoh protagonis yang dinamai seturut nama penulis besar Rusia, Andrei Gogol, sesungguhnya bicara lebih banyak tentang pentingnya sebuah perjalanan. Dalam banyak peristiwa sejarah, peristiwa-peristiwa besar selalu dituliskan dengan memuat kisah perjalanan yang mendampinginya. Tengoklah bagaimana Alexander The Great dari Macedonia yang memburu lawan hingga ke tempat matahari terbit, atau penguasa besar Spanyol-Islam, Abdurrahman Ad-Dakhil yang muncul dari puing-puing dinasti Umayah di Damaskus.

Melalui para pelancong pula berbagai kisah eksotik, keunikan budaya, dan bahkan impian menaklukkan sebuah daerah yang jauh dan membangun koloni tercipta. Columbus berbekal peta buatan ahli peta dari China, menurut sejarahwan kontrovesial Gavin Menzies, berjalan menembus luasnya lautan mencari emas di negeri India, meskipun ternyata salah mendarat di Amerika. Kisah ini mengawali konflik pendatang kulit putih dan bangsa asli berkulit merah (juga secara salah disebut Indian) yang lebih dekat dengan dunia masa kecil saya lewat tulisan Karl May, seorang Jerman, yang menulis kisah di “Dunia Baru” melulu dari perpustakaan dan meja kerjanya. Salah satu legenda perjalanan yang sampai di pulau Jawa misalnya, seorang laksamana bernama Zheng He, pada tahun 1405 singgah bersama 28.000 kru kapal dalam lawatan panjang mengunjungi Asia, semenanjung Arab dan Afrika.

Aspek sejarah lainnya yang diilhami oleh perjalanan adalah kisah Muhammad Saw. Yang dalam upayanya menyebarkan misi Islam, meninggalkan Makkah yang sudah menyusuinya puluhan tahun, untuk hijrah ke sebuah tempat bernama kuno Yatsrib, dan kelak dikenal dengan kota sang nabi, Madinah. Peristiwa hijrah ini menandai awal kalender islam yang dikenal dengan Hijriah (yang berarti dimulai setelah hijrah) dan dihitung berdasarkan lama rotasi bulan mengelilingi bumi. Barangkali memang, jika perjalanan ini teramat penting, seluruh siklus kehidupan manusia akan sangat bergantung pada pola-pola migrasi yang tetap, entah untuk mempertahankan hidup dengan cara menemukan pasangan di lain tempat, menghindari cuaca ekstrem, atau alasan lainnya yang bermanfaat.

Tampaknya, tidak keliru, jika dalam fase modern ini, siklus perjalanan, bahasa indonesia menemukan kata pelancongan untuk menandai episode migrasi temporer manusia dengan memanfaatkan masa liburan, bertahan sebagai salah satu moda pencarian kesenangan bahkan penemuan diri. Dari yang semata materialistik-hedon menuju pencerahan spiritual. Dan di sinilah saya terdampar pada masa 2009 yang gemilang oleh banyaknya peluncuran maskapai-maskapai berbiaya murah serta berjamurnya penginapan yang menyewakan selembar kasur privat, sementara fasilitas lainnya dibagai setara di antara sesama penyewa. Penduduk kelas menengah jakarta menyebut mereka Bule Kere, yang berkeliaran di jalan Jaksa, sementara kami, para pejalan, menyebut diri dengan backpackers. Persaudaraan dalam perjalanan.

Para pelancong, pada umumnya, sama-sama mengimani bahwa traveling ke berbagai tempat, pelosok maupun perkotaan adalah penjelajahan penting yang mewujud dalam cara baru melihat dunia yang bulat ini. Bahwa manusia saling terhubung, dan semua keajaiban semesta itu akan hilang keajaibannya tanpa kita, manusia, yang mengapresiasinya. Keindahan bertebaran di muka bumi, di semua penjuru mata angin, yang perlu kita lakukan adalah melangkah. Mungkin, sedikit ongkos dan bekal akan berguna selama perjalanan.

Visi perjalanan seperti yang saya ceritakan sebelumnya bukanlah milik saya. Secara umum, beginilah weltanschaung mereka dalam melihat semesta ini. Para pelancong adalah visioner yang meninggalkan zona nyamannya untuk kemudian diganti dengan pengalaman baru yang revolusioner. Menggugah, membangkitkan, dan menginspirasi. Dari penulis manapun kita membacanya, dunia seakan tengah terbuka di hadapan mata ketika titik-titik koordinat bumi ini dijelajahi satu per satu. Seorang penulis yang tak kenal lelah mendaratkan kakinya di banyak tempat adalah Trinity, penulis buku laris The Naked Traveler.

Berita menariknya …, meskipun puluhan negara telah dijejakinya tempat terbaik tetaplah Indonesia. Jika saya dulu pernah dikritik mengapa mendahulukan pelesir ke luar negeri dibandingkan kota-kota di Indonesia, percayalah bahwa semakin jauh melangkah semakin kita rindu pulang. Rumah bagi mayoritas kita adalah tanah dan air Beta. Tanah tumpah darah. Silakan dicek, di antara diaspora lainnya, yang terbanyak kemungkinan dari Tiongkok, warga negara Indonesia terhitung sangat sedikit yang meninggalkan negaranya untuk menjadi warga negara lain. Kalau bisa, meskipun telah resmi diakui menjadi warga negara di lain tempat, sedapat mungkin tetap bertahan dengan paspor hijau berlambang garuda yang legendaris itu.

Sejarah memang mencatat peristiwa besar di balik kisah-kisah perjalanan. Kisah Anda adalah milik Anda seorang. Sebuah perjalanan atau mungkin beberapa kali pelancongan akan secara drastis mengubah jalan hidup seseorang. Seperti yang dialami oleh John Wood, salah seorang direktur eksekutif Microsoft di Asia, yang kemudian menekuni jalan nirlaba untuk menyediakan sebanyak mungkin buku bagi anak-anak di Asia melalui yayasan Room to Read. Anda tak perlu berubah sedrastis itu. Milikilah pemikiran yang terbuka dan rangkullah sesama. Ini adalah salah satu berkah perjalanan. Jika sudah sampai tahap ini, barangkali ada baiknya untuk melangkah lebih jauh ke kedalaman. Sebuah petualangan baru menanti Anda di sana!Salman Faridi

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta