Melihat Islam di Jepang

Angin musim dingin menampar wajah saya bertubi-tubi. Bagi orang kampungan macam saya yang baru merasakan winter di negeri orang, dengan suhu sehari-hari 5 derajat tentu sangat menyiksa. Pakaian dalam dua setel dan jaket luar berbahan fleece di bagian dalam yang hangat adalah aksesori wajib setiap keluar rumah. Rumah di sini harap dibaca apato atau apartemen yang ditinggali istri saya di kota paling selatan di negeri sakura, Beppu.

Beppu dikenal sebagai kota wisata Onsen, yang memiliki tempat pemandian air panas yang paling populer di seantero Jepang. Terlebih pada musim dingin, turis-turis domestik maupun dari luar Jepang nyaris memadati setiap pemandian air panas dan atau menginap di hotel/hostel yang memiliki fasilitas pemandian air panas sendiri. Pengunjung yang datang ke Beppu melalui stasiun utama Beppu, bahkan disuguhi sumber air panas yang dialirkan tepat di areal parkir bis publik Beppu City.

Bersama istri, saya berjalan cepat-cepat keluar dari apartemen menuju halte bus terdekat yang berjarak 5 menit namun harus ditempuh dengan langkah-langkah bergegas sambil mengusir hawa dingin. Tujuan saya kali ini adalah sebuah masjid komunitas di daerah pusat kota, yang berdekatan dengan pelabuhan. Saya menunggu dengan sabar bis yang datang. Di jadwal yang tertera bis akan datang kurang lebih lima menit.

Soal akurasi saya kira kita harus acungkan jempol untuk semua moda transportasi yang dikelola di Jepang ini. Peta arah dapat dibaca dengan jelas, jadwal kedatangan tecantum setiap menitnya, dan memudahkan. Alat tukar utama yang perlu disiapkan adalah uang yen. Dengan setiap yen-nya seharga 120-an rupiah. Nilai tukar ini terasa sekali mencekik leher jika dibandingkan dengan pendapatan rupiah. Seikat seledri seharga hampir 20 ribu rupiah, beras sekitar 30 ribu rupiah per kg, biaya naik bis jarak dekat 12 ribu rupiah sekali jalan. Glek!

Seorang bapak berjalan tergesa dengan dua anak laki-laki belianya melewati saya.  Saya mengangguk ramah sambil tersenyum kepada anaknya yang paling kecil yang sempat mengucapkan kata permisi dengan aksen jepang yang kental. Istri saya bilang bahwa keluarga itu tinggal di apato yang sama, dan berasal dari asia tengah. Saya mengangguk sambil melihat ke arah pergi keluarga tadi yang kini mulai hilang dari pandangan.

Beppu, meski tempatnya dekat sekali dengan pelabuhan adalah kota berbukit-bukit. Karena itu ketika musim dingin dihajar angin laut tentu terasa sekali ekstremnya. Kontur kota yang naik turun ini sebenarnya cukup asik untuk kegiatan berolahraga, baik berjalan, berlari maupun bersepeda. Uniknya, Jepang memiliki tradisi lomba lari jarak jauh yang diadakan khusus ketika musim dingin. Terutama di kota-kota besar seperti Tokyo. Saya tidak melihat lomba lari ini di Beppu, tetapi ketika di Kyoto saya ikut larut dalam keramaian menyoraki dan memberikan semangat kepada para runners yang begitu semangat berlari, berlomba dalam artian yang sebenarnya mengalahkan mental untuk menyerah dan khusyu dalam langkah-langkahnya yang sunyi menembus dinginnya suhu. Saya jadi teringat Haruki Murakami dalam bukunya What I Talk About When I Talk About Running.

Dalam peristiwa lomba yang sama, Murakami yang sering ditanya orang apa yang ada di benaknya ketika berlari itu menjawab panjang lebar sampai akhirnya dibukukan. Kata Murakami, saat toleransi otot dipaksa melebihi kemampuannya mengatasi lelah yang ada hanyalah rasa sakit. “Rasa sakit itu tak terelakkan,” tulis Murakami, “tapi penderitaan soal pilihan” tulisnya lagi. Saya menggerutu menunggu bis. Bertahan dalam menit-menit yang sangat dingin ini ternyata tidak nyaman. Waktu seolah merentang sedemikian rupa untuk membuat rasa dingin itu “terasa” menggigit. Pikiran tentang kampung halaman yang nyaman dengan matahari sepanjang tahun benar-benar berkah yang sering dilupakan ternyata.

Tak berapa lama bis yang ditunggu pun tiba. Saya setengah menghambur dan menyerukan pujian kepada yang maha besar yang menganugerahi manusia kemampuan membuat heater yang membuat bis sangat hangat. Di belakang saya tak ada lagi penumpang yang masih menunggu di halte. Bis merambat pelan. Tidak ada kesan mengejar setoran dan melanggar aturan lalu lintas. Sedemikian tertib, sehingga kita akan malu sendiri kalau tidak ikut tertib. Karena kota kecil, ternyata jarak masjid yang ditempuh itu dekat saja. Tidak sampai 15 menit sudah sampai. Tidak ada pengeras suara tanda masuk shalat jumat sudah dimulai. Di Indonesia kadang-kadang banyak jamaah berhamburan ke masjid setelah mendengar seruan iqamat.

Jamaah Jumat siang itu tidak banyak. Saya bisa melihat beberapa mahasiswa Indonesia atau muka-muka seperti orang Asia Tenggara di antara jamaah. Selebihnya didominasi oleh saudara-saudara muslim dari Asia Selatan. Tema kali ini adalah tahun baru. Saya tidak tahu apakah memang istimewa merayakan pergantian tahun di luar Indonesia atau tidak, akan tetapi saya merasa istimewa karena mendapatkan kesempatan untuk sekali lagi melihat budaya yang berbeda dan berinteraksi dengan budaya itu meskipun sebagai pelancong. Selain itu … keluarga yang tadi sempat berpapasan dengan saya itu ternyata berada di antara jamaah jumatan siang itu. Kali ini saya dekati dan mengenalkan diri dengan layak, “assalamu alaikum…”.

@salmanfaridi Angin musim dingin menampar wajah saya bertubi-tubi. Bagi orang kampungan macam saya yang baru merasakan winter di negeri orang, dengan suhu sehari-hari 5 derajat tentu sangat menyiksa. Pakaian dalam dua setel dan jaket luar berbahan fleece di bagian dalam yang hangat adalah aksesori wajib setiap keluar rumah. Rumah di sini harap dibaca apato atau apartemen yang ditinggali istri saya di kota paling selatan di negeri sakura, Beppu.

Beppu dikenal sebagai kota wisata Onsen, yang memiliki tempat pemandian air panas yang paling populer di seantero Jepang. Terlebih pada musim dingin, turis-turis domestik maupun dari luar Jepang nyaris memadati setiap pemandian air panas dan atau menginap di hotel/hostel yang memiliki fasilitas pemandian air panas sendiri. Pengunjung yang datang ke Beppu melalui stasiun utama Beppu, bahkan disuguhi sumber air panas yang dialirkan tepat di areal parkir bis publik Beppu City.

Bersama istri, saya berjalan cepat-cepat keluar dari apartemen menuju halte bus terdekat yang berjarak 5 menit namun harus ditempuh dengan langkah-langkah bergegas sambil mengusir hawa dingin. Tujuan saya kali ini adalah sebuah masjid komunitas di daerah pusat kota, yang berdekatan dengan pelabuhan. Saya menunggu dengan sabar bis yang datang. Di jadwal yang tertera bis akan datang kurang lebih lima menit.

Soal akurasi saya kira kita harus acungkan jempol untuk semua moda transportasi yang dikelola di Jepang ini. Peta arah dapat dibaca dengan jelas, jadwal kedatangan tecantum setiap menitnya, dan memudahkan. Alat tukar utama yang perlu disiapkan adalah uang yen. Dengan setiap yen-nya seharga 120-an rupiah. Nilai tukar ini terasa sekali mencekik leher jika dibandingkan dengan pendapatan rupiah. Seikat seledri seharga hampir 20 ribu rupiah, beras sekitar 30 ribu rupiah per kg, biaya naik bis jarak dekat 12 ribu rupiah sekali jalan. Glek!

Seorang bapak berjalan tergesa dengan dua anak laki-laki belianya melewati saya.  Saya mengangguk ramah sambil tersenyum kepada anaknya yang paling kecil yang sempat mengucapkan kata permisi dengan aksen jepang yang kental. Istri saya bilang bahwa keluarga itu tinggal di apato yang sama, dan berasal dari asia tengah. Saya mengangguk sambil melihat ke arah pergi keluarga tadi yang kini mulai hilang dari pandangan.

Beppu, meski tempatnya dekat sekali dengan pelabuhan adalah kota berbukit-bukit. Karena itu ketika musim dingin dihajar angin laut tentu terasa sekali ekstremnya. Kontur kota yang naik turun ini sebenarnya cukup asik untuk kegiatan berolahraga, baik berjalan, berlari maupun bersepeda. Uniknya, Jepang memiliki tradisi lomba lari jarak jauh yang diadakan khusus ketika musim dingin. Terutama di kota-kota besar seperti Tokyo. Saya tidak melihat lomba lari ini di Beppu, tetapi ketika di Kyoto saya ikut larut dalam keramaian menyoraki dan memberikan semangat kepada para runners yang begitu semangat berlari, berlomba dalam artian yang sebenarnya mengalahkan mental untuk menyerah dan khusyu dalam langkah-langkahnya yang sunyi menembus dinginnya suhu. Saya jadi teringat Haruki Murakami dalam bukunya What I Talk About When I Talk About Running.

Dalam peristiwa lomba yang sama, Murakami yang sering ditanya orang apa yang ada di benaknya ketika berlari itu menjawab panjang lebar sampai akhirnya dibukukan. Kata Murakami, saat toleransi otot dipaksa melebihi kemampuannya mengatasi lelah yang ada hanyalah rasa sakit. “Rasa sakit itu tak terelakkan,” tulis Murakami, “tapi penderitaan soal pilihan” tulisnya lagi. Saya menggerutu menunggu bis. Bertahan dalam menit-menit yang sangat dingin ini ternyata tidak nyaman. Waktu seolah merentang sedemikian rupa untuk membuat rasa dingin itu “terasa” menggigit. Pikiran tentang kampung halaman yang nyaman dengan matahari sepanjang tahun benar-benar berkah yang sering dilupakan ternyata.

Tak berapa lama bis yang ditunggu pun tiba. Saya setengah menghambur dan menyerukan pujian kepada yang maha besar yang menganugerahi manusia kemampuan membuat heater yang membuat bis sangat hangat. Di belakang saya tak ada lagi penumpang yang masih menunggu di halte. Bis merambat pelan. Tidak ada kesan mengejar setoran dan melanggar aturan lalu lintas. Sedemikian tertib, sehingga kita akan malu sendiri kalau tidak ikut tertib. Karena kota kecil, ternyata jarak masjid yang ditempuh itu dekat saja. Tidak sampai 15 menit sudah sampai. Tidak ada pengeras suara tanda masuk shalat jumat sudah dimulai. Di Indonesia kadang-kadang banyak jamaah berhamburan ke masjid setelah mendengar seruan iqamat.

Jamaah Jumat siang itu tidak banyak. Saya bisa melihat beberapa mahasiswa Indonesia atau muka-muka seperti orang Asia Tenggara di antara jamaah. Selebihnya didominasi oleh saudara-saudara muslim dari Asia Selatan. Tema kali ini adalah tahun baru. Saya tidak tahu apakah memang istimewa merayakan pergantian tahun di luar Indonesia atau tidak, akan tetapi saya merasa istimewa karena mendapatkan kesempatan untuk sekali lagi melihat budaya yang berbeda dan berinteraksi dengan budaya itu meskipun sebagai pelancong. Selain itu … keluarga yang tadi sempat berpapasan dengan saya itu ternyata berada di antara jamaah jumatan siang itu. Kali ini saya dekati dan mengenalkan diri dengan layak, “assalamu alaikum…”.

@salmanfaridibentang

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta