Gaya hidup Lambat Adalah Kecepatan Baru

“There is more to life than increasing its speed,” Carl Honore, penulis buku laris In Praise of Slow

Pada 2006 Bentang Pustaka pernah menerbitkan sebuah buku provokatif yang mendahului zamannya. Buku itu berjudul In Praise of Slow, karya Carl Honore. Di tengah mantra-mantra yang mendewakan kecepatan, nyaris tak ada tempat bagi Si Lambat. Bahkan, di gerai-gerai fastfood, tolok ukur yang ideal adalah seberapa cepat makanan terhidang sejak pengunjung datang. Waktu adalah kurs yang paling bernilai. Semakin cepat, semakin efisien, semakin besar profit yang ditangguk. Tragisnya, di tengah perlombaan kecepatan ini, manusia tidak lantas berubah lebih baik. Di sinilah pentingnya buku yang ditulis Carl Honore.

In Praise of Slow ditulis berdasarkan salah satu kisah pribadi penulis ketika hendak membeli buku One Minute Bed Time Stories yang rencananya akan dibacakan bersama anak laki-lakinya berusia dua tahun. Seperti umumnya orangtua yang sibuk, kesempatan membaca cerita dengan cepat ini diperlukan agar bisa segera menuju agenda berikutnya setelah anak tertidur lelap. Pengalaman ini kemudian menyadarkan penulis bahwa efek ketergesaan ternyata demikian parah, sehingga untuk hal yang paling penting dan berharga seperti momen bersama anak pun ikut dipercepat.

Setelah sembilan tahun terbit, Carl mungkin belum sampai pada yang dicita-citakannya; menjadikan manusia lebih bermartabat dan memiliki kesadaran penuh akan hidup dibandingkan sekadar lomba ketangkasan berlari di dalam kurungan (rat race). Kenyataannya, dewasa ini, manusia bukan saja masih dibuai dalam irama kecepatan yang ditandai oleh mantra lainnya bernama produktivitas, terlebih, tanpa kita rasakan, kesadaran kita tersedot habis oleh gawai yang begitu dominan selama 24 jam. Kita mungkin berada di tempat yang sama dengan keluarga, namun tidak pernah benar-benar hadir secara utuh (tubuh dan jiwa) untuk orang-orang yang kita kasihi.

Akan tetapi, berita baiknya, virus gaya hidup lambat sesungguhnya telah berjalan meskipun perlahan. Di sebuah kota satelit modern di Jakarta misalnya, pernah beberapa kali diadakan festival slow food, atau makanan yang disajikan secara lambat. Banyak orang muda mengadopsi gaya hidup hijau; makan hanya makanan organik, membatasi pembelian barang, mendaur ulang, bersepeda dan menggunakan angkutan publik lainnya untuk menekan emisi karbon, dan terlibat aktif dalam komunitas yang mendorong orang untuk melakoni gaya hidup serupa. Selain itu, kultur “woles” (nama lain untuk lambat) seperti yang ditemukan di Jawa, mungkin telah sejak ribuan tahun lamanya mengenalkan petatah-petitih “alon-alon waton kelakon”. Jika Carl menyebut gaya hidup lambat adalah kecepatan baru, dalam beberapa kebudayaan, sesungguhnya gaya hidup itu telah berurat-berakar cukup dalam.

Persoalan sesungguhnya terletak pada modernisme yang dipicu oleh hasrat menguasai kapital sebanyak-banyaknya. Contoh, bagi orang-orang yang tinggal di sekitar gunung merapi di Yogyakarta, erupsi adalah ujian sekaligus berkah. Muntahan lahar dingin berjumlah jutaan kubik sangat cukup untuk menopang kesejahteraan warga dari panen pasir vulkanik terbaik. Dengan fasilitas sederhana seperti cangkul dan sekop, butuh waktu lama untuk menghabiskan limpahan material yang luar biasa itu. Akan tetapi, tengoklah apa yang telah dilakukan bacckhoe dan perangkat sophisticated lainnya. Jutaan kubik itu tidak saja habis secara teramat cepat, melainkan hilir mudiknya ratusan truk pasir juga telah berhasil merusak infrastruktur jalan yang sedianya dibangun dari iuran publik melalui pajak. Ironinya adalah, sangat mungkin penerimaan pajak dari pengerukan pasir-pasir ini jauh lebih kecil dibandingkan kerusakan yang ditimbulkannya. Pada akhirnya, hanya juragan pasir yang padat modallah yang terbahak paling akhir.

Buku ini tetap menyisakan pertanyaan, apakah mungkin menerapkan gaya hidup lambat ketika semua orang berlomba beradu cepat? Apakah mungkin mengubah kecepatan yang sekarang sementara kita masih didera isu produktivitas dan efisiensi? Tampaknya tidak mudah menjawab isu-isu kita yang terlihat paradoks. Sama paradoksnya ketika banyak orang berpikir selagi muda dan sehat bekerja keras dan mengumpulkan modal hari tua yang cukup—kalau bisa berlimpah seperti yang dinasihatkan para perencana keuangan modern dewasa ini—akan tetapi ketika usia tua menghampiri selain ingin kembali muda, uang yang ditabung ternyata habis untuk mengobati penyakit.

Lalu, bagaimana jalan keluarnya? Cermatilah apa yang disampaikan Buddha Gautama saat dihadapkan pada paradoks-padaroks itu. “rahasia kesehatan tubuh dan pikiran bukanlah dengan menangisi masa lalu, dan mengkhawatirkan masa depan. Akan tetapi, hiduplah dalam momen sekarang, saat ini, secara bijak dan penuh ketulusan.” Tentu saja, perlu saya tambahkan disclaimer, di akhir tulisan ini, bahwa semua fatwa kebaikan itu memang jauh lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan.

@salmanfaridi “There is more to life than increasing its speed,” Carl Honore, penulis buku laris In Praise of Slow

Pada 2006 Bentang Pustaka pernah menerbitkan sebuah buku provokatif yang mendahului zamannya. Buku itu berjudul In Praise of Slow, karya Carl Honore. Di tengah mantra-mantra yang mendewakan kecepatan, nyaris tak ada tempat bagi Si Lambat. Bahkan, di gerai-gerai fastfood, tolok ukur yang ideal adalah seberapa cepat makanan terhidang sejak pengunjung datang. Waktu adalah kurs yang paling bernilai. Semakin cepat, semakin efisien, semakin besar profit yang ditangguk. Tragisnya, di tengah perlombaan kecepatan ini, manusia tidak lantas berubah lebih baik. Di sinilah pentingnya buku yang ditulis Carl Honore.

In Praise of Slow ditulis berdasarkan salah satu kisah pribadi penulis ketika hendak membeli buku One Minute Bed Time Stories yang rencananya akan dibacakan bersama anak laki-lakinya berusia dua tahun. Seperti umumnya orangtua yang sibuk, kesempatan membaca cerita dengan cepat ini diperlukan agar bisa segera menuju agenda berikutnya setelah anak tertidur lelap. Pengalaman ini kemudian menyadarkan penulis bahwa efek ketergesaan ternyata demikian parah, sehingga untuk hal yang paling penting dan berharga seperti momen bersama anak pun ikut dipercepat.

Setelah sembilan tahun terbit, Carl mungkin belum sampai pada yang dicita-citakannya; menjadikan manusia lebih bermartabat dan memiliki kesadaran penuh akan hidup dibandingkan sekadar lomba ketangkasan berlari di dalam kurungan (rat race). Kenyataannya, dewasa ini, manusia bukan saja masih dibuai dalam irama kecepatan yang ditandai oleh mantra lainnya bernama produktivitas, terlebih, tanpa kita rasakan, kesadaran kita tersedot habis oleh gawai yang begitu dominan selama 24 jam. Kita mungkin berada di tempat yang sama dengan keluarga, namun tidak pernah benar-benar hadir secara utuh (tubuh dan jiwa) untuk orang-orang yang kita kasihi.

Akan tetapi, berita baiknya, virus gaya hidup lambat sesungguhnya telah berjalan meskipun perlahan. Di sebuah kota satelit modern di Jakarta misalnya, pernah beberapa kali diadakan festival slow food, atau makanan yang disajikan secara lambat. Banyak orang muda mengadopsi gaya hidup hijau; makan hanya makanan organik, membatasi pembelian barang, mendaur ulang, bersepeda dan menggunakan angkutan publik lainnya untuk menekan emisi karbon, dan terlibat aktif dalam komunitas yang mendorong orang untuk melakoni gaya hidup serupa. Selain itu, kultur “woles” (nama lain untuk lambat) seperti yang ditemukan di Jawa, mungkin telah sejak ribuan tahun lamanya mengenalkan petatah-petitih “alon-alon waton kelakon”. Jika Carl menyebut gaya hidup lambat adalah kecepatan baru, dalam beberapa kebudayaan, sesungguhnya gaya hidup itu telah berurat-berakar cukup dalam.

Persoalan sesungguhnya terletak pada modernisme yang dipicu oleh hasrat menguasai kapital sebanyak-banyaknya. Contoh, bagi orang-orang yang tinggal di sekitar gunung merapi di Yogyakarta, erupsi adalah ujian sekaligus berkah. Muntahan lahar dingin berjumlah jutaan kubik sangat cukup untuk menopang kesejahteraan warga dari panen pasir vulkanik terbaik. Dengan fasilitas sederhana seperti cangkul dan sekop, butuh waktu lama untuk menghabiskan limpahan material yang luar biasa itu. Akan tetapi, tengoklah apa yang telah dilakukan bacckhoe dan perangkat sophisticated lainnya. Jutaan kubik itu tidak saja habis secara teramat cepat, melainkan hilir mudiknya ratusan truk pasir juga telah berhasil merusak infrastruktur jalan yang sedianya dibangun dari iuran publik melalui pajak. Ironinya adalah, sangat mungkin penerimaan pajak dari pengerukan pasir-pasir ini jauh lebih kecil dibandingkan kerusakan yang ditimbulkannya. Pada akhirnya, hanya juragan pasir yang padat modallah yang terbahak paling akhir.

Buku ini tetap menyisakan pertanyaan, apakah mungkin menerapkan gaya hidup lambat ketika semua orang berlomba beradu cepat? Apakah mungkin mengubah kecepatan yang sekarang sementara kita masih didera isu produktivitas dan efisiensi? Tampaknya tidak mudah menjawab isu-isu kita yang terlihat paradoks. Sama paradoksnya ketika banyak orang berpikir selagi muda dan sehat bekerja keras dan mengumpulkan modal hari tua yang cukup—kalau bisa berlimpah seperti yang dinasihatkan para perencana keuangan modern dewasa ini—akan tetapi ketika usia tua menghampiri selain ingin kembali muda, uang yang ditabung ternyata habis untuk mengobati penyakit.

Lalu, bagaimana jalan keluarnya? Cermatilah apa yang disampaikan Buddha Gautama saat dihadapkan pada paradoks-padaroks itu. “rahasia kesehatan tubuh dan pikiran bukanlah dengan menangisi masa lalu, dan mengkhawatirkan masa depan. Akan tetapi, hiduplah dalam momen sekarang, saat ini, secara bijak dan penuh ketulusan.” Tentu saja, perlu saya tambahkan disclaimer, di akhir tulisan ini, bahwa semua fatwa kebaikan itu memang jauh lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan.

@salmanfaridibentang

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta