Animal Farm: Ketika Binatang Mengkudeta Manusia

Membaca Animal Farm, saya dibuat tertawa pahit sepanjang waktu. Cerita besutan Orwell ini memang patut dikatakan sebagai masterpiece. Sindirannya yang cerdik, imajinasinya yang liar, dan kejeliannya dalam memasukkan seluruh aspek dalam dunia perpolitikan sebuah negara hingga tidak luput dari sindirannya. Dan sungguh, kala membacanya saya serta-merta bertanya-tanya apakah alegori ini dapat menggambarkan keadaan pada masa Orde Baru pula.

Ah, tapi mari kita lupakan pertanyaan saya itu. Toh, dalam dunia perpolitikan Indonesia kini, metafora dan sindiran yang diutarakan Orwell masih bisa digunakan dengan cukup relevan. Ada banyak sekali hal yang ingin saya utarakan selepas membaca Animal Farm ini, maka sebelumnya saya harus meminta maaf jika pembicaraan saya terlalu melompat-lompat. Karena terdapat banyak sekali aspek dalam Animal Farm ini yang patut mendapat perhatian. Terdapat banyak sekali bagian dalam Animal Farm ini yang akan mendorong kita untuk menganalisa jalannya politik dan distribusi kekuasaan yang ada dalam negara ini.

Berbagai hal tentang politik dan kekuasaan di Indonesia memang belum banyak berubah sejak Orde Baru berakhir. Penguasa masih kerap bertingkah layaknya babi-babi dalam Peternakan Binatang khayalan Orwell. Mereka memeras tenaga rakyat dan menggunakan propaganda untuk menjustifikasi kebijakan-kebijakan tidak adil yang mereka tetapkan. Mereka menciptakan musuh bersama yang sungguh, tidak memiliki dasar argumen yang jelas. Dan tentu saja, banyak kita temui “squealer-squealer” yang berbicara di media, membolak-balik kata hingga kebenaran menjadi begitu kabur.

Mungkin memang benar bahwa memegang kekuasaan layaknya berdiri di pinggir tebing yang licin sehabis terguyur hujan sembari membawa beban 50kg. Lebih mudah untuk menerjunkan diri dari tebing ketimbang bertahan untuk tidak jatuh. Dan kemanakah para pemegang kekuasaan itu jatuh? Mereka jatuh pada ketamakan. Kekuasaan adalah beban, bagi pribadi-pribadi yang lemah prinsip. Belum lagi, adanya berbagai perbedaan ideologi yang akan membingungkan tiap pemangku kekuasaan.

Rasanya lucu, meski pahit, melihat pertempuran ideologis yang digambarkan dalam novel Animal Farm melalui pertikaian pendapat antara Snowball dan Napoleon. Dan justru bertambah miris ketika pertikaian tersebut akhirnya hanya dapat diselesaikan melalui kekerasan. Sehingga binatang-binatang lain tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti ideologi yang dianut sang pemimpin. Yang dalam kasus Animal Farm ini , berhaluan ‘kiri’. Apakah kekerasan akan selalu menjadi jalan keluar paling praktis dan populer dalam mengakhiri sebuah perdebatan? Semoga tidak. Semoga penggunaan kekerasan akan berangsur sirna dari dunia politik.

Satire Orwell ini, sejalan dengan Satire Cak Nun yang dituangkan dalam novel Arus Bawahnya. Bahwa Revolusi dan pemberontakan dalam pemerintahan tidak akan mengubah banyak hal karena yang benar-benar dibutuhkan adalah revolusi cara berpikir. Revolusi Mental bagi penguasa dan rakyat sekaligus. Toh nyatanya di kedua revolusi baik dalam buku Animal Farm maupun Arus Bawah sama-sama berakhir dengan pemerintahan yang tidak jauh berbeda dari sebelumnya. Justru dalam Arus Bawah, para tokoh revolusi malah terlena dalam berbagai kenikmatan superfisial dan melupakan idealisme mereka. Karena revolusi yang dilakukan hanya mengganti tatanan dalam pemerintahan, namun tidak merubah hal-hal yang fundamental seperti nilai, moralitas, dan mentalitas bangsa secara luas.

Talitha Fredlina Azalia | @tithawesome Membaca Animal Farm, saya dibuat tertawa pahit sepanjang waktu. Cerita besutan Orwell ini memang patut dikatakan sebagai masterpiece. Sindirannya yang cerdik, imajinasinya yang liar, dan kejeliannya dalam memasukkan seluruh aspek dalam dunia perpolitikan sebuah negara hingga tidak luput dari sindirannya. Dan sungguh, kala membacanya saya serta-merta bertanya-tanya apakah alegori ini dapat menggambarkan keadaan pada masa Orde Baru pula.

Ah, tapi mari kita lupakan pertanyaan saya itu. Toh, dalam dunia perpolitikan Indonesia kini, metafora dan sindiran yang diutarakan Orwell masih bisa digunakan dengan cukup relevan. Ada banyak sekali hal yang ingin saya utarakan selepas membaca Animal Farm ini, maka sebelumnya saya harus meminta maaf jika pembicaraan saya terlalu melompat-lompat. Karena terdapat banyak sekali aspek dalam Animal Farm ini yang patut mendapat perhatian. Terdapat banyak sekali bagian dalam Animal Farm ini yang akan mendorong kita untuk menganalisa jalannya politik dan distribusi kekuasaan yang ada dalam negara ini.

Berbagai hal tentang politik dan kekuasaan di Indonesia memang belum banyak berubah sejak Orde Baru berakhir. Penguasa masih kerap bertingkah layaknya babi-babi dalam Peternakan Binatang khayalan Orwell. Mereka memeras tenaga rakyat dan menggunakan propaganda untuk menjustifikasi kebijakan-kebijakan tidak adil yang mereka tetapkan. Mereka menciptakan musuh bersama yang sungguh, tidak memiliki dasar argumen yang jelas. Dan tentu saja, banyak kita temui “squealer-squealer” yang berbicara di media, membolak-balik kata hingga kebenaran menjadi begitu kabur.

Mungkin memang benar bahwa memegang kekuasaan layaknya berdiri di pinggir tebing yang licin sehabis terguyur hujan sembari membawa beban 50kg. Lebih mudah untuk menerjunkan diri dari tebing ketimbang bertahan untuk tidak jatuh. Dan kemanakah para pemegang kekuasaan itu jatuh? Mereka jatuh pada ketamakan. Kekuasaan adalah beban, bagi pribadi-pribadi yang lemah prinsip. Belum lagi, adanya berbagai perbedaan ideologi yang akan membingungkan tiap pemangku kekuasaan.

Rasanya lucu, meski pahit, melihat pertempuran ideologis yang digambarkan dalam novel Animal Farm melalui pertikaian pendapat antara Snowball dan Napoleon. Dan justru bertambah miris ketika pertikaian tersebut akhirnya hanya dapat diselesaikan melalui kekerasan. Sehingga binatang-binatang lain tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti ideologi yang dianut sang pemimpin. Yang dalam kasus Animal Farm ini , berhaluan ‘kiri’. Apakah kekerasan akan selalu menjadi jalan keluar paling praktis dan populer dalam mengakhiri sebuah perdebatan? Semoga tidak. Semoga penggunaan kekerasan akan berangsur sirna dari dunia politik.

Satire Orwell ini, sejalan dengan Satire Cak Nun yang dituangkan dalam novel Arus Bawahnya. Bahwa Revolusi dan pemberontakan dalam pemerintahan tidak akan mengubah banyak hal karena yang benar-benar dibutuhkan adalah revolusi cara berpikir. Revolusi Mental bagi penguasa dan rakyat sekaligus. Toh nyatanya di kedua revolusi baik dalam buku Animal Farm maupun Arus Bawah sama-sama berakhir dengan pemerintahan yang tidak jauh berbeda dari sebelumnya. Justru dalam Arus Bawah, para tokoh revolusi malah terlena dalam berbagai kenikmatan superfisial dan melupakan idealisme mereka. Karena revolusi yang dilakukan hanya mengganti tatanan dalam pemerintahan, namun tidak merubah hal-hal yang fundamental seperti nilai, moralitas, dan mentalitas bangsa secara luas.

Talitha Fredlina Azalia | @tithawesomeBentang

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© Copyright - PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta