Apa Kabar Buku Elektronik?

mimpi-padma

Mimpi Padma Karya Ayu Dipta Kirana ini salah satu ebook Bentang Pustaka

“What is the future of the book? It is much brighter than people think,”

                                                ~From Papyrus to Pixels, The Economist (2014)

Beberapa tahun setelah serbuan teknologi yang menghadirkan sabak digital, sebuah perangkat berfitur canggih dengan layar sentuh untuk membaca dan banyak keperluan lainnya, seberapa signifikankah buku elektronik telah menggantikan buku cetak? Jawaban yang pada mulanya sangat meyakinkan bahwa teknologi cetak yang telah bertahan berabad-abad lamanya akan tunduk pasrah di bawah teknologi digital, tampaknya belum lagi terjadi. Dengan caranya sendiri, buku cetak telah bertahan dari banyak ramalan kepunahan. Bahkan, yang menarik di Amerika, pada 2014, pertumbuhan buku cetak pada semester pertama telah melampaui buku elektronik.

Menurut Nielsen Books dan Consumer (2014), performa buku elektronik pada semester pertama 2014 jauh dari prediksi Nielsen sebelumnya pada 2013, dalam Nielsen Qantar World Panel, yang akan menguasai pangsa pasar buku fiksi sebesar 48%. Kenyataannya, selama enam bulan pertama data menunjukkan bahwa buku hardcover dan paperback justru tumbuh lebih baik dari ebook. Buku hardcover berkontribusi sebesar 25%, dan paperback sebesar 42% terhadap total penjualan cetak, sementara ebook hanya tumbuh sebesar 23%. Menariknya, data yang kurang lebih relevan juga didapat dari pasar ebook di Inggris.

Berdasarkan catatan Nielsen ini pula kita mendapatkan gambaran bahwa kategori buku elektronik yang paling banyak dibaca orang adalah fiksi. Hal ini relevan dengan data yang dirilis oleh Publishing Technology (2014), yang mendedahkan data bahwa terdapat tiga genre populer di Amazon yang banyak dikonsumsi pembaca berdasarkan analisis terhadap 50000 judul. Ketiga kategori fiksi itu adalah misteri atau thriller, fiksi ilmiah atau fantasi, dan roman. Data Amazon ini relevan juga dengan data dari asosiasi penerbit di Amerika dan asosiasi penjual buku di Inggris, yang menghasilkan kategori atau jenis buku fiksi yang paling laku.

Fakta penjualan buku elektronik ini mungkin sejalan dengan ramalan bahwa masa kejayaan ebook telah berakhir. Masa ketika ebook tumbuh 2 sampai 3 digit seperti tahun 2012 tidak akan terulang lagi. Bahkan salah satu kantor konsultan bisnis seperti Deloitte Touche Tohmatsu telah menghitung bahwa pertumbuhan ebook telah mendatar di pasar Inggris, Amerika dan Kanada. Selain itu, menurunnya pertumbuhan ebook pada 2013 ternyata lebih disebabkan oleh buku-buku Blockbuster seperti trilogy The Hunger Games yang merajai penjualan buku sepanjang 2012. Artinya, mirip dengan logika pasar buku cetak, ketika tidak ada buku megabestseller yang melambungkan penjualan, bisa dipastikan bahwa volume pasar buku pasti terkerek turun secara otomatis.

Bagaimana dengan Indonesia? Jika bicara data. Meskipun pasar buku elektronik kita terus tumbuh, hasilnya masih jauh di bawah pendapatan dari buku cetak. Data dari Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) misalnya, hanya beberapa penerbit saja yang peduli dengan ebook dan terus melakukan konversi digital. Jika dihitung dengan total judul buku yang dihasilkan dari para penerbit IKAPI, sebesar 34.000 judul pada 2014, diperkirakan total buku elektronik yang sudah dikoversi mungkin hanya sekitar 12000 an saja. Jumlahnya pasti terus bertambah sampai akhir tahun ini, namun belum memadai untuk menghasilkan sebuah kejutan.

Satu hal yang pasti, buku elektronik akan terus berevolusi dan mengembangkan diri lebih canggih dengan perangkat yang mungkin jauh lebih sophisticated daripada yang kita miliki sekarang. Sementara itu, teknologi cetak dengan sendirinya sudah cukup tua sejak pertama kali manusia menemukan papyrus dan dikembangkan melalui mesin cetak Gutenberg. Akan tetapi, tampaknya baik buku cetak dan buku elektronik akan hidup rukun di pasar buku Indonesia. sejauh ini belum tampak adanya kanibalisasi karena teknologi. Yang terjadi, ada kebutuhan naskah luar biasa besar yang tidak simetris dengan cara menangani pasar buku cetak yang kemungkinan akan menjadi bisnis masa depan para penerbit. Salah satunya imprint digital.

@salmanfaridi

mimpi-padma

Mimpi Padma Karya Ayu Dipta Kirana ini salah satu ebook Bentang Pustaka

“What is the future of the book? It is much brighter than people think,”

                                                ~From Papyrus to Pixels, The Economist (2014)

Beberapa tahun setelah serbuan teknologi yang menghadirkan sabak digital, sebuah perangkat berfitur canggih dengan layar sentuh untuk membaca dan banyak keperluan lainnya, seberapa signifikankah buku elektronik telah menggantikan buku cetak? Jawaban yang pada mulanya sangat meyakinkan bahwa teknologi cetak yang telah bertahan berabad-abad lamanya akan tunduk pasrah di bawah teknologi digital, tampaknya belum lagi terjadi. Dengan caranya sendiri, buku cetak telah bertahan dari banyak ramalan kepunahan. Bahkan, yang menarik di Amerika, pada 2014, pertumbuhan buku cetak pada semester pertama telah melampaui buku elektronik.

Menurut Nielsen Books dan Consumer (2014), performa buku elektronik pada semester pertama 2014 jauh dari prediksi Nielsen sebelumnya pada 2013, dalam Nielsen Qantar World Panel, yang akan menguasai pangsa pasar buku fiksi sebesar 48%. Kenyataannya, selama enam bulan pertama data menunjukkan bahwa buku hardcover dan paperback justru tumbuh lebih baik dari ebook. Buku hardcover berkontribusi sebesar 25%, dan paperback sebesar 42% terhadap total penjualan cetak, sementara ebook hanya tumbuh sebesar 23%. Menariknya, data yang kurang lebih relevan juga didapat dari pasar ebook di Inggris.

Berdasarkan catatan Nielsen ini pula kita mendapatkan gambaran bahwa kategori buku elektronik yang paling banyak dibaca orang adalah fiksi. Hal ini relevan dengan data yang dirilis oleh Publishing Technology (2014), yang mendedahkan data bahwa terdapat tiga genre populer di Amazon yang banyak dikonsumsi pembaca berdasarkan analisis terhadap 50000 judul. Ketiga kategori fiksi itu adalah misteri atau thriller, fiksi ilmiah atau fantasi, dan roman. Data Amazon ini relevan juga dengan data dari asosiasi penerbit di Amerika dan asosiasi penjual buku di Inggris, yang menghasilkan kategori atau jenis buku fiksi yang paling laku.

Fakta penjualan buku elektronik ini mungkin sejalan dengan ramalan bahwa masa kejayaan ebook telah berakhir. Masa ketika ebook tumbuh 2 sampai 3 digit seperti tahun 2012 tidak akan terulang lagi. Bahkan salah satu kantor konsultan bisnis seperti Deloitte Touche Tohmatsu telah menghitung bahwa pertumbuhan ebook telah mendatar di pasar Inggris, Amerika dan Kanada. Selain itu, menurunnya pertumbuhan ebook pada 2013 ternyata lebih disebabkan oleh buku-buku Blockbuster seperti trilogy The Hunger Games yang merajai penjualan buku sepanjang 2012. Artinya, mirip dengan logika pasar buku cetak, ketika tidak ada buku megabestseller yang melambungkan penjualan, bisa dipastikan bahwa volume pasar buku pasti terkerek turun secara otomatis.

Bagaimana dengan Indonesia? Jika bicara data. Meskipun pasar buku elektronik kita terus tumbuh, hasilnya masih jauh di bawah pendapatan dari buku cetak. Data dari Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) misalnya, hanya beberapa penerbit saja yang peduli dengan ebook dan terus melakukan konversi digital. Jika dihitung dengan total judul buku yang dihasilkan dari para penerbit IKAPI, sebesar 34.000 judul pada 2014, diperkirakan total buku elektronik yang sudah dikoversi mungkin hanya sekitar 12000 an saja. Jumlahnya pasti terus bertambah sampai akhir tahun ini, namun belum memadai untuk menghasilkan sebuah kejutan.

Satu hal yang pasti, buku elektronik akan terus berevolusi dan mengembangkan diri lebih canggih dengan perangkat yang mungkin jauh lebih sophisticated daripada yang kita miliki sekarang. Sementara itu, teknologi cetak dengan sendirinya sudah cukup tua sejak pertama kali manusia menemukan papyrus dan dikembangkan melalui mesin cetak Gutenberg. Akan tetapi, tampaknya baik buku cetak dan buku elektronik akan hidup rukun di pasar buku Indonesia. sejauh ini belum tampak adanya kanibalisasi karena teknologi. Yang terjadi, ada kebutuhan naskah luar biasa besar yang tidak simetris dengan cara menangani pasar buku cetak yang kemungkinan akan menjadi bisnis masa depan para penerbit. Salah satunya imprint digital.

@salmanfaridi

bentang

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta